Tenggorokannya menegang. Ia arahkan kursor ke folder pertama. Klik.
Layar laptopnya berubah. Jutaan file. Struktur direktori yang dalam. Library yang belum pernah ia lihat. Protokol data kompleks. Core codes yang saling menaut tanpa ujung.
"Ini... gila..."
Tangannya membuka satu file utama. Beberapa baris kode tampil. Bukan kode biasa. Ini bukan sistem operasi. Bukan software keamanan. Ini... engine.
Raven beringsut mendekat. Matanya membaca cepat. Hatinya berdebar tak karuan.
Program ini... memprediksi. Bukan hanya merespons, tapi menganalisis pola keputusan pengguna dan mengadaptasi sendiri. Bukan AI biasa. Bukan level open-source atau bahkan milik perusahaan militer. Ini seperti ribuan AI yang bekerjasama membuat program sendiri.
“Ini... sepuluh tahun lebih maju dari yang kita punya di CyberShield.”
Bahkan dengan kemampuan Raven, memetakan struktur AI ini akan butuh bertahun-tahun.
Ia bersandar. Wajahnya tertutup oleh tangan.
“Orang gila mana yang bisa bikin AI kayak gini?”
Tangan kanannya kembali ke mouse. Ia membuka folder kedua:
URGENT_MANIFESTO
Hanya ada satu file teks.
READ_ME_NOW.txtIa klik.
Isinya hanya satu paragraf. Ditulis terburu-buru, dengan gaya seperti seseorang yang sedang berlari dari kematian.
Jika kau membaca ini, berarti aku sudah mati. Mereka mengejarku.
Organisasi bernama Dominion menginginkan NexusCore. Jangan biarkan mereka mendapatkannya. Ini lebih dari sekadar teknologi.Raven menatap layar. Lama.
“Dominion...” Namanya asing. Tapi terasa berbahaya. Ada sesuatu dalam kata itu yang membuat seluruh kulit Raven mengencang.
Ia menatap USB itu lagi. Ini bukan sekedar penemuan. AI Ini bukan hanya harta karun.
Ini... kutukan.
Raven membuka tab baru di browser-nya. Tangannya mengetik cepat
Dominion organization
Dominion global AI groupDominion black opsHasilnya nihil. Berita palsu. Grup musik. Artikel lama tentang game online. Tidak ada yang relevan.
Ia menghela napas pendek. “Jelas mereka bukan nama yang muncul di permukaan.”
Ia sempat ingin menyelam lebih dalam, forum bawah tanah, jaringan darknet tempat informasi langka bersembunyi. Tapi matanya berpindah ke folder NEXUS_CORE_FRAMEWORK. Waktu terlalu berharga untuk dibuang begitu saja.
Prioritasnya jelas.
Ia kembali ke direktori utama. Sebuah file menarik perhatiannya.
Emergency_Patch.dll
Tangan Raven berhenti sejenak di atas touchpad.
"Emergency? menarik …"
Ia mulai melakukan dekompilasi manual. Lini demi lini, kode diekstrak. Di layar tampak seperti patch keamanan biasa, ditulis dengan gaya yang profesional. Tapi Raven membaca sesuatu yang lain.
Terlalu rapi. Terlalu umum.
Dan di sanalah ia menemukannya. Di balik lapisan instruksi standar, terselip satu blok kecil yang tidak dipanggil langsung. Label fungsinya dikaburkan. Namun begitu ia telaah...
Itu bukan patch. Itu bom. Logic bomb.
Sebuah skrip kecil yang bisa diaktifkan dari jarak jauh untuk menghapus seluruh struktur program, atau mengacaukan sistem secara bertahap. Ia disamarkan sebagai pembaruan sistem, tidak terlihat, tidak terpicu secara alami, hanya bisa dinyalakan oleh pemilik kuncinya. Ada, tapi juga tidak ada. Seperti sebuah Quantum Entanglement dalam Matrix.
“Ini bukan sekadar AI. Ini senjata.”
Tangannya bergerak pelan. Mulutnya terbuka sedikit. Ia tersenyum kecil.
“Jenius... gila.”
Tiba tiba ide itu menancap. Dalam.
“Tunggu …gimana kalau aku manfaatkan ini. Gausah ditiru semua, aku cuma butuh skrip kecil…lalu….”
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama yang muncul membuat aliran darahnya berubah. Tirta.
Raven menatap layar beberapa detik. Ragu. Tapi akhirnya menekan tombol hijau.
"Ya Tirta, gimana bro?"
"Bra bro aja lo. Ini gawat tau nggak. Mereka melakukannya, Rave. Mereka benar-benar melakukannya."
Raven duduk tegak. "Apa yang mereka lakukan?"
"Radja ngadain rapat internal pagi ini. Enggak lama. Sepuluh menit paling lama. Cuma ngumumin, setengah dari tim R&D dipecat. Ga ada peringatan." Suara Tirta mengeras, seperti sedang mengepalkan tangan di telepon.
Ia diam sejenak. Informasi itu berputar di kepalanya, namun tidak mengejutkan. Yang membuatnya berhenti berpikir sejenak adalah satu hal lain.
"Siapa aja?"
"Semua orang lo, Rave. Satu per satu. Freya, Leo, semua yang dulu deket sama lo. Mereka bersih-bersih. Bakal diganti sama fresh graduate tolol yang bisa bilang 'yes, Sir' tiap dikasih perintah."
Raven tidak langsung menjawab. Ia berdiri, berjalan ke jendela dan membuka tirai. Lalu, ia tersenyum. Kecil. Penuh sarkasme.
"Bagus," gumamnya. "Itu yang gue mau. Mereka amatir. Bukan cuma amatir, bodoh juga,"
Tirta terkekeh, berat, penuh nada muak. "Bro, ngatain mereka bodoh itu ngejek orang bodoh. Mereka itu ... idiot. Tapi sombongnya ampun-ampunan. Mereka pikir sistem yang lo bangun magically bisa jalan sendiri. Mereka bener-bener nggak tahu apa yang baru aja mereka buang."
Ada jeda. Suara Tirta sedikit meredup.
"Gue juga bakal ngundurin diri, Rave. Gue nggak tahan. Gak bisa kerja buat orang-orang IQ tiarap kayak mereka."
"Jangan," potong Raven, lebih cepat dari yang dia duga. Suaranya mantap. Tegas. Bahkan ia sendiri terkejut betapa alami itu keluar dari mulutnya.
Hening. Lalu Tirta bersuara pelan, hati-hati. "Oke... itu nadanya bukan kayak suara orang terpuruk. Lo punya rencana kan, Rave?"
"Gue butuh lo di dalam. Mata sama telinga gue. Cuma buat sementara aja. Sambil gue…"
"Udah gue duga, lo selalu punya rencana." Tirta memotong.
"Oke, ini nggak bisa kita omongin di telepon." Raven melirik jam digital di pojok layar. "Nanti malam. Bar Tiga Lapis di daerah tua Jalan Lempung. Jam delapan. Lo tahu tempatnya kan?"
Tirta mendengus pelan. "Lo bercanda, Itu bar tempat kita nongkrong sejak 2007."
"Exactly. Tempat yang Radja dan Valeria ga bakal sudi buat dateng."
"Oke. Gas!." Suara Tirta terdengar mantap kali ini. "Rave..."
"Yap?"
"Apa pun yang lo lagi siapin... gue udah capek ngerasa powerless. Kalo ini perang, gue siap jadi prajuritnya."
“Kita bakal berjuang sama-sama. Kayak dulu, Oke?” Raven menegaskan.
“Got it, bro. See you.”
Sambungan telepon terputus. Raven meletakkan ponsel ke meja, matanya tetap terpaku pada daftar nama-nama yang terus berputar di kepalanya: Freya. Leo. Clara.
Mereka bukan sekadar mantan karyawan. Mereka bagian dari nadi sistem itu. Jika Raven adalah otak CyberShield, mereka adalah tulangnya. Dan sekarang... mereka semua sedang bebas.
Tangannya bergerak cepat ke arah ponsel. Dia membuka daftar kontak, jarinya berhenti pada dua nama yang terasa paling penting saat ini, Freya Adeline dan Leonardo Maverick. Dia tak boleh kehilangan mereka. Orang-orang seperti itu tidak akan menganggur lama. Bahkan saat ini, mungkin puluhan perusahaan sedang menyiapkan proposal perekrutan. Waktu adalah musuhnya. Tanpa banyak pikir, dia membuka aplikasi pesan terenkripsi yang biasa mereka pakai dulu. Ia mengetik pesan kepada Freya.
"Aku tahu apa yang terjadi. Jangan terima tawaran apapun dulu. Ada yang lebih baik."
“Oke, menolaknya berarti kita menyatakan perang, bukan?” Clara bersuara pertama. Nada tenangnya menutupi keresahan yang tergambar jelas di wajahnya. Otaknya yang strategis langsung bekerja, menghitung ancaman dan langkah balasan. “Dia tidak akan tinggal diam. Setelah gagal merekrutmu, dia pasti akan kembali mencoba menghancurkan kita dengan segala cara, sebelum kita menjadi terlalu besar. Seperti sebelumnya.”“Aku tahu,” jawab Raven, nada suaranya mantap. “Tapi Valeria bukanlah ahli IT. Dengan Logic Bomb yang sudah aktif di sistem CyberShield, cepat atau lambat dia akan kembali pada kita.”“Hah? Untuk apa?” Tirta mengernyit, tampak kebingungan.“Tentu saja untuk menyelesaikan masalah Logic Bomb itu,” jelas Raven, menatap ke layar seolah bayangan Valeria sedang berdiri di sana. “Dia tidak bodoh. Dia pasti mengira bahwa itu ulah kita. Dan dia akan menuntut kita untuk menyelamatkan muka mereka. Tapi apa pun alasannya, kita akan siap. Valeria bukan lagi prioritas utama kita.”Ia beranjak
Raven melangkah keluar dari gedung mewah itu, udara malam kota menyambutnya dengan dingin yang jujur. Lampu-lampu jalan dan riuh kendaraan di kejauhan terasa jauh lebih nyata dibanding percakapan penuh racun yang baru saja ia tinggalkan. Ia menarik napas panjang, membiarkan paru-parunya dipenuhi oleh dunia luar, mencoba meluruhkan ketegangan yang masih menempel di tubuhnya.Di seberang jalan, sebuah van hitam yang nyaris tak mencolok menunggu dengan mesin menyala. Raven melangkah cepat, membuka pintu gesernya, lalu masuk. Aroma kopi instan dan peralatan elektronik memenuhi ruang sempit itu. Leo sedang duduk, earphone menempel di telinga, matanya terpaku pada layar-layar monitor kecil yang menampilkan feed kamera tersembunyi.Begitu Raven menutup pintu, Leo buru-buru melepas earphone-nya dan menoleh. Wajahnya memancarkan kelegaan bercampur sisa ketegangan. “Gila, bro,” katanya sambil menghembuskan napas panjang. “Itu tadi tegang banget gue. Jujur aja, sempet ngira lo bakal luluh sama p
Valeria mengulurkan tangannya, menutupi jemari Raven dengan kedua tangannya yang hangat dan gemetar. Ia menatap dalam, seakan ingin menembus lapisan pertahanan yang selama ini dijaga Raven mati-matian. “Kita bisa menjadi tak terkalahkan, Rave,” bisiknya, suaranya penuh getaran emosi yang dibuat begitu meyakinkan. “Seperti yang seharusnya. Seperti yang seharusnya kebahagiaan kita terjadi. Tolong, lupakan masa lalu. Pikirkan masa depan.”Raven menatap tangan itu, merasakan kilatan memori menyeruak, memori tentang masa ketika mereka berdua bermimpi di ruang kantor kecil, menulis visi yang sama di papan tulis butut, tentang dunia digital yang aman bagi semua orang. Tapi kemudian tatapannya bergeser ke mata Valeria. Ada sesuatu di sana, obsesi yang dibungkus dengan air mata. Entah untuknya atau hanya untuk sesuatu yang bisa ia berikan.“Rave, jangan…” suara Clara pecah di telinga Raven, sedikit lebih keras dari biasanya. Ia panik, hingga nadanya sedikit bocor keluar dari earpiece Raven.
“Langsung saja ke intinya, Val. Apa maumu?” suara Raven terdengar tenang, tapi di baliknya ada tebing curam yang tak terlihat. Ia tak ingin membuang waktu dengan basa-basi.Valeria tersenyum simpul, sedikit miring, lalu tertawa kecil. “Raven, oh Raven. Kau tak berubah ya, Sejak dulu kau selalu tidak sabaran, selalu ingin tahu isi permainan sebelum gilirannya dimulai.” Tawa itu ringan, hampir menggoda.Namun Raven tidak membalas. Tatapannya dingin, tidak bergeming. Keheningan itu cukup untuk membuat senyum Valeria perlahan pudar. Ia menarik napas, lalu merubah ekspresinya. Kini wajahnya tampak lebih tenang, bahkan serius.“Oke,” katanya akhirnya, suaranya menurun beberapa oktaf. “Pertama-tama, aku ingin meminta maaf. Untuk segalanya.” Jemarinya menggenggam gelas anggur yang belum disentuh, seakan mencari pegangan. “Aku nggak tahu kenapa waktu itu aku mengkhianatimu. Aku… aku buta. Ambisi, ketakutan, semuanya bercampur. Tapi sekarang aku sadar. Itu salah.”Matanya mulai berkaca-kaca. Ca
Di tengah penemuan yang mengguncang itu, kemenangan mereka atas Radja terasa hambar. Biasanya, berita tumbangnya seorang lawan besar akan menyalakan sorak atau tawa lepas, tapi kini tak seorang pun di ruang bunker itu mengeluarkan suara. Mereka sadar, yang mereka kalahkan hanyalah pion dalam papan catur yang jauh lebih luas. Kemenangan ini ternyata sekadar jeda kecil dalam perang yang lebih gelap, lebih tua, dan lebih berbahaya dari yang pernah mereka bayangkan.Ponsel Raven bergetar di atas meja. Bunyi itu memecah hening seperti retakan kecil di dinding. Sebuah pesan singkat diterima dari Valeria. "Sudah selesai. Kapan kita bertemu?"Raven menatap layar ponsel itu cukup lama, seakan mencoba menembus huruf-huruf digital di hadapannya. Di layar lain, laporan dari Dominion masih terbuka, dengan nama Ezio yang kini terasa menatap balik padanya. Dua ular berbeda, satu berwajah Valeria dengan senyum manis penuh racun, satu lagi Dominion dengan mata tak terlihat yang sudah lama mengawasi. D
Halaman pertama file itu terbuka dengan gambar yang sederhana, tapi justru paling menghantam Raven. Foto dirinya saat wisuda S1, bertahun-tahun lalu. Wajah muda dengan senyum tipis, toga hitam yang tampak kebesaran, dan tatapan penuh harapan tentang masa depan. Saat itu, ia sama sekali belum tahu bahwa ada lensa asing yang mengabadikannya, bukan sebagai kenangan, tapi sebagai data.Freya menahan napas, jarinya terus menggulir halaman demi halaman. Muncul deretan teks yang tersusun rapi. Transkrip percakapan telepon. Ada yang dengan sahabat lamanya, ada pula yang dengan seorang dosen pembimbing. Beberapa di antaranya begitu pribadi, dengan Radja, dengan Valeria, termasuk pembicaraan tentang mimpinya mendirikan perusahaan sendiri, dan rencana awal membangun CyberShield dari nol.Clara mencondongkan tubuh, suaranya bergetar. “Mereka tahu… sampai sedetail ini? Nggak ada yang terlewat.”Laporan lain menyusul. Catatan pergerakan Raven selama tahun-tahun awal berdirinya CyberShield. Detail j