Elena menerima amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Ia tercekat membaca isi surat perceraiannya dengan Raul.
“Raul, benarkah ini ...?” Elena menatap Raul, suaranya bergetar.
“Benar Elena, sekarang semuanya sudah berakhir.”
Setelah berkata demikian, Raul bergeming di tempatnya. Ia masih berdiri dengan angkuh dan menatap wanita yang telah tiga tahun dinikahinya itu dengan dingin.
“Tapi Raul, apa salahku?”
“Kamu tidak salah, dan tidak ada yang mesti dipersalahkan, Elena. Karena sejak awal, pernikahan kita adalah suatu kesalahan.”
Terdengar helaan napas lelaki itu, perlahan ia duduk di sisi tempat tidur, di samping wanita yang matanya kembali menghangat, tergenang oleh kesedihan.
“Tapi Raul, kita telah bersama selama tiga tahun, tidak adakah tempat di hatimu untukku? Apakah kamu akan melupakan begitu saja saat-saat manis yang telah kita lalui?”
Raul terdiam, lelaki itu tak serta merta menjawab pertanyaan wanita di sampingnya, ia kembali menghela napas sebelum akhirnya bekata, “Maafkan aku Elena. Kamu tahu, kan? Sejak awal aku tidak mencintaimu, semua yang aku lakukan hanya sekedar menjalankan kewajibanku sebagai suami. Sekarang nenek sudah tidak ada, maka kamu bebas. Jadi, lupakan semuanya.”
Usai berkata lelaki itu segera berdiri dan melangkah meninggalkan Elena yang mulai terisak, tiba-tiba lelaki itu berhenti dan kembali menoleh pada Elena.
“Oya, Elena. Kamu masih boleh tinggal di rumah ini kalau kamu mau, tapi kita tidak bisa sekamar lagi. Nanti Carmen akan menunjukan kamar baru untukmu, supaya kamu tidak selalu teringat kenangan di kamar ini.”
Raul melanjutkan langkahnya dan segera ke luar dari kamar besar itu. Air mata segera menyergap Elena, tumpah tak terbendung lagi, ia menangis pilu. Seketika semua rekaman saat-saat bersama pria itu berputar kembali di kepalanya.
Meskipun sikap Raul dingin terhadapnya, namun ada saat-saat dimana mereka merajut kemesraan bersama. Meskipun bisa dihitung jari, tapi ia pernah merasakan pelukan hangat Raul dan kelembutan sikapnya. Apakah itu hanya pura-pura?
Pernah di satu malam, setelah mereka menuntaskan hasrat bercinta, Raul yang tertidur nyenyak mengigau dan memanggil namanya, saat itu Elena tersenyum, ia mengira jika Raul mulai mencintainya seperti yang ia rasakan. Apakah itu juga palsu? Bukankah hal itu terucap dari alam bawah sadar Raul?
Elena tak menemukan jawaban atas pertanyaan demi pertanyaan yang berputar-putar mengganggunya, ia hanya bisa menangis, merutuki nasibnya. Kini semua mimpi-mimpinya telah hancur, dunia yang ia pijak seakan telah runtuh.
Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, ia bertahan dan bersabar hanya untuk mendapatkan cinta suaminya. Namun semua berakhir di atas selembar surat cerai.
“Elena, apa kamu di dalam?!”
Terdengar teriakan Carmen memanggil dan mengetuk pintu. “Cepat ke dapur Elena! Banyak pekerjaan malah santai-santai.”
Setelah berteriak di depan kamar Elena, kepala pelayan itu pun kembali ke dapur.
Elena yang masih terisak mendengar semua teriakan Carmen.
Ia segera bangun dan duduk di depan meja hias. Ditatapnya wajahnya yang basah oleh air mata.
‘Sudahlah Elena, untuk apa kamu menangis? Sekarang kamu harus segera pergi dari sini.’
Terdengar bisikan dari dalam dirinya, Elena menghela napas panjang dan mengahpus sisa-sisa air mata di wajahnya.
“Benar, untuk apa lagi aku di sini? Hanya untuk dijadikan budak? Tidak! Selama ini aku bertahan di rumah besar ini hanya demi Raul, sekarang Raul sudah mencampakkanku, jadi, buat apa aku di sini?”
Elena bergumam meyakinkan dirinya sendiri.
Wanita itu segera berdiri.
Ia membuka lemari dan mengambil satu stel pakaian yang dulu pernah ia pakai ketika pertama kali datang ke rumah besar itu.
Meskipun sudah sedikit usang, namun masih pas di tubuhnya.
Elena memang tidak banyak mengalami perubahan, baik wajah maupun bentuk tubuh. Pernah nenek Maria menanyakan mengapa Elena belum juga hamil, ia hanya bisa menggeleng sambil tersenyum getir.
Bagaimana mau hamil? Saat berhubungan intim dengan Raul, suaminya itu selalu mengenakan pengaman.
Elena pernah menanyakan mengapa Raul selalu mengenakan pengaman saat bercinta dengannya, padahal mereka adalah pasangan resmi yang sah dan sehat.
“Aku belum siap untuk mempunyai anak, Elena. Jadi nikmati saja seperti ini,” jawab Raul acuh sambil melepas kondom yang penuh dengan cairan dari juniornya. Sejak saat itu, Elena tidak pernah bertanya lagi.
Mungkinkah itu cara Raul agar bisa berpisah dengannya lebih mudah?
Elena menghela napas.
Dipercepat gerakannya untuk mengganti pakaian.
Setelah selesai, Elena pun melepaskan satu per satu perhiasan yang dikenakannya.
Ia tidak akan membawa apa pun dari Raul meskipun sebenarnya ia punya hak. Namun, ia tidak mau keluarga Raul semakin merendahkannya lagi.
Sudah cukup!
Hanya saja, Elena tertegun saat meraba jari manisnya.
Cincin pernikahan bertahta berlian itu disematkan sendiri oleh Raul saat mereka mengikat janji suci di depan altar.
Saat itu, Elena memimpikan pernikahan yang dihiasi kebahagiaan, akan selalu bersama hingga maut memisahkan. Namun, semua mimpi sang pengantin itu kini telah musnah tak bersisa.
Dengan menghela napas berat, Elena melepas cincin pernikahannya itu dan di letaknnya di atas meja hias. Ia kembali membuka lemari dan mengambil tas yang dulu ia pakai saat pertama kali datang lalu memasukkan barang-barang pribadinya, barang-barang yang dulu ia bawa sebelum menjadi istri Raul.
Tapi, hanya satu barang dari Keluarga Mendez yang tak bisa dilepaskan.
Gelang pemberian Nenek Maria.
Elena segera membuka kotak perhiasannya dan mengambil gelang itu, didekapnya gelang itu ke dadanya, terbayang semua kebaikan hati sang nenek.
“Nenek, maafkan aku ...” gumam Elena lirih, dikenakannya segera gelang itu, sebagai kenang-kenangan dari orang yang paling baik padanya. Yah, hanya nenek Maria, nenek kandung Raul yang baik dan peduli padanya di kediaman Mendez ini, sekarang sang nenek sudah tiada, Elena sudah kehilangan tempat berpijak di rumah besar itu.
Sejenak Elena mengedarkan pandangnya ke seluruh sudut kamar itu.
Air matanya kembali mengalir saat menatap foto pengantin yang tergantung di sudut dinding.
“Selamat tinggal Raul ...” ucap Elena dengan suara bergetar.
Perlahan Elena berbalik, lalu meninggalkan kamar yang penuh kenangan itu.
Ya, sebelum Carmen kembali untuk menyeretnya ke dapur, ia harus segera pergi.
Dengan mengendap-endap, Elena segera ke luar dari rumah besar keluarga Mendez.
Untungnya, semua orang sedang sibuk dengan pesta malam itu, sehingga tidak ada yang memperhatikan kepergian Elena.
Wanita itu terus berjalan tanpa arah dan tujuan menusuri sudut kota Barcelona yang indah.
Ia hanya mengikuti ke mana kaki akan membawanya.
Entah sudah berapa jauh ia berjalan, Elena tidak tahu.
Yang ia tahu sekarang mulai terasa letih.
Wanita itu pun duduk di tepi jalan, tenggorokannya mulai terasa kering, namun ia tidak membawa bekal minum.
Elena menelan ludah untuk menetralkan tenggorokannya yang kering. Ia mencoba berpikir, apa yang harus ia lakukan sekarang? Elena kepikiran untuk kembali ke toko tempat dulu ia bekerja, tapi di mana?
Semenjak menikah dengan Raul, Elena tidak pernah keluar rumah. Rumah besar itu bagaikan sangkar emas yang mengurungnya. Sekarang, Elena merasa kota ini begitu asing.
Hanya saja, saat Elena berkutat dalam kebingungannya, tiba-tiba terdengar suara berat seseorang memanggilnya, “Kamu tersesat, Sayang?”
“Apa? Ke kantor polisi? Tapi ada pak?”“Nanti akan kami jelaskan di kantor, kami menunggu kedatangan Anda segera, nyonya.”Raul terbangun mendengar suara percakapan Elena dengan polisi.“Ada apa, sayang?” tanya Raul pelan dengan suara yang serak.“Polisi meminta untuk datang, tapi tidak menjelaskan masalah apa,” jawab Elena dengan suara rendah.Raul mengangguk seraya mengelus tangan Elena lembut, “kita akan segera ke sana.”“Baiklah, pak. Kami akan segera ke sana,” ucap Elena kembali berbicara di telepon.“Siap nyonya, terima kasih atas kerjasamanya.”Setelah panggilan berakhir Elena menghela napas, ada kekhawatiran di wajahnya.“Kira-kira ada masalah apa ya, Raul?”“Entahlah, sayang. Nanti kita akan tahu setelah di kantor polisi. Kamu tenang saja, aku akan menemanimu. Sekarang kamu bersiap-siap dulu, aku akan menghubungi Mario dan tim pengacara agar mereka datang terlebih dahulu ke kantor polisi.”Raul berkata lembut sambil membelai rambut Elena, wanita itu mengangguk. Raul menghadia
“Tuan muda…” Raul dan Elena menghentikan langkah mereka, keduanya saling menatap lalu membalikan tubuh mereka.Seorang lelaki paruh baya berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Raul dan Elena. Wajah lelaki itu ditumbuhi janggut dan jambang lebat, ia mengenakan mantel hitam dan penutup kepala rajut serta syal abu-abu membelit lehernya. Tatapan lelaki itu lurus pada Raul dengan tatapan penuh tanya.“Ah, paman. Senang bertemu denganmu kembali,” sambut Raul sambil tersenyum, ia menyalami pria itu dengan ramah.“Saya juga senang bisa melihat tuan muda lagi, dan…” Pria itu terdiam sejenak, ia melihat pada Elena, seulas senyum menghiasi wajahnya, “sepertinya, tuan telah menemukan apa yang Anda cari.”“Haha, itu benar paman,” sahut Raul bahagia dan bangga, “Oya, ini Elena, cintaku yang selama ini aku cari.” Raul mengenalkan Elena pada lelaki itu, “Sayang, ini paman penjaga makam, beliau tinggal di sekitar sini. Dulu disaat masa-masa suram dan kehancuran hatiku, paman ini yang menemaniku dan mem
“Mia, ada apa?” tanya Elena bingung melihat perubahan ekspresi Mia yang seperti ketakutan. Begitu pun Raul dan Mario serta Chavela dan Miguel, mereka semua yang ada di tempat itu kebingungan.“Mia, apa yang membuatmu terlihat cemas dan ketakutan begini? Kamu sekarang sudah aman bersama kami,” ujar Raul yang ditimpali dengan anggukan yang lain.“Tuan, nyonya… Bagaimana dengan Emma? Sa-saya khawatir dia akan kembali melakukan hal-hal yang buruk.” Mia mengungkapkan kekhawatirannya dengan suara terbata-bata. Masih segar dalam ingatannya bagaimana Emma melakukan berbagai manipulasi. Sewaktu Diego masih hidup saja Emma sangat berani, apalagi sekarang. Dan semua itu sudah terbukti, bahkan ia sendiri sudah menjadi korban kekejaman Emma.“Kamu tenang saja, Mia. Dalam insiden terakhir, orang-orang kita berhasil melumpuhkan orang-orangnya Emma. Tidak lama kemudian polisi pun datang membekuk mereka.”Kali ini Mario angkat bicara, karena dia ada dikejadian terakhir dalam baku hantam dengan orang-o
Keesokan harinya Elena membuka mata dan mendapati dirinya masih dalam pelukan hangat Raul. Lelaki itu memeluknya erat seolah takut kehilangan lagi. Elena tersenyum, ditatapnya pria tampan di sampingnya yang tertidur nyenyak itu. Perlahan Elena mengangkat tangan Raul, namun tangan kekar itu tidak bergerak, malah memeluknya semakin erat.Elena hanya menghela napas panjang. “Raul…” Lelaki itu hanya menggeliat sebentar, namun tidak melepaskan tangannya dari pinggang Elena.“Raul… Sudah pagi, aku lapar…” gumam Elena pelan.“Selamat pagi, sayang,” sahut Raul sambil tersenyum, ia membuka matanya, lalu mencium kening Elena lembut. “Ya sudah kamu mandi dulu, aku akan siapkan sarapan kita.”“Apa? Kamu mau menyiapkan sarapan?” tanya Elena heran.“Loh memangnya kenapa?”“Sudahlah Raul, tunjukan saja dapurnya di mana biar aku siapkan sarapannya.”“Tidak-tidak, sayang. Kamu adalah ratuku, maka kewajibanku untuk melayanimu. Kamu bersih-bersih diri dulu, di lemari itu ada pakaianmu, aku pikir masih f
“Elena? Ada apa?” tanya Raul cemas.“Raul, Mia… tolong selamatkan Mia, Emma sudah menyiksanya, dia bahkan nyaris membunuh Mia jika aku tidak mau menandatangani berkas-berkas itu.”Elena menjadi sangat syock, tubuhnya bergetar ketakutan, air matanya tidak terbendung lagi, seketika dia teringat kembali bagaimana kejamnya orang-orang itu menyiksa Mia.Raul segera merengkuh Elena ke pelukannya, ia berusaha menenangkan wanita itu.“Tenang Elena, semua baik-baik saja. Mia sudah berada di tempat yang aman,” ucap Raul sambil mengelus punggung Elena.“Maksudmu? Mia?”“Ketika kami tiba di tempat itu, kami menemukan Mia tergeletak tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka, tidak jauh dari tempat kamu disekap. Aku memerintahkan Miguel dan beberapa orang untuk membawa Mia ke rumah sakit.”“Migu? Berarti Vela…?”“Ya Elena, sebenarnya Vela juga ikut dalam misi penyelamatan dirimu, tapi aku meminta Vela untuk menunggu di mobil.”“Oh, aku harus menemui adikku, dia pasti cemas…” Elena hendak bangun, na
Perlahan Elena membuka matanya, lalu berkedip-kedip sambil memperhatikan sekeliling. Ia menyadari dirinya terbaring di atas sebuah tempat tidur di dalam sebuah kamar yang nyaman. Elena mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya, terakhir yang ingat ketika ia akan menandatangani berkas yang disodorkan Emma, tiba-tiba datang serangan dari sekelompok orang bertopeng, mereka menyerang Emma dan orang-orangnya, lalu salah satu dari mereka menangkap tubuh Elena yang dilemparkan oleh orangnya Emma, kemudian membawanya pergi, setelah itu Elena tidak ingat apa-apa lagi.“Siapa sebenarnya mereka? Dan, di mana aku sekarang?” gumam Elena, ia mencoba bangun namun tubuhnya terasa lemas. Elena ingat, sejak pagi perutnya belum terisi apa pun. Tanpa sengaja Elea menoleh ke samping tempatnya terbaring, sebuah meja penuh dengan makanan dan minuman. Elena menelan ludah, seketika rasa lapar menyergapnya. Ingin rasanya ia menyantap makanan-makanan itu agar tubuhnya mempunyai energi. Tapi tidak, Elena