“Apa?! Kecelakaan??!!”
Aku berlari ke parkiran.
“Di mana?!” tanyaku setengah berteriak.
“Istrinya sudah ada di RSUD Doris, Pak-“
Aku langsung putuskan panggilan, kantungi ponsel ke saku baju. Ya ampun, belum dua minggu mobil itu dibeli kok sudah kecelakaan segala. April, April!
Aku gegas melajukan motor dari ke arah rumah sakit. Tanpa sempat tanya apa-apa, aku akan ke sana lihat kondisi istriku.
Begitu sampai aku lari masuk ruang Gawat Darurat.
“Di mana April?, Mana istriku?!” Aku menubruk perawat laki-laki.
“April?”
“Yang baru kecelakaan mobil!” Linglung, aku memutar-mutar melihat para pasien di di
Balik ke PoV Soraya, ya. “Ibu yakin mau menikahkan putrinya? Ini memang masuk batas minimum usia, tapi bukankah masih terlalu muda. Kalau tidak mendesak tunggu usia 20 atau 21 lebih baik, Bu.” Kesiapan mental Denok dipertanyakan, saat aku mendampingi mereka menyerahkan berkas ke kelurahan. Rencana keluarga dua bulan lagi akad sekaligus resepsi dilaksanakan, saat ijazah Denok keluar ia pun akan bersatus istri. “Ini termasuk kondisi mendesak, Pak. Anak-anak sudah ingin, saya berdosa kalau menghalangi.” Jerry mengiyakan, anak muda itu cukup tegas menjawab saat ditanya kesiapannya, begitu pun Denok. Aku cukup kagum pada keberanian mereka. Apalagi Jerry, hubungan kami dekat ia terbuka kalau pikirannya sering kacau, takut tidak berjodoh kalau kelamaan nunggu Denok. Ia juga serita ada mahasiswi yang cukup ekstrem
‘Mama Al, tau kah kejadian tadi malam?’ Setelah Subuh kulihat banyak chat masuk. Salah satu isinya ini, tentang Mas Danang. ‘Bapaknya Almira kelahi sama pemilik Mebel Rulli. Kayaknya salah ngomong sampai dikeroyok suami istri itu.’ 'Gimana kabar tuh si mantan? Pukulan Rulli ngeri aku lihat, Ay. Untung motornya gak dirusak.’ Agh! Rasanya mau menghindar dengar berita-berita begini. Kasihan anak-anak kena imbasnya. Di kota kecil ini apa sih yang bisa disembunyikan? Sebuah berita akan cepat menyebar, orang yang kenal kami pasti segera tahu. Mas Danang merusak nama baik sendiri, membuat malu anak-anak. Dulu mana pernah ia ribut dengan orang, ataukah … mungkin aku saja yang kurang mengenalnya. Aku beranjak, membalas seadanya pesan teman-teman
“Mama gak akan larang. Mama paham kalian khawatir sama Ayah,” ucapku sambil bantu Syifa dan Naya persiapkan pakaian. Mereka cuma bawa beberapa potong pakaian dalam ransel, sudah pesan tiket online untuk berangkat besok pagi. Tidak ada yang salah, siapa pun anak pasti khawatir lihat keadaan ayahnya begitu. Aku tetap ada bersama mereka yang terus pantau keadaan bapaknya melalui panggilan video. “Arahkan ke Ayah,” pinta Syifa pada Denok. Tampak kondisi Mas Danang masih terbaring diam, mata terpejam. Kata saudaranya ia tak bereaksi jika diajak bicara. Aku ikut merasa pilunya perasaan anak-anak ini. Hanya usapan pada pundak, atau tatapan prihatin yang bisa kubagi. Mereka terikat darah, tentu merasa cinta lebih kuat dibanding aku. Pagi. Dua roti burger isi daging dan sayur dalam wadah, kumasukkan ke dalam tas Naya. Mereka
“Ada masalah aku di sini …? Ini rumah anak, kita sama-sama berhak ….” Gemetar dan terputus-putus suara Mas Danang. Ia dipegang adiknya ternyata sudah berdiri di situ, mendengar ucapan kami tadi. Melihat itu, Denok lekas menarik kursi untuk ayahnya duduk. Namun lelaki itu tetap berdiri. Kupandangi ia dan Mbak Dina. “Aku yang punya masalah, bukan Mas Danang. Kiat bukan mahram dan aku risi kalau tinggal serumah.” “Mbak Aya, bisa kita bahas ini nanti saja, tunggu Mas Danang sehat dulu. Ini baru ke luar rumah sakit lo.” Mbak Dina menegur. “Biarkan!” Suara dan tubuh Mas Danang gemetar, tapi nadanya cukup keras. “Yang minta cerai dia, aku ajak kembali juga ditolak. Apa itu namanya mau bebas, bisa saja dia sudah punya lelaki lain!” Susah payah bicara tapi malah membuat tuduhan. Sorry, Mas! Aku mau saja ribut. Cuma kalau kulawan,
“Bicara apa, mau ributin kami? Suruh ke luar dari rumah ini?” Mataku langsung beralih pada lelaki yang tampak berbeda. Ia tak lagi menatapku mengiba, tapi tatapan menantang. “Iya, ini rumah kita sepakati untuk anak-anak, ke-“ “Kamu ulang-ulang itu terus aku sudah tau, Soraya. Anak-anak juga anakku. Kamu bisa tinggal di rumah anak, begitu pun aku. Kenapa harus ribut?!” Kutelan saliva yang terasa berubah jadi duri, masuk menusuk-nusuk rongga dada. Aku kehabisan kata-kata. Denok pun terlihat tak bisa apa-apa. Yah, memang benar. Ia sama sekali tidak salah! Ini rumah anak kami, tapi bukan milik perempuan itu! Aku bangun dari tempat duduk, melangkah cepat ke kamar perempuan lakn*at tanpa malu. “Aya?” Temanku mengingatkan diri, ia mengikutiku dari belakang.
Panas. Panas banget! Aku kipas-kipas dengan buku. Bukannya AC sudah full dingin, aku kok masih kepanasan gini? “Sadaqallahul azim ….” Menyelesaikan ngajinya Jerry berbalik, melihatku yang bermandi keringat. “Kenapa, Yang?” Dia tanya setelah simpan mushaf di nakas. “Enggak tau nih, panas kok sampe gini, lihat!” Kutunjuk keringat membasahi leher. Dilihatnya suhu AC, lalu lihat lagi padaku, sejenak tatapannya heran. Diambilnya tisu. “Nih dilap. Aku ke masjid dulu, ya.” Jerry memang setia jamaah di masjid sekarang, tadi pulang habis Magrib cuma buat ngaji di rumah. “Hu um, jangan lama-lama.” Senyum bibirnya, sambil mengacak rambutku. Sikap suamiku ini sangat manis. Orangnya tenang dan manjain aku banget
Hari ketiga berlalu. Ayah sudah berangkat ke Jogja kemarin sore, nyusul Mama yang sudah dua hari lebih dulu ke sana. Hari ini akad sekaligus resepsi Kak Almira. Mama April masih lemah semenjak berturut-turut diruqyah. Aku gak tega ninggalinnya, aku juga masih terus keringatan dan muntah kalau dibacain ayat. Katanya aku yang paling kuat dipengaruhi. Iya kuakui, kemarin-kemarin bahkan aku merasa amat dekat dengan Mama April. Jerry juga batal ikut, jadi tiket kami bertiga digantikan oleh keluarga lain. Ayah orang terpenting harus hadir, Mama April kasian kalau aku juga pergi. Dia korban perjanjian gaib nenek moyang, siapa lah yang mau begitu. “Ustaz Hidayat akan tetap mendampingi pengobatan, Beb. Sambil ruqyah pengobatan Thibbun Nabawi juga tetap dilakukan.” Jerry setia mengingatkanku terus dzikir, saat ada tanda gak enak perasaan, bawaan gelisah, dan kesal akan a
Kedua belah keluarga dan mempelai sudah ada di Gedung Balai Pamungkas, dekat Stadion Kridosono, untuk melaksanakan resepsi. Almira dan suami sudah memakai pakaian Paes Ageng Jangan Menir, sangat cantik dan tampan. Almira juga berdarah Jogja dari Mas Danang, tidak masalah kompak memakai adat Jogja. Alhamdulillah, akad di rumah tadi pagi lancar tanpa halangan. Mas Danang cukup tenang menggenggam erat tangan Angger Wijatmoko saat prosesi, dalam sekali ucap langsung sah. Suara menantu terdengar sangat mantap dan tegas. Aku lega. Ini sudah hampir dua jam duduk di kursi sisi pelaminan, berdampingan dengan Mas danang sebagai orang tua perempuan. Kunikmati suasana, sesekali lirik Almira di pelaminan tengah, ia tampak selalu senyum lepas, kadang berbisik dengan sang suami, malu-malu_ah, teringat diriku dulu, ya begitu, mengenakan baju adat Jawa juga. Semoga kebahagiaan selalu ada padamu, Nak. Biarkan s