Share

8. Mulai Lelah

Ia menegakkan badan mukanya mendekat dengan mata tajam. “Sudah lama kubiarkan keuangan kamu kuasai, Soraya. Kamu pikir aku bodoh. Dari awal menikahi April aku banting tulang sendiri!”

Wah, wah rupanya ia selalu memikirkan bagiannya dalam pekerjaanku. Ke sini ku kira baik-baik saja, tapi ternyata menyimpan bara yang masih merah.

Aku bangkit. “Kita bicara di kamar, Mas!”

“Di sini saja. Denok akan paham, biar tahu ibunya itu seperti apa!’

Astagfirrullah ….

Aku kembali duduk.

“Kita perlu membagi harta yang ada, aku punya keluarga tang harus kunafkahi, Aya. Keperluan pribadiku. Mana hasil dari pabrik yang sekarang makin laku? Mana bagianku? Selama ini aku diam tanpa mau tanya, berharap kamu sadar ada hakku di sana. Tapi memang kamu gila harta. Semua dimakan sendiri. Keadaanku sulit seolah kamu tutup mata. Apa itu istri yang baik, hah?”

Terperanjat aku mendengar ini, semua isi hatinya seperti muntah begitu saja ke mukaku.

“Apa Mas ini kesulitan keuangan lagi? Bukannya sudah punya toko, lalu kurang apa? Bagus dong kalian bisa merintis usaha yang hebat. Masih bisa naik mobil. Gak kayak kita dulu di awal yang harus ngikat pinggang nahan lapar.”

“April tanya bagianku dari harta bersama ki-”

Ia terlihat keceplosan sebab segera terdiam. Aku tertawa geli, sampai mata ini berair.

“Jadi Mas begini karena ditekan istri muda itu? Baru tau aku seorang Danang takut istri rupanya.” Lagi tawa berusaha kutahan. “Itu milik anak-anak, Mas, bukan milik kita. Semua sudah kualihkan atas nama anak-anak. Kalau April punya anak mungkin akan kumasukkan juga.”

Mukanya merah padam, tampak rahangnya mengeras.

“Ingat malu, Mas Danang. Jangan buat anak-anak putus sekolah gara-gara sikapmu. Menyesal gak akan bisa mengulang semua," lanjutku.

“Tapi aku punya keluarga yang harus kubiayai, Aya.”

Gemetar jemariku mengepal.

“Keluarga? Keluarga mana yang butuh biaya banyak? Keluargamu di sini sudah kupenuhi semua, Mas, yang harusnya jadi tanggung jawabmu. Harus Mas tau kami tidak kekurangan, aku gak pernah ngemis uang, kan? Hanya minta waktu Mas Danang perhatikan anak-anak, itu saja.”

Ia memukul meja keras, menyentak jantungku langsung berdegup kencang. Lalu tanpa salam ke luar pintu. Aku terhenyak di tempat duduk, dengan mata menatap nanar punggung itu sampai naik mobil.

Kamu bilang sulit tapi masih naik avanza, Mas. Apa itu hasil hutang lagi?

Ah, kenapa perasaanku terasa lelah.

*

Mas Danang memang labil. Setelah marah hari itu ia terus menghubungi untuk meminta maaf, lalu datang dan janji tidak akan bicara atau bersikap kasar lagi. Ia katakan terbawa emosi akibat tertekan. Walau tak kutanggapi ia membuktikan ucapannya dengan bersikap manis, saat kami sama-sama menghadiri wisuda Almira.

Sejak awal menikah kami memang sangat akur, tak pernah ada pertengkaran hebat. Seperti yang kubilang di awal, ada masalah kami selalu bicara berbisik agar anak-anak tak mendengar. Kondisi selalu dibuat nyaman, meski terkadang membohongi diri sendiri, sebab saat marah tetap harus berpura baik-baik di depan anak. Itu yang membuat kami dikagumi mereka.

Naya pernah nyeletuk kalau ingin suami seperti sosok ayahnya, dan ia ingin menjadi istri sepertiku kelak, diamini Almira dan Syifa yang sepertinya sepemikiran. Ah, mungkin mereka kira kami pasangan sempurna, padahal hubungan ini telah amat hambar, pasca menikah lagi kami belum ‘berhubungan’, karena selain aku belum siap, ia juga terlihat tak berselera lagi padaku. Itu tidak masalah, sebab aku masih merasa jijik.

Bagai keluarga bahagia kami merayakan keberhasilan Almira berenam, Denok pun izin sekolah. Kami tak lupa mengunjungi seaworld, lalu esoknya lagi ke Taman Mini, dan hari berikut ke wisata Kota Tua.

Para putriku yang punya tubuh tinggi melebihi aku ini, begitu bersemangat ambil foto-foto kebersamaan kami.

“Buat kenang-kenangan, kapan lagi kita liburan,” kata Naya mengingat terakhir kami libur sekeluarga saat ia masih SMP.

Hari ketiga Mas Danang mulai gelisah.

“Iya sabar, besok juga pulang.” Ia menenangkan istrinya yang merengek di kejauhan.

“Sabaar, mana bisa langsung pulang. Anak-anak ngajak jalan-jalan dulu.” Suaranya berbisik-bisik menerima telepon di teras.

April sepertinya tak rela, mungkin karena Mas Danang semringah pasang status WA, foto berlatar aquarium raksasa di Seaworld, padahal hanya bersama putri-putrinya apalagi kalau ada aku.

Bisa kulihat tawanya selalu lepas, meladeni anak-anak yang kadang manja padanya. Ada momen paling menyentuh hati, saat kami diajak Naya foto box di sebuah Mall. Kami berdua di tengah diapit anak-anak sambil dirangkul erat, membuat pipiku dan Mas Danang menempel, diancam mereka harus bergaya wajah jelek juga. Haa. Tawa hadir bersamaan dengan rasa teriris di sebelah hatiku.

Membuncah rasa ingin tahu, apakah bahagia di wajah Mas Danang itu topeng, ataukah dari lubuk hatinya terdalam. Entah, apa aku masih boleh mengetahuinya.

*

“Mama Almira maaf nih sebelumnya, aku cuma mau tanya …” Seorang istri temanku juga teman Mas Danang, terlihat ragu menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah.

“Tanya apa, Mama Sari? Katakan aja aku gak akan apa-apa.”

“Ini mengenai bapaknya Almira.” Begitu sebagian terbiasa menyebut kami, karena ini orang tua teman Syifa saat sekolah SD dulu. Ia mulai menjelaskan tentang utang piutang Mas Danang dan April.

“… kalau dibungakan makin membengkak, sesuai perjanjian nambah persennya tiap bulan, ini sudah enam bulan belum juga dicicil, padahal kami sedang butuh.”

Aku sudah tak kaget. Ini orang kedua yang datang dan berkata demikian.

“Kayaknya salah alamat kalau tanya ke aku. Mas Danang tidak bilang apa-apa dan aku sama sekali gak tahu urusan ini. Andai ikut tanda tangan mungkin aku bisa bantu.”

“Iya sih, tapi tanya sama si April itu juga bilang gak tanggung jawab. Jadi aku ke mana ini?”

“Loh kata Mas Danang gimana? Coba deh langsung ke orangnya. Emang berapa pinjamannya?”

“Seratus lima puluh juta pokoknya, belum masuk persenan. Itu dulu buat modal jual pakaian katanya.”

“Oh, mungkin buat isi tokonya si April, coba saja ke sana.”

Mamanya Sari berulang-ulang minta maaf kalau membuatku tersinggung. Ia memang orang baik, menagih dengan cara super sopan. Ternyata hutang Mas Danang makin menjamur. Mungkin aku perlu pikirkan lagi mengenai langkah selanjutnya, mengenai harta gono gini yang pernah ia ungkit itu, supaya tak ikut mengganggu pikiran lagi.

*

“Ma, Kak April minta Denok nginap di sana.”

Aku mengerut kening. Kenapa Denok baru bilang saat sudah mau berangkat begini? Biasanya ia izin dulu baru siap-siap.

“Kok sudah mau berangkat aja, kan mama belum bilang iya?” Kupegang lengannya yang tengah memasang tas selempang, sepertinya berisi pakaian.

Denok menghindar tatapanku. Klakson bunyi dari depan rumah.

“Dah, Ma. Aku sudah dijemput.”

Ia cepat menyalim tanganku lalu setengah berlari ke luar. Mobil avanza Mas Danang.

Denok sama bapaknya, tapi kenapa perasaanku tidak enak?

Aku mau telepon Mas Danang, urung bertepatan Naya menelepon via video call.

Kugeser layar hijau. Langsung terlihat ada Syifa terbaring lemah di dipan.

Belum sempat ucap salam aku keburu kaget lihat ruangan di belakang.

“Syifa kenapa, Kak Nay?”

“Sakit, Ma. Tadi pingsan. Kak Al masih piket di rumah sakit, ini di klinik dekat rumah aja.”

“Coba arahkan ke adiknya.” Aku menegang melihat Syifa lemah, ia meneleng ke layar ponsel, bibirnya terlihat putih pucat.

“Ya Allah … apa kata dokter?”

“Masih nunggu pemeriksaan. Tensinya rendah banget, kepala sakit.”

Ah, anakku itu pasti kelelahan. Mata Syifa sayu menatapku, seakan meminta diri segera ada di sisinya.

“Kak Almira pulang jam berapa?”

“Piketnya sampai nanti malam, Ma.” Almira tengah koas di rumah sakit yang letaknya cukup jauh dari rumah. “Tadi Nay terpaksa absen, gak ada yang jaga Syifa ….”

“Iya, iya, Sayang. Mama akan cari tiket segera ke situ, ya.”

Begitu menutup telepon aku langsung hubungi penjual tiket langganan. Alhamdulillah dapat seat penerbangan GA553 pukul 17.30 nanti. Masih tiga jam setengah lagi.

Aku lekas menghubungi orang kepercayaan di pabrik, sambil menuju toko kayu kami yang letaknya masih dalam kota. Mengarahkan mereka akan apa yang belum dan akan dilakukan, kemudian sisanya bisa aku pantau lewat telepon. Keadaan Syifa lebih kuutamakan.

Tak lupa dua saudariku Widi dan Laras, kuminta bawa anak-anak nginap dan jaga rumah, menemani Denok. Hanya kami bertiga saudara yang tinggal sekota. Dua saudaraku lain di luar kota, juga ibu yang sudah sepuh tinggal bersama kakak tertua, jarak tempuh 5 jam dari sini.

Untuk masalah rumah tanggaku Ibu sama sekali tidak tahu sampai sekarang. Walau beberapa kali ke sana hanya sebatas melepas kangen dan ngobrol ringan. Ibu pernah stroke, dan kami sepakat membagi hal-hal yang menyenangkan saja padanya.

“Mama pergi dadakan?” Denok baru tahu karena ia tadi les, dan ini melihatku bersiap berangkat.

“Iya, kak Syifa butuh Mama, Nok. Gak apa kan sama tante Laras dan tante Wid dulu?”

Ia mengangguk patuh. Kuusap kepala yang selalu harum bunga itu, mengecup pucuknya sebelum berangkat. Pak Sam supir pabrik bersiap mengantar ke bandara.

“Kalau Kak April mau ke sini boleh gak, Ma?” Pertanyaannya menahan langkahku, aku berbalik menatapnya lekat.

“Ke sini? Memang dia mau ke sini? Mau apa, Denok? Gak usah ya.”

“Kenapa? Dulukan Kak April tinggal di sini juga. Kasihan, Ma rumahnya AC kurang dingin. Panas.”

Tenggorokkanku terasa disumpal batu. Sudah kepala kalut ditambah urusan April juga.

“Sayang, dia itu biasa di kampung, jangankan AC, kipas angin aja dulu dia muntah-muntah masuk angin. Pokoknya nurut sama mama, ya?”

Denok mengangkat jari telunjuk dan jari tengah membentuk V.

Ah, lama-lama dekat dengan perempuan itu anakku malah membelanya. Tak apa, ini akan sebentar saja, setelah Denok lulus ia juga akan nyusul kakak-kakaknya, itu rencanaku.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status