Share

EPISODE 2

Tak seperti hari-hari biasanya yang sibuk, wanita yang kini masih memakai piama warna kuning tengah asyik menyesap teh hijau sambil menatap layar ponsel. Ia juga mengambil kue kering dan memakannya dengan pelan dan lembut. Matanya berbinar terang, entah keberuntungan apa yang sedang ia dapatkan, tetapi wanita itu segera berlari menuju ke kamar mandi.

Dengan pelan dan pasti, wanita itu melepaskan pakaiannya. Punggung mulusnya terpampang dengan jelas, tentu tidak akan ada satu pria pun yang akan melewatkannya jika melihat pemandangan seperti itu. Tangannya mengambil sabun dan mulai menggosok tubuhnya hingga kaki yang panjang dan semampai. Terkutuklah semua pria di dunia ini, jika tidak menyukai atau mendambakan wanita ini.

Setelah selesai membersihkan diri, ia mengambil handuk dan menyelimuti tubuhnya agar tidak mati kedinginan. Ia lalu pergi mencari pakaian yang layak untuk ia pakai, mengambil pakaian dalam yang begitu seksi dan juga gaun yang mewah. Tetapi, ia mengembalikan gaun dan kembali mengambil celana panjang dan juga kaus serta jaket kulit.

Wanita itu sangat sadar, ia tidak boleh terlalu mencolok, sehingga tidak akan ada yang curiga, kenapa ia memilih datang ke kota ini. Ia lantas mengambil tas merek guci dan tak lupa membawa ponselnya yang tadi ia letakkan di atas meja. Mengambil sepatu kulit yang cocok dipadukan dengan pakaiannya, wanita itu lalu bergegas keluar dari apartemennya.

Menaiki lift, wanita itu agak sedikit tidak nyaman karena tatapan pria yang ada di sampingnya. Ia bahkan menyadari bahwa pria di sampingnya ini sangat-sangat tidak beradab dan sopan. Lihat saja, saat pria itu berjalan lebih dulu meninggalkan lift, dapat wanita itu lihat di saku belakangnya ada bungkus rokok. Ia menduga pria itu bermalam di tempat yang tak seharusnya.

Jika ada yang berpikiran, ia akan langsung naik mobil setelah keluar dari gedung apartemen, itu tidak benar. Wanita ini malah sekarang berjalan menuju ke arah jalan raya, setelahnya ia benar-benar mencari keberadaan mobil yang bernama lengkap taksi.

Wanita itu terlihat mengerucutkan bibir, ia lalu berjalan menuju ke jalan yang lain untuk mencari taksi. Tiba-tiba saja ponsel yang ia bawa berdering, menandakan ada telepon yang masuk.

“Aku masih mencari taksi, kamu tenang saja, aku segera datang.”

Tanpa basa-basi, setelah mengucapkan kalimat itu, ia segera menutup sambungan telepon. Ia sudah hampir bahagia kala melihat taksi di depan matanya. Namun, seseorang yang entah datang dari mana, tiba-tiba sudah mendekati taksi dan masuk ke dalamnya. Ia bahkan sudah kalah, sebelum memulai untuk negosiasi.

Wanita itu mau tidak mau menunggu sambil membalas pesan yang terus masuk ke ponselnya. Akhirnya, taksi yang ia tunggu sudah tiba juga. Alhasil, ia langsung naik dan memberi tahu ke sopir alamat yang hendak ia tuju.

Selama perjalanan, ia menandangi jalanan dan bangunan-bangunan yang dilewatinya. Ia jadi begitu merindukan kota di mana ia dilahirkan, sebelum ia pindah ke kota ini untuk bekerja. Wanita itu tersenyum dan membayar sopir taksi. Ia lalu memasuki gedung, di mana seseorang sudah menunggunya.

Wanita itu sempat berhenti sejenak saat memasuki kafe di lantai 3, ia mencari keberadaan seseorang yang sedari tadi sebenarnya sudah heboh saat mengirim pesan. Pesan yang ia kirimkan pun, belum mendapatkan balasan. Jadi, ia bingung apakah sudah dipesan tempat duduknya atau belum.

Wanita itu terkejut kala seseorang yang dikenalnya mengagetinya dari belakang, ia hampir saja mengumpat, jika temannya tidak langsung menyuruhnya duduk dan memberikan menu kafe tersebut. Karena, ia belum sarapan, jadi ia memesan roti bakar dan kopi.

“Nevilla Caldwell, aku senang sekali bisa bertemu sama kamu, hari ini. Libur perusahaan akan segera berakhir, berarti nanti kita bakal sibuk lagi. Enggak seru banget kan?”

Nevilla menggeleng. “Aku merindukan perusahaan.”

Temannya menjitak kepala Nevilla yang langsung meringis dan hendak menyerang balik tetapi tidak kena. Temannya menjulurkan lidah sambil ketawa.

“Aku enggak tahu isi otak kamu, La. Tapi, kalau aku, aku mengharapkan libur yang jauh lebih panjang.”

“Itu kan kamu, Serena! Kalau aku, aku rindu juga sama Pak Aron.”

Serena mengangguk mengerti. Ia harusnya tahu apa yang ada di pikiran Nevilla saat ini.

“Oke. Jadi, hubungan kamu sama Pak Aron ini sejenis apa? Teman? Sahabat? Atau pacaran?”

Nevilla tidak langsung menjawab, karena kebetulan pesanan mereka sudah datang. Ia tersenyum pada pelayan lalu menyesap kopi perlahan-lahan.

“Kok, kamu enggak jawab pertanyaan aku, La.”

Serena menatap Nevilla dengan heran, ia sendiri sudah memakan kue stroberi kesukaannya.

“Aku bingung, Na. Hubunganku sama Pak Aron ya begitu-begitu saja. Dia juga belum pernah bilang kalau dia suka atau cinta sama aku. Tapi, kamu tahu kan? Dia setiap hari selalu menghampiriku.”

Serena mengangguk, ia sangat mengerti bagaimana perasaan Nevilla. Sebab, ia juga pernah merasakan hal yang sama meski pada akhirnya, ia menyerah.

“Menurut aku ya, La. Kamu sebaiknya jangan terlalu berharap, itu pun jika kamu belum terperangkap cintanya Pak Aron. Ya kan, dia wakil direktur, siapa coba yang enggak mau jadi pendampingnya? Tapi, kamu juga harus pintar, biar enggak dikasih harapan semu.”

Nevilla memahami sekali ucapan Serena, sayangnya ia tidak bisa melepaskan Aron begitu saja. “Aku suka banget sama anaknya Pak Aron, Na. Lucu kan?”

Serena yang sudah menghabiskan kuenya, mengernyit. “Jadi kamu suka sama anaknya? Bukan sama bapaknya?”

Nevilla memejamkan matanya, ia menggeleng mantap.

“Oke, aku paham, La. Paham sekali. Intinya kamu suka kan sama Pak Aron tapi dia enggak kasih status hubungan yang jelas. Tinggalkan saja.”

Nevilla menggeleng, ia tidak akan pernah meninggalkan kesempatan emas untuk mendapatkan hati Aron. Banyak wanita di perusahaannya yang terang-terangan iri terhadapnya karena setiap hari Aron begitu sering bersamanya. Jadi, ia tidak akan berhenti.

“Hati siapa yang tahu.”

Serena tertawa kecil, baginya Nevilla benar-benar tahu apa yang ia inginkan.

“Tapi, jika aku jadi kamu, aku akan mendekati Pak Arkan. Sudah jelas kan dia pemilik perusahaan?”

Nevilla menggelengkan kepalanya, sementara Serena tersenyum gemas.

“O iya, La. Aku dengar Pak Davi akan diganti dengan direktur yang baru.”

Nevilla semringah. “Aku tebak pasti Pak Aron yang akan menggantikan, betul tidak?”

Serena menggeleng, membuat Nevilla keheranan. “Siapa lagi coba, kalau bukan Aron?”

Serena menatap Nevilla dengan lekat. Ia lalu menyentuh kedua pipi wanita itu dan menepuknya pelan.

“Bangun, La. Pak Aron tidak akan jadi direktur, dia kan bukan anak kandungnya Pak Arkan. Dia akan tetap jadi wakil direktur. Nah, yang akan jadi direktur itu, anak kandungnya Pak Arkan namanya Adero. Dia katanya lebih seksi dari Pak Aron.”

Serena yang melihat Nevilla terdiam merasa khawatir. “La, kamu baik-baik saja kan?”

Nevilla tersenyum canggung sambil mengangguk. “Aku baik-baik saja. Kalau begitu, aku langsung pulang ya, Na.”

Serena hendak menahan kepergian Nevilla, tetapi ia tidak jadi karena ia yakin sekali Nevilla belum tahu bahwa Aron bukan anak kandung Pak Arkan. Meski begitu, bagaimana pun Nevilla harus mengetahuinya.

***

Nevilla kelu, ia berjalan dengan hati yang bimbang. Ia benar-benar tidak tahu jika Aron bukan anak kandung Pak Arkan. Selama ini, yang ia tahu bahwa Aron adalah anak tunggal Pak Arkan, tidak ada orang lain yang pernah bercerita atau pun terdengar desas-desus apa pun mengenai kenyataan bahwa Aron adalah anak tiri.

Kepala Nevilla mendadak pusing, ia memegangi tiang sambil menghentikan taksi. Sebelum menaiki taksi, ia sempat mendapatkan pesan dari Aron dan ia tidak berniat untuk membalasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status