Adero memeluk ibunya. Ia yakin jika setibanya di Spanyol, ia akan merindukan ibunya langsung. Akan tetapi, benar seperti yang ibunya katakan bahwa ia tetap harus pergi. Sehingga, ia melepas pelukan dan tersenyum.
“Kalau begitu, aku berangkat, Bu.” Adero menyeret koper, ia dapat melihat ibunya melambaikan tangan sambil tersenyum.
Adero mendadak terdiam sebelum membuka pintu dan keluar. Keputusan yang ia ambil hari ini, akan menjadi penentu dari masa lalu yang belum terungkap. Dengan langkah mantap, ia menutup pintu, berjalan menuju taksi yang sudah dipesan ibunya, dan memberi tahu kepada sopir bahwa ia akan pergi ke bandara.
Selama perjalanan menggunakan taksi, Adero terus membalas pesan sang ibu yang memberikan banyak sekali nasihat, seperti ia tidak boleh menampakkan wajah tak suka pada ibu tirinya, ia harus menghormati ayahnya dan juga menyayangi saudara tirinya.
Mendapatkan banyak nasihat, dan ketika nama Aron tersebut di dalamnya, ia jadi ingat pesan yang sempat pria itu kirim padanya. Adero kembali membuka pesan itu, mencoba memahami setiap kalimat yang tersirat. Tetap saja, ia tidak begitu menyukai Vincent. Meski, anak kecil itu anak Hana, tetapi bukan anaknya. Jadi, tidak baik merindukan dirinya.
Adero mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikan pada sopir. Ia sudah sampai di bandara dan langsung menuju ke rute penerbangan Spanyol. Sebab ia datang begitu cepat, ia harus menunggu setengah jam lagi, sebelum pesawatnya siap untuk di naiki.
Adero memilih duduk di kursi tunggu yang kebetulan tidak banyak orang duduk di sana. Ia sempat melihat sekeliling sebelum menatap ponselnya. Ia memilih membaca buku digital mengenai perumahan dan properti, agar setibanya di Spanyol, ia sedikit mengerti tentang perusahaan yang sudah keluarga Alyward kembangkan selama hampir ratusan tahun.
Sebenarnya, Adero bukan tipikal pria yang suka dengan bangunan dan semacamnya. Ia jauh lebih suka menggambar grafis dan desain pakaian, tetapi mengingat ia akan menjadi penerus perusahaan ayahnya, setiap hari ibunya memaksa ia untuk belajar meskipun ia benar-benar tidak melakukannya.
Adero bisa mendengar bahwa keberangkatan pesawat ke Spanyol sudah siap. Para penumpang pun disuruh untuk segera menaiki pesawat. Tanpa basa-basi, Adero menarik kopernya dan mengikuti segala macam pemeriksaan yang ada. Ia bersyukur tidak ada hal-hal aneh yang terjadi, jadi kini ia sudah duduk di kursinya.
Seperti biasa, para pramugari wanita akan menawarkan makanan atau minuman padanya. Ia juga tentu tidak menolak, sebab dibandingkan dengan wanita klub yang suka menggodanya, menurutnya para pramugari jauh lebih cocok untuk dipandangi keindahannya.
Adero menggelengkan kepala, ia lalu memilih makanan dan minuman ringan yang dibawa oleh pramugari cantik di hadapannya. Ia sempat melihat pramugari itu terlihat tegang, tetapi masih berusaha melayani dengan baik.
Adero tersenyum pada sang pramugari sebelum pramugari itu pergi. Ia membuka kopi kalengan dan menegaknya. Lidahnya dapat mengingat rasa manis dan pahit yang menjadi satu. Ia lalu memilih memakan roti dan menunggu pesawatnya terbang.
Tak banyak yang dilakukan Adero selama berada di pesawat, ia membaca buku, tidur, makan dan hanya terdiam mengamati sekitarnya. Ia juga tidak bisa melihat pemandangan dari atas, karena posisi duduknya tidak di pinggir.
Adero melihat kerumunan yang tiba-tiba saat ia baru bangun dari tidurnya. Ia sempat mendengar dari beberapa orang yang duduk tak jauh darinya, bahwa ada seorang wanita tua yang merasakan sakit perut. Ia hanya mengangguk paham dan tak terlalu memikirkan.
“Permisi, apa aku bisa meminjam majalahmu?”
Adero menoleh ke sumber suara, ia baru sadar bahwa orang yang duduk di kursi sebelahnya sangat cantik. Ia lalu memberikan majalah yang dimaksud kepada wanita itu yang langsung menerimanya dengan senyum tipis.
“Apa kamu akan pergi ke Spanyol?”
Adero mengernyit mendengar pertanyaan itu. Bukankah seharusnya wanita itu sudah tahu ke mana pesawat ini akan mendarat. Hal ini membuatnya merasa aneh tetapi memilih untuk mengangguk sebagai jawaban.
“Ah, begitu. Kenalkan, namaku Pera. Aku juga akan pergi ke Spanyol karena mendapatkan pekerjaan di sana. Kamu sendiri, bagaimana?”
Adero sebenarnya tidak terlalu suka berkomunikasi dengan orang yang belum ia kenal dekat. Namun, melihat wanita tampak antusias, ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Ia juga tak ingin menyakiti hatinya.
“Sama, ini karena aku mendapatkan pekerjaan.”
Wanita itu tampak takjub, ia sekarang meletakkan majalahnya dan menatap ke arah Adero dengan tatapan seakan ingin bertanya lebih lanjut.
“Apa kamu sebelumnya sudah pergi ke Spanyol? Ah, aku benar-benar begitu mengagumi kotanya. Aku begitu bahagia ketika bisa mendapatkan pekerjaan di sana.”
Adero melirik wanita itu dan menggelengkan kepala. “Spanyol tak seindah apa yang terlihat di media. Memang sekilas tidak ada yang salah, tetapi tetap saja harus waspada.”
Pera mengerucutkan bibirnya, membuat Adero memutar bola matanya malas. Kenapa begitu banyak wanita yang seperti itu di dunia ini, seakan memberi tahu bahwa ia merajuk. Ia tidak akan menandai wanita itu sebagai salah satu orang yang cocok masuk dalam kehidupannya.
“Sepertinya kamu begitu mengenal Spanyol. Padahal aku yakin sekali, kamu baru pertama kali datang ke sana, karena kamu tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya.”
Adero hendak menanggapi tetapi melihat wanita itu mengembalikan majalah dan memilih memejamkan mata, ia pura-pura saja tak mendengar ucapan wanita itu. Lagi pula, tak perlu membuang waktu untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin tak akan dipercayai.
Setelah hampir 2 jam berada di dalam pesawat, Adero bersyukur karena pesawat mendarat sempurna tanpa masalah apa pun. Ia kini tengah mengambil permen rasa daun mint dari dalam ras dan memakannya. Ia juga tak lupa menyalakan ponselnya yang ia tebak pasti sudah mendapatkan banyak kiriman pesan.
Benar saja, kiriman pesan itu dari sang ibu, ayah, Aron dan seseorang yang sudah lama tak ia jumpai. Adero mengangkat bahu, ia memilih tak membalas pesan dari sang ayah dan Aron, baginya sangat tidak penting. Ia lalu memilih untuk mencari seseorang yang sudah menunggunya datang menjemput.
Adero bukan pria yang suka basa-basi, jadi ia membiarkan orang itu menaruh kopernya di bagasi, sedangkan ia sendiri sudah duduk di kursi penumpang mobil mercedes-benz warna putih. Tak lama kemudian, pria yang sudah lama bekerja sebagai sopir di keluarga Alyward masuk ke kursi setir, menyalakan mesin mobil dan melajukannya.
Dalam perjalanan, Adero kembali berkutat dengan buku-buku mengenai bisnis dan penunjang yang cocok untuk dipelajari. Ia melirik pada pria yang sibuk asyik menyetir, ternyata pria itu tidak berubah sejak dahulu, masih sama-sama terkadang tidak begitu peduli.
“Jadi, apakah majikanmu membagikan gaji yang layak setelah kamu mengabdi padanya puluhan tahun?”
Pertanyaan itu membuat pria yang tengah membawa mobil untuk belok kiri, tersenyum kikuk. “Pak Arkan sangat baik pada saya, Tuan. Dia tidak hanya memberikan gaji yang sesuai, tetapi juga menyekolahkan kedua putri saya.”
Adeeo mengangguk. “Aku bersyukur dia tetap memedulikanmu meski dia mungkin saja kewalahan dengan standar istri barunya.”
Pria itu terdiam sejenak sebelum menjawab. “Bagaimana kabar Ibu Keanna? Aku dengar bisnisnya di Jerman sudah sukses, apa itu benar?”
“Ah, Ibuku. Ya, dia sudah menjadi wanita yang mandiri setelah ditinggal mantan suaminya menikah lagi. Bisnisnya memang melaju sangat cepat, jadi jika kamu merasa sudah tidak tahan bekerja untuk Alyward, kamu bisa melamar pekerjaan untuk keluarga Carlson.”
Pria itu tersenyum kecil sebelum membalas, “Bukankan kamu juga bagian dari keluarga Alyward?”
Adero tergelak, ia tidak bisa menyalahkan pertanyaan itu. “Aku lebih suka dianggap sebagai keluarga Carlson. Jadi, apa yang kamu tahu mengenai bisnis keluarga Alyward yang sudah hampir menguasai Spanyol ini?”
“Aku bekerja sebagai sopir, jadi tidak terlalu memperhatikan. Meski begitu, aku mendapatkan beberapa informasi bahwa perusahaan sudah mulai bersaing dalam skala internasional. Aku benar-benar sangat yakin sedari dulu, bahwa perusahaan yang ditinggalkan oleh mendiang Tuan Almo pasti akan sukses besar.”
Adero melihat jalanan, ia jadi teringat alasan dirinya tetap berada di Spanyol walaupun waktu itu ia berniat kabur ke Jerman untuk menemui ibunya. Ia masih mengingat jelas, ketika sang kakek menyuruhnya untuk tetap tinggal karena si menantu baru itu tak mau mengurusinya. Lagi, ia merasakan sangat emosional.
Adero tidak menyangka, ia sudah tiba di rumah megah yang sudah ia tinggalkan 5 tahun yang lalu. Ternyata, rumah itu masih terlihat sama seperti terakhir kali ia pergi, tak ada yang berbeda jika dilihat dari depan. Ia lalu turun dari mobil, membiarkan kopernya dibawa oleh pelayan rumah ini.
Adero menatap ke taman bunga mawar yang sepertinya masih baru. Ia mengangkat bahu, meskipun tahu bahwa tadinya taman itu berisi berbagai jenis tanaman bunga anggrek kesukaan ibunya. Mengingat ibunya bukan lagi nyonya besar, ia memilih membawa langkahnya menuju pintu yang sudah dibuka lebar.
Seperti biasanya, para pelayan akan baris berjejer sambil menyambut kedatangannya. Tangan Adero mengambil jus jeruk yang sudah disiapkan oleh salah seorang pelayan, ia meneguknya dalam sekali tegukan. Ia lalu mengambil tisu dan mengelap bibirnya serta memberikan gelas yang kosong ke pelayan yang lain sambil terus berjalan.
Entah perayaan macam apa, tetapi Adero melihat banyak sekali balon dan pernak-pernik anak kecil untuk ulang tahun. Ingin rasanya sekarang juga ia kabur dari tempat ini, karena ia sudah bisa menduga siapa saja dalang di balik pesta paling konyol untuk menyambut kedatangannya.
“Kejutan! Selamat datang kembali ke keluarga Alyward, Adero!” teriak seseorang yang Adero kenal sebagai saudaranya yang memiliki karier sebagai seorang penyanyi.
Adero mengibaskan tangannya sambil menatap mata biru milik anak kecil yang kini berjalan ke arahnya. Anak kecil itu membawa sepotong kue rasa keju dan memberikan padanya. Ia sebenarnya bisa saja menolak kue itu. Andai saja, ia lupa dengan pesan dari ibunya.
“Aku tidak tahu Paman suka kue apa, jadi aku belikan kue keju kesukaanku.”
Hati Adero mencelus, ia tersenyum dan mengusap kepala anak kecil itu. Sedetik kemudian, ia menyadari seseorang yang selalu menghancurkan kebahagiaannya selama ini. Aron, pria itu sepertinya masih tidak merasa bersalah karena telah memenuhi ruangan ini menjadi sesak sehingga ia merasa tercekik.
“Aku butuh waktu istirahat.”
Adero berjalan meninggalkan ruangan yang sudah dipenuhi dengan hiasan untuk menyambut kedatangannya. Bukan tidak ingin merayakan pesta, ia hanya masih belum menerima sebagian kecil kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Ia mengamati irisan kue keju yang kini ada di piring yang sedang ia pegang, kembali mengingatkannya pada masa di mana ia memilih untuk terus mengalah.Adero sudah sampai di depan kamarnya yang ada di lantai 3, ia hendak membuka pintu kamar yang pastinya akan selalu menjadi tempat ternyaman di rumah ini, akan tetapi tangan lain sudah lebih dulu membuka pintu. Ia menatap kepada seseorang yang tersenyum padanya sambil menyandarkan tubuh pada tembok.“Aku sudah memberi tahu Axel untuk tidak melakukan hal konyol seperti itu. Tapi, Kakak tahu dia kan? Dia hanya ingin menyenangkan keponakannya.”Adero membalas senyum pria itu. “Aku baik-baik saja, Ale. Jika itu yang kamu pikirkan. Sebaiknya kamu bergabung dengan keluarga yang lain.
Nevilla mendadak kesal karena ia sudah menunggu hampir 15 menit, tetapi Serena malah membatalkan janji. Ia tidak habis pikir, padahal Serena sendiri yang mengajaknya bertemu dan mengatakan bahwa akan mendengarkan segala keluh kesahnya.Pesan masuk membuat Nevilla menatap ponselnya. Ia tidak sempat menghitung sudah berapa kali Aron mengirimi pesan dan meneleponnya. Sejujurnya, ia hanya takut, jika tidak bisa menerima Aron yang ternyata bukan anak kandung Pak Arkan.Kepala Nevilla mendadak pusing, ia juga belum makan. Kebetulan sekali, dari tempat janji temu bersama Serena, tak jauh dari perusahaan ia kerja. Ia pun berniat mencari restoran terdekat untuk makan.Nevilla menaruh ponsel ke tas, ia lalu membawa langkahnya menyusuri jalanan yang tidak terlalu ramai. Mungkin karena lokasi yang ia datangi merupakan lokasi industri, jadi tidak banyak orang yang berlalu lalang. Hanya beberapa orang yang terlihat ingin mengunjungi perusahaan, para penjaga gedung, dan bebera
Adero sempat terpaku setelah wanita yang ia tabrak berlalu pergi. Ia menggelengkan kepala, mencoba untuk berpikir jernih karena wanita yang menabraknya bukanlah Helena Dwight. Ia membereskan pakaiannya, lalu berjalan menuju ke pintu restoran.Tangan kanannya mendorong pintu dan ia pun masuk. Menengok ke arah kanan kiri, ia bisa menemukan di mana wanita bermata biru itu duduk. Ia mencoba mengabaikan, tetapi entah mengapa ia merasa bahwa wanita itu memperhatikannya.Adero mengangkat bahu lalu mendekati kursi yang tampak kosong. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan membawakan buku menu.Adero membuka buku menu, baginya menu di restoran ini cukup biasa saja, sehingga ia bahkan tidak tahu harus memesan apa. Sepertinya, ia sudah sering memakan jenis makanan yang ditawarkan restoran yang ia datangi ini. Akan tetapi, ia tetap harus memesan makanan karena perutnya sudah lapar.“Aku pesan salmó marinat amb anet, suquet de rap amb patates, h
Sinar matahari pagi hari ini begitu silau, Nevilla membuka mata dan langsung mencari keberadaan ponselnya. Setelah menemukan ponselnya, ia melihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Dengan mata yang masih mengantuk, ia bangun dari tempat tidur. Betapa terkejutnya, saat ia melihat seseorang yang mengantarnya pulang kemarin, berdiri di dekat pintunya.Nevilla meneguk air liurnya, ia memundurkan langkah bersamaan dengan Carlson yang mendekatinya. Tangan kekar milik Carlson dengan sigap memeluk tubuhnya, membuat ia menegang seketika. Embusan napas berat dari Carlson membuat ia menahan napas. Ia memejamkan mata, ketika wajah Carlson semakin mendekat ke arahnya.Nevilla tidak bisa berbuat apa pun selain menuruti gerakan tubuhnya, ia bahkan tak bisa menolak saat pria itu mengangkat tubuhnya dan membaringkan dirinya di kasur. Ia mendadak bersemu, saat Carlson membuka kaos yang dipakainya. Bentuk tubuhnya yang kekar, serta tatapan yang tak pernah lepas darinya, membuat
Nevilla terpaku sejenak, ia melirik ke arah Serena yang tampak terkejut. Ia menarik napas lalu mengembuskannya. “Kenapa harus aku?”Sungguh, Nevilla sangat menyadari bahwa pertanyaan yang ia ajukan sangat konyol. Ia bekerja di perusahaan itu cukup lama dan bahkan ia malah menanyakan hal yang tidak penting padahal ia hanya perlu menyetujuinya saja.“Sebenarnya aku juga tidak begitu yakin kalau kamu bisa membantu ayahku, tapi Aron tetap bersikeras bahwa kamu memiliki bukti mengenai bagaimana ayahku mendapatkan proyek-proyek besar.”“Kamu salah,” bantah Nevilla. Ia sangat yakin, jika Aron melakukan hal ini karena ingin bertemu dengannya, ia memang beberapa hari ini tidak pernah membalas atau menerima panggilan dari pria itu.Nevilla mencari kertas dan juga pulpen, setelahnya ia menuliskan alamat seseorang dan memberikannya pada Ale. “Kamu bisa menemui sekretaris Viana, dia yang selalu bersama dengan Pak Davi dan Pak Arkan untuk mengurus proyek-proyek besar.”
Nevilla terkejut bukan main setelah tanpa sengaja harus bertemu dengan Aron dan kedua anaknya, yaitu Vincent dan Vena. Tak ada pilihan lain, Nevilla menerima ajakan Aron untuk bergabung dengannya, Serena bahkan tak keberatan akan fakta itu. Mereka kemudian memilih untuk pergi ke salah satu restoran untuk makan siang.Aron melambaikan tangan kepada salah seorang pelayan yang langsung datang menghampiri. Ia lalu menyerahkan daftar menu pada Nevilla dan Serena. Serena tanpa basa-basi memesan makanan kesukaannya dan Nevilla hanya mengikuti Serena tanpa berniat memilih menu yang lain.Aron memerhatikan Nevilla dan ia melihat perubahan yang aneh pada wanita itu. Nevilla biasanya begitu ramah dan sesekali menggoda Vincent, hari ini wanita itu tidak melakukan apa pun, kecuali duduk sambil memandangi seluruh sudut restoran. Aron merasa dirinya ingin menanyakan sesuatu, tetapi ia tahan karena ia tidak memiliki hak apa pun terhadap wanita itu.“Tante Villa habis dari
Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, pihak kepolisian memutuskan untuk memulangkan Arkan karena ketika mereka menghubungi pelapor, tidak ada jawaban meski sudah sampai sepuluh kali panggilan. Mereka juga memberikan kembali bukti kuat yang sempat ditunjukkan.“Sebagai polisi, akhir-akhir ini aku tidak cukup mengerti dengan pikiran para pelapor. Memangnya mereka bisa membawa kasus ini ke pengadilan jika dihubungi saja tidak bisa,” omelnya.Para polisi yang ada di situ menepuk pundak polisi yang kini menatap ke arah Nevilla dan Axel. Ia lalu menyerahkan berkas tadi. “Ini kau simpan baik-baik. Aku akan mencoba melacak nomor yang menghubungi kami untuk penangkapan Pak Arkan dan segera memberi tahu,” jelasnya.Nevilla mengangguk mantap, ia bersama Axel kemudian menuju ke sel di mana Arkan berada. Arkan terlihat duduk lalu tersenyum saat polisi datang membukakan gerbang sel. Axel langsung memeluk ayahnya sedangkan Nevilla mengangguk sopan
Sera menyesali perbuatannya, sehingga ia meminta maaf dan akan melakukan hal apa pun. Ia merasa tak berdaya jika harus berurusan dengan polisi, maka ia memohon kepada Arkan untuk tak membawanya ke kantor polisi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, jika ia harus menetap di penjara.“Aku sudah memikirkan solusi untukmu. Pergi dan temui orang yang telah menyuruhmu melakukan hal ini. Axel akan mengikutimu dan akan ada putraku yang lain juga."Arkan berlalu pergi memasuki kembali bangsal tempat Ale berada. Ia masih tidak menyangka akan mendapati Sera berani mengkhianati kepercayaan. Sudah beberapa tahun, wanita itu selalu menjadi salah satu kepercayaan perusahaan dan ia kini bersekongkol dengan seseorang untuk menghancurkannya.Ale sempat mendengar percakapan di luar tadi. Ia sebenarnya tak menduga jika sang ayah akan dengan cepat mengetahui fakta itu. Ia sengaja diam saja, karena ia meyakini jika Sera melakukan hal ini atas paksaan bukan keinginannya sendiri.