"Puas kali kau kutengok Dit! benar-benar sudah pupus cinta kau sama si benalu itu rupanya," ledek Om Binsar sambil tertawa-tawa kecil.
Setelah acara semalam pikiranku terasa plong, Mas Arya sama sekali tak menampakkan kesedihan atas kepergian ku dengan Anak-anaknya. Bahkan wajahnya terlihat berseri bersama istri keduanya. Jadi aku tak punya alasan lagi sekedar mengingat dirinya.
Semoga anak-anak pun bisa menerima kenyataan ini.
"Ga puas Om, cuma senang aja, aku bisa meninggalkan mas Arya tanpa melihat lagi kebelakang."kataku.
"Ah tak yakinnya aku! Kau pasti masih menyimpan cinta buat dia, kan? kan? kan?" ledeknya lagi.
"Janganlah kau pojok kan terus ponakan kau itu, Bin! Sudah kau seleksinya itu calon buat Dita?"kata Papa menyanggah.
"Ah, Pa! plis deh ah!" aku yang tengah menyuap sarapan jenggah juga dengan obrolan ak
Keberadaan Mas Arya dan Fitri dalam kantor ini benar-benar membuatku jengah. Mereka bak pasangan yang dilanda asmara, kemana-mana selalu berdua. Oke, kalau kalian bisa berbuat semau kalian, akupun bisa.Nanti setelah urusanku selesai, kalian baru aku urus."Om, aku mau ketempat Haris dulu, ada berkas yang harus di tanda tangani, setelah itu aku langsung ketemuan dengan Reza, nitip kantor ya, Om!" ujarku sambil membereskan mejaku yang penuh kertas laporan."Halaaah, Sebelum kau datang, ya akulah yang ngurus kantor kau ini, tenang sajalah. Rebes urusan kalau sama Om kau ini," aku terkekeh, iyalah pulak, akupun baru sehari kerja nya lagi hahaha.******Jalanan yang tak begitu ramai membuatku lebih cepat sampai di kantor pengacara itu. Apalagi dengan gaya menyetirku hampir nyaingin Michael Schumacher, yang merupakan
"Pa, hari ini Dita bawa papa ke Rumah sakit, ya?" kataku lembut, Papa yang baru saja selesai tilawah Al-Qur'an itu mengalihkan pandangannya padaku."Papa, tak sakit Nak, apa yang harus diobati. Papa hanya butuh sedikit lagi terapi, biar kaki ini bisa menopang tubuh, Papa."jawabnya.Aku tak mungkin menyampaikan hasil diagnosa Reza kepada Papa, aku tak sanggup."Pa, tapi Papa harus check juga kesehatan Papa yang lain," kataku berharap kali ini Papa mau mendengarkanku."Demi, Dita Pa, pliss..."aku menangkupkan dua tangan didada, sangat berharap Papa mau mendengarkanku kali ini.Lama papa terdiam lalu mengangguk sambil menyunggingkan senyum."Ya Allah Pa.... terima kasih banyak.." aku memeluk Papa, Alhamdulillah ya Allah, Papa mau juga kerumah sakit.Pagi ini dengan semangat empat lima aku menel
Hari sudah mulai gelap, aku masih saja dijalan. Badan ini terasa lelah. Pikiranku tak bisa diajak kompromi. Ingin sekali rasanya segera bertemu Alif, memeluknya dan mencurahkan kasih sayang seperti dulu, membayangkan tubuh kecilnya menahan sakit, membuat sakit juga badan ini rasanya.Jam sepuluh malam, aku baru sampai dirumah yang memang sengaja kami beli untuk tempat menginap jika mengunjungi Alif. Rumah ini terasa sangat sepi karena memang orang yang kami sewa untuk membersihkan hanya datang pagi hari saja, tidak sampai menginap.Setelah sholat isya, aku langsung terlelap, nikmat sekali rasanya merebahkan badan.*******Pagi ini, udara Bandung begitu dingin, menusuk hingga ke kulit.Drrttt Drrttt Drrttt"Assalamu'alaikum..." Sapaku."Wa'alaykumussalam... Dit, udah sampaikan?
Pov Arya.Sudah cukup, Dita terlalu menginjak harga diriku. Mentang-mentang dia anak CEO tempat aku bekerja, dia berlaku semena-mena. Setelah rumah dia jual, mobil di ambil, sekarang aku dipecat dengan tidak hormat.Sepertinya dia murka saat tahu aku mendatangi Alif. menurutku perempuan itu akan kalah kalau bicara soal anak. Karena itu aku mendatangi Alif dan sedikit memberikan penjelasan padanya, yang menurut Dita aku meracuni pikiran anakku sendiri.Ternyata Dita beda, dia bisa mengatasi semuanya. Tak pakai kekerasan, tak pakai otot, dan hanya mengandalkan otak. Tapi, aku yakin dia tak akan menceraikanku, toh dia cuma minta cerai sekali, setelah itu dia masih saja berbaik hati untuk memperkerjakan, aku dan Fitri. Walau serasa jadi budak, karena tugas yang diberikan si botak ga ada habisnya.Menyesal iya, tapi kesal juga sangat. Setelah ini entah apala
Setelah seminggu dirumah, Alif kembali ke Pondok, kali ini Papa dan Om Binsar juga ikut, sekalian refreshing katanya.Kami hanya mengantarkan tanpa berlama-lama, karena besoknya adalah hari Senin, hari memulai semangat baru."Dit, bagaimana hubungan kau dengan Haris?" tanya Om Binsar yang tengah membawa laju mobil kembali ke Jakarta."Hubungan apa, Om?" tanyaku."Yaah, macam tak tau nya kau itu!"Aku menatap ke arah jendela, apa perlu aku sampaikan kepada Om Binsar apa yang waktu itu aku lihat di kantor Haris. Tapi Om Binsar orangnya serem, kalau suka ya suka. Kalau benci langsung dikata, tak ada pencitraan dalam kamusnya."Kami hanya sebatas hubungan kerja aja Om, seperti yang Om tahulah, dia bantu aku. Aku bayar jasanya, udah itu aja!""Tak ada rasa sedikit pun rupanya kau? H
Fitri terus saja meronta-ronta ingin menghajarku."Kalau tau kamu wanita kejam! Tak akan Sudi aku menjadi madumu, Mbak!" teriaknya."Kamu kira aku Sudi juga menjadi madumu?gak ada yang minta kamu jadi maduku, kamu aja wanita yang gila harta sampe mau mencuri suami orang demi menjadi kaya dalam sekejap mata! Mimpi kamu terlalu tinggi! Bangun! Dunia tak semudah itu. Sekarang aku serahkan lelaki ini sepenuhnya untuk mu! ambil!" ucapku santai.Fitri meronta hebat, pegangan Mas Arya terlepas dari tangan Fitri. Perempuan itu dengan cepat hendak menjambak kerudung yang aku kenakan. Aku tak tinggal diam, dengan cepat juga aku menahan tangannya dan memelintir ke belakang."Aduuh duh Mbak, sakit... sakit Mbak, Sial*n kamu Mbak!", teriaknya.Sekarang posisiku ada dibelakang Fitri, mengunci gerakan tangan nya. Sekali gerakan lagi saja, tangan ini bisa saja patah yang akan membuat si empunya meraung kesakitan."Dita..Dita! tolon
"Dit, habis masa Iddah buru-buru lah kau cari suami lagi, kasian aku nengok kau, urus sendiri usaha Papa kau ini. Tapi cari yang benar-benar amanah, ga kayak kemarin. Baru nebeng kaya sama bini saja sudah betingkah pulak!"Aku hanya tersenyum getir menanggapi Om Binsar. Saat ini kami sedang diperjalanan menuju Hotel Grand Heimat, ada pertemuan dengan beberapa kolega."Tenang Om, ga akan lama ponakan Om ini jomblo, percayalah."Kataku percaya diri, padahal aku sendiri sebenarnya tak tenang, bukan karena status jombloku. Tapi dengan pertanyaan yang selalu ditanyakan tak hanya oleh Om Binsar, tapi beberapa teman juga kolega, rata-rata menyodorkan calon untukku, aduh! Sementara aku tak tahu bagaimana dan dimana nanti hati ini akan berlabuh. Reza? haaa bisa jadi, eh."Haris? gimana? belum klik hati kau sama dia? tampan kutengok," ujar Om Binsar.
Pov RezaBagaimana tak bahagia, sekian tahun akhirnya aku kembali ke Jakarta. Akan bertemu pujaan hati yang belum sempat aku utarakan cinta ini padanya.Aku pulang kampung karena Bapak meninggal, dan dijalan ponselku dicopet. Semua nomor hilang, termasuk nomor gadis itu. Gadis unik, cantik, mandiri dan terkesan cuek. Farahdita Ayu Maharani, namanya. Sekian tahun aku menahan rindu. Karena aku harus merawat Ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan. Aku meninggalkan semua harapan dan cita-citaku demi, Ibu.Untung tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak, Ibu meninggal. Aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Menahan sendiri lara, karena saudaraku satu-satunya Mbak Hana, sudah punya kehidupan sendiri diujung Indonesia sana. Di Papua dia juga bekerja sebagai tenaga medis. Hingga saat Ibu meninggalpun dia hanya bisa menangis dari jauh. Karena sulit nya akses untuk keluar."Mbak, doakan dari jauh saja Za," isaknya saat itu.Kini, aku kembali. Mencari jejak-jejak cinta masa lalu yang