Kesibukan Namira hari ini berakhir. Mobil Dewangga sudah terparkir di hotel tempat ia tinggal sekarang. Namira dan Dewangga telah menyelesaikan agenda yang telah disiapkan jauh-jauh hari. Esok, akan ada agenda lain untuk mereka kerjakan lagi. Sementara itu, malam ini Namira dan Dewangga sudah bebas dari agenda sibuk yang membuat harinya sangat padat. “Kunci mobil kamu ada?” tanya Dewangga sebelum Namira turun dari mobilnya. “Ada, Pak!” jawab Namira percaya diri. Namira bahkan belum memeriksa kunci mobilnya, tetapi, ia dengan begitu percaya diri mengakui jika kunci mobilnya sudah ada di dalam tasnya. “Coba kamu periksa dulu!” pinta Dewangga. “Sudah saya masukkan ke dalam tas, Pak. Pasti ada,” jawab Namira kembali. “Yakin nggak mau kamu periksa dulu?” Dewangga meyakinkan Namira untuk memeriksa ulang. Namira tetap pada pendiriannya.“Saya pulang dulu ya, Pak!” pamit Namira sebelum ia turun dari mobil bosnya. Tas dan beberapa barang yang tadi ia bawa, sudah berada di tangannya semua. Sam
Malam yang suntuk. Namira kira, setelah undur diri dari hadapan Dewangga ia bisa cepat pulang ke rumah dan mengistirahatkan semua lelah yang didapat hari ini. Ternyata, semua hanyalah angan-angan belaka. Namira masih melewati serangkaian kendala di hotel tempat Dewangga tinggal. Permasalahan kunci mobil dan bertemu dengan mantan kekasihnya sudah menyita waktu Namira terlalu banyak. Kesabarannya mulai menipis. Pun energinya sudah tidak prima lagi. “Aidan aku tidak punya waktu untuk berdebat. Aku ingin segera pulang ke rumah, aku capek!” Namira menjelaskan keadaannya. “Pulang ke kamar hotel bos kamu?” pertanyaan Aidan mengiris kesabaran Namira yang sudah tipis. Embusan napas Namira terdengar kasar. Jika Namira tidak menahannya sekali lagi, mungkin Namira dan Aidan kembali terlibat perdebatan yang panjang.“Kalau iya kenapa?” bentak Namira meski suaranya tidak terlalu tinggi. Matanya memberi ancaman kepada sang mantan kekasih. Kepalan tangannya hampir saja melayang. Beruntung nasib Aidan
“Hai, apa kabar Lo?” sapa Nimas kepada Aidan yang siang itu tidak sengaja bertemu di restoran. Aidan dan Nimas memang saling mengenal. Mereka sempat duduk di bangku sekolah yang sama. Beranjak dewasa, mereka jadi jarang berhubungan atau sekedar bertukar satu sama lain. Apa lagi ketika Aidan telah menjadi kekasih Namira yang juga sahabat Nimas. Nimas mengenal keduanya, jika keduanya sedang bersitegang, Nimas tak jarang menjadi penengah. Mendengar cerita dari sisi berbeda dari keduanya. “Hei! Baru keliatan lagi, Lo!” Aidan menyodorkan tangannya untuk menyambut sapaan dari Nimas. Teman lama yang menjadi sahabat mantan kekasihnya. “Gue baik, dong!” jawaban dari Nimas mencoba membangun suasana agar pertemuan itu lebih hangat dan cair.Nimas dan Aidan duduk di kursi yang sama. Ada beberapa kursi kosong, tetapi, karena mereka datang sendiri-sendiri, mereka pun memutuskan untuk makan bersama setelah sekian lama tidak berjumpa. “Jadi, gimana kabar lo sekarang?” pertanyaan itu kembali didengar
Suasana pagi di kantor setiap harinya hampir sama. Sunyi, masih belum terdengar suara adu jari dan mesin ketik, atau obrolan ringan hingga serius yang selalu menggema di seluruh ruangan. Hal itu kadang membosankan, tetapi, ini juga yang akan sangat dirindukan jika suatu saat memutuskan untuk hengkang dari kantor. Laras, salah satu karyawan yang datang lebih pagi dari lainnya. Hari ini Laras datang sendiri, bukan karena usaha Aidan untuk mengantarnya ke kantor. Aidan sempat menghilang semalam. Makanya pagi ini Laras memutuskan untuk pergi bekerja sendiri. “Kak Aidan kemana, ya?” ujar Laras ketika sudah menduduki kursi kerjanya. Ia membuka riwayat chat bersama Aidan. Belum juga ada kabar baru yang Laras terima. “Jangan-jangan sakit?” kata Laras tiba-tiba heboh sendiri.“Kamu kenapa, Ras?” Namira datang melihat juniornya itu sedang panik. Ia merasa heran namun juga khawatir sebab Laras sendirian di sana. “Eh Kak Namira sudah masuk kantor?” pertanyaan ini mengalihkan rasa penasaran Namir
Keluar dari ruangan Dewangga Namira menjadi pusat perhatian. Langkahnya dinanti oleh setiap rekan kerjanya yang mendengar gosip dari Ailin. Mereka masih menerka-nerka. Apakah memang yang diceritakan Airin adalah kenyataan, atau hanya karangan yang tiada habisnya. “Namira, kenapa kok pakai ngerapiin baju segala?” tanya salah satu teman kantor yang berdiri dipihak Airin. “Hah? Maksudnya?” Namira tidak paham dengan pertanyaan itu. Ia baru saja keluar dan membereskan pekerjaan pertamanya hari itu, tetapi, semua temannya justru memberikan tuduhan yang aneh. “Kan Lo baru saja keluar dari ruangan bos, tapi kok keliatannya gugup dan merapikan semuanya begitu,” tambah salah satu teman kerja yang lain. Namira semakin tidak mengerti dengan yang mereka bicarakan. “Nggak usah dengerin, Ra!” celetuk Nimas membela sahabatnya.“Gue tadi mau masuk ruangan Pak Dewangga, tapi, nggak sengaja lihat kalian sedang pelukan,” kata Airin menggiring opini lagi. Namira berhenti dari langkahnya barusan. Ia langs
Pagi buta Namira sudah dikagetkan oleh dering dari ponselnya. Ia mengira suara itu berasal dari alarm yang dipasang tadi malam. Ternyata bukan, dering itu memang sebuah panggilan berulang kali dari Dewangga. Namira yang tadinya masih ngantuk dan sulit membuka mata langsung loncat ketika tahu panggilan itu dari Dewangga. “Ehemm,” Namira mengetes suaranya terlebih dulu agar tidak dikira baru bangun tidur. Beberapa tarikan napas Namira lakukan, supaya lancar menjawab pertanyaan apapun dari Dewangga. “Halo, selamat pagi, Pak Dewangga,” sapa Namira dari kamarnya yang masih cukup gelap. “Selamat pagi Namira, maafkan saya harus menelepon kamu sepagi ini,” ujar Dewangga setelah Namira akhirnya menjawab teleponnya.“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Namira dengan rasa penasaran juga deg-degan. Sebab, jika Dewangga menelepon diluar jam kerja tandanya ada sesuatu yang penting dan urgent. “Iya, saya butuh bantuan kamu. Pagi ini saya akan kedatangan tamu. Tamu penting untuk saya, jadi, tolong
Pandangannya mulai gelap. Kepala pun terasa berat. Entah terlalu banyak beban pekerjaan atau ada hal lain. Tangan Namira langsung meraih meja di ruangan Dewangga. Ia pejamkan matanya sejenak, menunggu semua membaik. Beberapa detik, Namira menundukkan kepala, mencengkeram erat ujung meja yang ternyata sedikit memberi luka di bagian telapak tangannya. Namira masih berusaha berdiri. Meski kedua kakinya mulai gemetar, tak kuat lagi menopang tubuhnya yang masih tegar di ruangan Dewangga. “Awww,” keluh Namira sendirian. Di ruangan kerja Dewangga sudah tidak ada siapapun. Semua orang yang tadi datang sedang sibuk atas perintah yang Namira berikan. Beberapa detik kemudian, tangannya mulai terlepas, tubuhnya hampir saja tergeletak di lantai.“Namira!” tangan Dewangga meraih tubuh Namira yang hampir terbaring di lantai ruang kerjanya. “Kamu kenapa?” suara Dewangga terdengar samar. Namira belum bisa penuh membuka matanya. “Namira,” Dewangga merenggut badan Namira dan mengangkat ke sofa. Namira s
Dewangga tidak membiarkan Namira bangun dari sandarannya. Ia tahu, sekretarisnya sedang butuh istirahat. Maka, ia akan membiarkan terus berbaring di sofa ruang kerjanya. Semua yang terjadi pada Namira hari ini juga salah satu kesalahannya. Dewangga menyadari dan menyesali. “Hai! Kenapa nggak kasih kabar dulu kalau sudah sampai?” sapa Dewangga kepada tamunya. Tamu Dewangga merasa sedikit canggung karena keberadaan Namira. Sementara itu, Airin masih ingin terus di sana dan melihat apa saja yang akan terjadi di dalam ruangan Dewangga. “Airin, terima kasih sudah mengantarkan tamu saya ke sini. Sekarang, kamu bisa kembali bekerja!” ujar Dewangga mengusir Airin secara halus. Wajah Airin langsung berubah 180 derajat. Ia kesal dan merasa tidak dianggap.“Huh! Liat saja, ya. Nanti berita ini akan kesebar sampai pelosok kantor!” gumam Airin melampiaskan kekesalannya karena diusir oleh Dewangga. “Terima kasih!” ucap tamu Dewangga kepada Airin. Dengan terpaksa Airin pun keluar dan meninggalkan De