Share

Bab 7

Author: Ina Qirana
last update Last Updated: 2022-12-20 08:17:37

 

 

Saat mata ini mengerejap nampak wajah Fandy dan Haris menatapku dengan iba, pandangan mereka sayu sepertinya khawatir pada keadaanku yang terbaring lemah, luka batin sungguh mematikan dari pada luka badan.

 

Kubuka bola mata dengan sempurna, aku berada di sebuah kamar besar ber chat serba putih begitu pula dengan furniture lainnya, berjejer dengan warna yang sama, mungkin ini kamarnya Fandi.

 

"Elo udah bangun? gimana? enakkan badannya?" tanya Fandi sambil meraba keningku.

 

"Iya, gua pingsan ya, Fand?" tanyaku dengan suara bergetar.

 

Bukan hanya suara yang bergetar, rasanya seluruh tubuhku pun ikut bergetar hebat, bagaikan sebuah kapal yang dihantam badai, terombang-ambing di tengah lautan, tak tentu arah, harus apa aku sekarang.

 

"Iya kamar gua, santai aja, kalo masih lemes mending Lo tidur lagi," titahnya sambil membantuku yang hendak bangkit.

 

Haris menyodorkan satu gelas air putih. 

 

Aku langsung meminumnya seteguk, air itu terasa pahit di lidah, terlebih saat otakku mengingat-ngingat lagi perkataan Fandi beberapa jam lalu, benarkah aku ...?

 

Lalu Sandrina? darah siapa yang mengalir di tubuhnya? siang malam aku banting tulang untuk menghidupi mereka, seperti inikah balasannya? sempurna sudah kepedihan ini.

 

Tak terasa ada embun yang berkubang di mataku, padahal sebisa mungkin sudah kutahan. Namun air mata ini tetap saja menerjang keluar dengan sendirinya, ah apa kata dunia jika orang-orang melihatku sedang menangis seperti ini.

 

Sedangkan di sana musuh-musuhku? para pengkhianat itu menari-nari dengan riangnya, menginjak-injak lukaku yang berdarah.

 

Segera aku mendongkak dan berkedip, hendak menahan cairan ini agar Haris dan Fandi tak menilaiku sebagai lelaki c*ngeng.

 

"Sabar, Bro," ucap Haris menepuk pundakku.

 

"Lo tahu dari mana gua di sini?" tanyaku mengalihkan perhatian, rasanya tak enak menjadi bahan belas kasihan orang.

 

"Tadi gua telpon, yang angkat Fandi, ya sudah gua susul aja ke sini sekalian jemput mobil lo di hotel," lanjutnya, sambil melempar pelan kunci mobil ke tanganku.

 

"Oh, thanks ya, dah diambilin."

 

Haris hanya mengangguk, tatapan iba itu masih terpancar jelas menghiasi wajahnya, diperlakukan seperti ini sungguh rasanya malu sendiri.

 

"Fand, Lo yakin hasil tes itu ga salah?" tanyaku memberanikan diri walau sebenarnya hatiku tersayat-sayat membicarakannya.

 

"Ini hasil tes laboratorium, mana mungkin salah, kalau elo tetap ga percaya tes aja di rumah sakit lain," jawabnya dengan sungkan.

 

Aku menghela napas, dan mencoba mengatur debar dada yang berkobar-kobar, sekuat apapun lelaki tetap saja jiwanya akan rapuh jika berada di posisiku.

 

Ibarat sebuah kapal yang berlayar di lautan lepas, lalu tiba-tiba tenggelam akibat ulah orang-orang dalam, mereka yang melobangi kapal lantas lari menggunakan perahu kecil, meninggalkan sang kapten yang sedang kepayahan di dalam sana.

 

Pengkhianatan itu telah berjalan bertahun-tahun, dan bodohnya aku baru menyadari setelah semua berjalan terlalu jauh, pintar sekali mereka bersembunyi dari dosanya.

 

"Sabar, Nan, inget rencana lo yang semula, balas mereka dengan lebih menyakitkan," ucap Haris, kembali membakar api semangat dalam dada.

 

Ia memang benar, tanpa semangat maka semua rencana akan sia-sia, alih-alih menjadi pemenang malah berakhir sebagai pecundang.

 

Aku memberanikan diri merogoh ponsel dan menyalakannya, Malang sekali nasib ini, tak nampak notifikasi pesan ataupun panggilan dari Melta, rupanya ia keasyikan hingga lupa diri pada lelaki yang bergelar suami.

 

Ah, perempuan macam apa yang sedang aku naungi ini, Haris benar kenyataan pahit ini bukan suatu alasan untukku menghukum diri dan membiarkan para pengkhianat itu bisa menghirup oksigen dengan lepas.

 

Akan kubuat hari-hari mereka sesak, dan tersiksa bertahun-tahun lamanya, pembalasan ini harus berakhir dengan sempurna.

 

"Ris, lo cariin orang yang bisa dipercaya buat memantau gerak-gerik mereka, bisa ga?" 

 

Haris nampak diam, dan menggeser layar ponselnya.

 

"Emmm, kayanya ada, Nan, keputusan Lo memang tepat, nanti gua bantu ngomong sama orangnya ya, minta poto bini lo dan Gian sekalian."

 

Tanpa mengulur waktu segera aku mengirimkan gambar wanita d*rj4na itu ke WA Haris, sedangkan Poto Gian kusuruh ia untuk mencari sendiri di akun media sosialnya.

 

"Ok, sipp, Lo harus siapin dana ya, karena orang ini cukup profesional tapi kerjaannya memuaskan sampe tuntas," ujar Haris dengan tatapan elangnya.

 

"Soal uang gua ga masalah, berapapun itu pasti gua bayar." Haris mengangguk.

 

"Ok, Fand, gua balik ya, soal biaya gua udah transfer ke rekening lo, hasil tes lab ini gua bawa buat bukti."

 

Aku bangkit walau tubuh ini harus tertatih saat berdiri tegak, aku dan Fandy bersalaman ala laki-laki, lalu pergi meninggalkan kediamannya.

 

"Kita balik ke rumah gua ya, Ris," ucapku, saat ini kami sedang berada dalam mobil.

 

"Lo yakin?" katanya meragukan.

 

"Yakin, gua harus lihat Melta lagi ngapain, dia ga boleh nganggap gua lemah, Ris."

 

Haris mengangguk mengiyakan.

 

"Gua balik dulu ya, taxi-nya sebentar lagi nyampe," ujar Haris saat ini kami sudah sampai di depan gerbang rumahku, aku mengangguk tak lupa juga mengucap terima kasih.

 

Saat menginjak rumah, kudapati Melta sedang menunggu di ruang tamu, ia mendongkak saat menyadari kedatanganku.

 

"Mas, kamu sudah pulang? bentar banget ke luar kotanya?" tanyanya, bersandiwara, ingin sekali aku muntah di hadapan wajahnya.

 

"Oh, jadi kamu seneng kalau aku pergi lama gitu?" balasku ketus, sambil terus berjalan menuju kamar.

 

"Ya engga gitu, biasanya 'kan kalau ke luar kota suka berhari-hari." Rupanya ia membuntutiku hingga kamar utama.

 

Tak kutanggapi ocehannya yang panjang, gegas aku duduk di ranjang hendak melepas sepatu. Mata ini melongo tak berkedip saat memandang benda kecil panjang teronggok di atas nakas.

 

Kuraih benda kecil itu, nampak dua garis merah membentang di tengah-tengah, seketika jantungku berpacu hebat lagi, kutatap tajam wajah Melta untuk menuntut penjelasan.

 

"Ini punya siapa?" tanyaku dengan suara serak.

 

"Punyaku lah, Mas," jawabnya enteng nampak ada gurat kebahagiaan di wajahnya, tapi tidak denganku.

 

"Kamu hamil, Mel?" tanyaku tak percaya.

 

"Iya, Mas, aku hamil kita akan punya anak lagi, kamu seneng 'kan?"

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kekasih Gelap Istriku Ternyata?   Bab 34.B Tamat

    "Tapi Papa ga tahu di mana mamamu sekarang." Mendengar jawabanku ia menunduk kecewa."Kamu ga usah khawatir Papa akan cari Mama sampai ketemu ya."Ia mendongkak dan menatapku dengan ceria."Terima kasih, Pa, semoga Mama cepat ketemu ya aku sudah kangen sekali.""Aamiin." Aku menganggukkan kepala, sepertinya kali ini harus menemui Om Feri dan Tante Ajeng, mereka lah orang terdekat Melta, dan sudah pasti tahu keberadaannya di mana.Sore hari lepas pulang dari kantor aku segera meluncur ke alamat rumah Om Feri yang dulu, setelah satpam mempersilakan masuk aku duduk di kursi teras."Cari siapa, Mas?" tanya seorang wanita, dari wajah sepertinya dia Amanda anak kedua Om Feri."Ini Amanda 'kan anaknya Om Feri?" tanyaku sambil menatap wanita itu."Iya betul, ini ... Kak Adnan?" ia bertanya sambil mengingat-ingat."Iya betul, kamu berubah ya sekarang."Ia tersenyum saat mendengar beberapa pujian dari bibirku, kami mengobrol sejenak basa-basi dan menanyakan Om Feri, ia mengatakan jika ayahnya

  • Kekasih Gelap Istriku Ternyata?   Bab 34.A

    10 Tahun Kemudian.Hari, tahun dan bulan silih berganti tak terasa kini usia pernikahanku dengan Renata sudah memasuki tahun ke sepuluh, Sandrina telah remaja bahkan pemikirannya hampir sepadan dengan orang dewasa, ia berubah menjadi gadis yang cantik, lembut dan berhijab syar'i seperti ibu tirinya.Renata telah berhasil mendidik anak itu ke jalan yang benar, aku bersyukur memilki dia yang tak pernah mengungkit kekurangan diri ini, ia selalu fokus pada kekurangan dirinya dalam melayani suami.Tak ada anak yang dihasilkan dalam pernikahan kami. Namun, kami dikelilingi oleh empat orang anak sekaligus.Arjuna yang tak lain putranya Haura Rahimahullah, kini telah berusia sepuluh tahun, ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tidak manja, itu juga berkat didikan dari istriku tercinta.Sedangkan kedua anaknya Syafiq dan Maryam jauh lebih berprestasi dari Sandrina, kini si sulung Syafiq sudah berumur tujuh belas tahun dan sudah menjadi hafiz Qur'an, sedangkan si bungsu Maryam, kini berusia t

  • Kekasih Gelap Istriku Ternyata?   Bab 33.B

    (POV MELTA)Tak ingin lagi menanggapi ocehannya yang pedas, aku melihat cermin yang berada di dinding dekat spring bed tempatku berbaring.Luka bakar wajahku memang sudah pulih. Namun, bekasnya membuat wajah ini terlihat menjadi seram, tak terbayang jika ke luar sana tak mengenakan masker pasti orang-orang akan takut melihatnya.Bukan hanya wajah yang hancur tapi hidupku pun menjadi hancur, jika saja aku tak sedang mengandung mungkin dari kemarin aku sudah mengakhiri hidup ini.Terpuruk tanpa ada seseorang yang memberi kekuatan dan semangat hidup itu terasa menyakitkan, lebih sakit dari pada ditusuk sebuah pedang.Sempat aku berharap agar diri ini mati seperti Gian, ia tak lagi menanggung malu dan cemoohan orang-orang, kenapa ia lenyap semudah itu? setelah semunya hancur tak bersisa.Namun, aku lega karena Justin sudah mendapat hukumannya, yang kudengar dari Om Feri beberapa Minggu yang kalau pria blasteran Amerika itu mengalami depresi, dan selalu mencoba bunuh diri.Aku menyeringai

  • Kekasih Gelap Istriku Ternyata?   Bab 33.A

    (POV MELTA)Sembilan bulan sudah janin ini tumbuh di rahimku, kini waktunya ia keluar melihat dunia yang luas dan indah, perutku sudah terasa mulas, entah mengapa janin ini tetap hidup walau aku banyak stres dan banyak makan makanan yang tidak bergizi.Kuharap bayi yang tak jelas siapa ayahnya ini akan lenyap seiring waktu. Namun, di luar dugaan ia begitu kuat laksana sebuah baja."Bu, tolong! Perutku sakit, kayanya mau lahiran ini!" teriakku pada petugas lapas.Dengan napas yang terengah-engah aku berdiri sambil memegang perut yang sudah membukit ini, berteriak lagi pada petugas lapas yang tak kunjung datang memberi pertolongan."Mulesnya berapa menit sekali?" tanya petugas itu dingin."Sudah sering, ini udah mau lengkap pembukaannya, cepat bawa saya ke rumah sakit.""Ya sudah ayo ikut saya.""Aku ga kuat jalan, Bu, sakit," rintihku, wanita berbadan tinggi itu berdecak kesal."Sebentar saya ambil kursi roda," ujarnya ketus, lalu mendelik sebelum pergi.Begitulah nasibku di sini, dise

  • Kekasih Gelap Istriku Ternyata?   Bab 32.B

    Ya Tuhan, aku tak kuasa melihat deritanya, kupeluk tubuh mungil itu dan mengusap-usap punggungnya."Dia sudah di alam kubur, Sayang, Tante Ara ga akan pulang lagi ke sini, Ina doain supaya Tante Haura dikasih tempat yang paling nyaman di sana."Ia menangis terisak-isak, meraung menginginkan pengasuhnya kembali."Sini sama Nenek, walaupun Tante Ara sudah ga ada tapi 'kanasih ada bayinya, kalau sudah gede Ina bisa jagain Dede bayi pasti Tante Haura seneng di alam sana." Ibu membawa gadis kecil itu ke pangkuannya.Ia masih menangis meluapkan emosinya, aku faham Sandrina pasti sangat kehilangan, tak mudah mengobati luka hatinya yang sudah terlanjur memiliki harapan."Aku mau Tante Ara, Nek, bilang sama dia suruh pulang ke sini lagi," rengek Sandrina, membuat semua mata menangis karenanya."Dia sudah pulang ke pencipta-nya, yaitu Allah, doa in saja ya," bujuk ibu lagi sambil memeluk erat tubuhnya."Jadi Tante Ara ga bakal temenin Ina main lagi? ga bakal pulang ke sini lagi?""Kan masih ada

  • Kekasih Gelap Istriku Ternyata?   Bab 32.A

    "Jangan ngaco kamu, Dati!" bentak ibu tak terima."Anakmu 'kan yang sudah menyebabkan putriku meninggal, jadi kalian harus tanggung jawab, kalau engga aku akan melaporkan masalah ini ke polisi!" teriaknya sambil menyeka ingus dan air mata."Ngelaporin apa lagi? toh anak saya Gian juga lagi dipenjara, dan kamu ga ada bukti sama sekali, kalau mau lapor ya silakan, ga ngaruh ke kehidupan saya dan Adnan!" tegas ibu Ternyata wanita yang berumur senja itu bisa juga berfikir realistis, Bu Dati nampak terbungkam dan melirik suaminya."Ya maksudnya kalian 'kan orang berada seenggaknya kasihlah kami uang untuk biaya tahlilan Haura, gitu lho maksud istriku." Bapak menimpali.Huhh, bilang saja mau duit!"Ya masa cuma buat tahlilan aja harus 1 Milyar, mikir dong, saya bisa laporkan istrimu ke polisi atas kasus pemerasan, mau kamu!" tegas ibu lagi.Sepertinya wanita yang telah melahirkanku itu sangat membenci mantan suaminya, terlihat sekali dari nada suara seolah ada dendam yang membara dalam dad

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status