Radevian Casanova masih dilingkupi perasaan syok. Sementara orang-orang yang mengerumuni semakin banyak.
“Bapak kenal orang ini? Buruan bawa ke rumah sakit sebelum terlambat. Itu tadi kayaknya kepalanya kebentur duluan ke aspal,” celetuk seseorang mendesak Radev.
Radev tidak punya pilihan. Ia tidak mungkin lari dari tanggung jawab. Kondisi Starla terlihat parah. Tanpa membuang waktu lelaki itu mengangkat tubuh sekretarisnya, memasukkan ke mobil, lalu membawanya ke rumah sakit.
Setelah tiba di sana Starla segera ditangani oleh tenaga medis.
Puluhan menit kemudian …
Aroma obat-obatan yang begitu pekat menusuk hidung Starla. Tangannya bergerak pelan bersamaan dengan kelopak matanya yang terbuka perlahan. Kepalanya berdenyut hebat. Rasanya begitu sakit. Entah apa yang terjadi padanya.
Dengan ingatan yang belum sepenuhnya pulih setelah sadar dari pingsan, Starla menerka apa yang telah dialaminya.
Sebelum ia tahu, seorang perawat muncul. Starla baru menyadari jika dirinya sedang berada di rumah sakit.
“Syukurlah Mbak sudah sadar,” ucap perawat itu dengan perasaan lega.
“Apa yang terjadi pada saya, Sus? Dan siapa yang membawa saya ke sini?” Langsung saja Starla menyuarakan pertanyaan di kepalanya.
“Mbak ditabrak mobil, lalu pengendaranya yang membawa ke sini.”
Jawaban perawat membuat Starla termangu untuk sesaat. Ia merangkai kepingan ingatan untuk mengingat peristiwa itu.
Tadi pagi ia pergi dari rumah. Lalu karena frustasi dengan nekat menabrakkan diri ke mobil yang melintas tanpa berpikir panjang akan akibatnya. Ia bukan ditabrak, tapi dirinyalah yang menabrakkan diri.
“Sekarang mana pengendara mobil itu, Sus?” Starla ingin berterima kasih pada orang tersebut karena telah menyelamatkannya. Padahal sepenuhnya ini adalah kesalahannya.
“Dia sudah pergi sejak tadi setelah membayar seluruh biaya rumah sakit,” jawab si perawat.
‘Baik sekali dia,’ pikir Starla.
Teringat bahwa hari ini ia harus bekerja, Starla mencoba bangun walau kepala dan bagian tubuhnya yang lain masih terasa sakit. Ia mesti ke kantor secepatnya. Atau Radev akan memotong gajinya jika terlambat. Padahal ia sangat butuh uang itu.
“Mbak mau ke mana? Tidur aja dulu.” Perawat yang melihat Starla bangun mencoba mencegahnya.
“Hari ini saya kerja, Sus, saya harus ke kantor sekarang.”
“Tapi keadaan Mbak masih lemah. Dokter belum mengizinkan Mbak pulang.”
“Saya sudah sehat, Sus, saya udah nggak apa-apa,” jawab Starla meyakinkan jika kondisinya baik-baik saja.
Perawat hanya bisa membiarkan Starla pergi. Ia tidak lagi bisa mencegah.
Starla melangkah lemah sambil meringis memegang kepalanya. Tak habis-habis menyesali kebodohannya yang tadi menabrakkan diri ke mobil.
“Nusantara Building, Pak,” sebutnya mengatakan alamat perusahaan Radev pada supir setelah mendapat taksi.
Supir taksi mengangguk pelan kemudian mulai membelah jalan raya menuju alamat dimaksud.
Denyut di kepalanya terasa semakin berat, tapi Starla melawan rasa sakit itu. Ia mensugesti dirinya bahwa ia akan baik-baik saja. Sakit itu hanya sementara. Jika ia absen ngantor hari ini maka Radev akan memotong uang makannya. Itu artinya jumlah gaji yang diterima juga berkurang, sedangkan Starla butuh dana yang banyak untuk membiayai pengobatan ayahnya yang rutin setiap bulan serta untuk membayar cicilan bank.
“Kita sudah sampai, Mbak.”
Lamunan Starla buyar setelah ia mendengar suara supir taksi.
Kakinya begitu lemah kala Starla melangkah. Ia yakin jika Radev akan memarahinya habis-habisan karena terlambat. Pria itu sangat disiplin dan tidak pernah menolerir kesalahan sekecil apa pun.
Hal pertama yang dilakukan Starla adalah masuk ke ruangan Radev untuk melaporkan kedatangannya. Apapun konsekuensinya Starla akan terima karena ini memang kesalahannya.
“Masuk!” Radev menyahut dengan suara dinginnya dari dalam ruangan setelah Starla mengetuk pintu.
Memutar gagang pintu dengan perlahan, Starla melangkah masuk ke ruangan tersebut. Pemandangan di hadapannya memperlihatkan Radev yang sedang duduk di kursi kebesarannya dengan fokus perhatian tertuju pada laptop.
“Pak Radev, maaf, saya datang terlambat.” Starla ucapkan kalimat itu tanpa menjelaskan apa alasan keterlambatannya.
Suara yang sangat familier di telinganya membuat Radev refleks mengangkat wajah. Laki-laki itu terperanjat saat menyaksikan Starla berdiri di depannya.
Baru beberapa jam yang lalu Radev mengantar lalu meninggalkan Starla di rumah sakit. Ia juga yakin kondisi personal assistant-nya itu masih belum pulih, apalagi saat melihat benjolan di kepala Starla.
“Kenapa kamu ada di sini?”
Ucapan Radev membuat Starla berpikir, apa karena kejadian malam itu maka dirinya tidak boleh bekerja lagi di sini?
Radev yang menyadari akan perubahan air muka Starla segera menyadari pertanyaan konyolnya. Starla tentu tidak tahu bahwa Radevlah yang membawa Starla ke rumah sakit setelah dirinya menabrak perempuan itu.
“Apa yang harus saya lakukan, Pak?” tanya Starla agar bisa segera bekerja di ruangannya.
“Kamu periksa email saya lalu balas kalau ada yang perlu dibalas.” Lalu setelahnya Radev mengalihkan pembicaraan. “Saya nanti mau ke luar.”
“Baik, Pak,” angguk Starla patuh. Ia kemudian bermaksud untuk pergi dari ruangan Radev dan bekerja di ruangannya, tapi suara Radev menahan langkah kakinya.
“Kerjakan dari sini saja, pakai laptop saya.”
“Tapi kenapa, Pak? Biasanya dari ruangan saya.” Starla jelas heran atas tindakan atasannya yang di luar kebiasaan.
“Sesekali bisa nggak usah pakai protes? Lakukan saja apa yang saya suruh. Sekarang duduk dan lakukan.” Radev menunjuk kursi dan laptopnya.
Starla tidak berkata apa-apa lagi. Ia menuruti perintah Radev. Sementara laki-laki itu menempatkan diri di kursi lain yang berhadapan dengannya.
Meski berpura-pura sibuk dengan gawainya, tapi mata Radev mengawasi Starla dengan intens. Wajah cantik Starla yang begitu pucat membuatnya tidak tega. Apalagi tadi dirinyalah yang menabrak. Ia tidak tahu kalau Starla sedang melakukan percobaan bunuh diri dengan menabrakkan tubuhnya. Setelah ini Radev akan menyuruh gadis itu beristirahat sampai kondisi fisiknya membaik.
“Pak, sudah selesai, semua sudah saya balas,” kata Starla setelah belasan menit berlalu. “Ada lagi, Pak?”
“Sekarang sebaiknya kamu istirahat.”
“Istirahat, Pak?” Starla kebingungan. Kenapa juga atasannya ini menyuruhnya untuk istirahat?
“Sudah saya bilang jangan banyak protes. Sekarang istirahat di sana.” Radev menunjuk ruang pribadi tempat istirahat yang berada di dalam ruangan kerjanya.
“Tapi, Pak …” Seumur-umur bekerja dengan Radev Starla tidak pernah menggunakan kamar itu. Radev tidak mengizinkan siapa pun masuk ke sana.
“No excuse, Starla!” suara Radev mengeras. Mulai geram lantaran Starla yang tak berhenti membantah.
Starla akhirnya menurut. Gadis itu melangkah pelan. Namun, tiba-tiba pandangannya memburam. Ia kehilangan keseimbangan dan hampir saja jatuh. Sebelum itu terjadi dengan sigap Radev menyambut, membawa Starla ke dalam dekapannya.
Bagai adegan slow motion di film-film, tatapan mereka saling mengunci dengan irama jantung yang menghentak cepat. Dengan jarak sedekat ini Starla bisa menghirup aroma parfum Radev yang soft namun maskulin. Aroma yang sama dengan pria yang bersamanya kemarin malam.
“Radev!!!”
Radev dan Starla terperanjat saat mendengar suara tinggi milik Ajeng—tunangan Radev, yang muncul tanpa pemberitahuan di saat keduanya masih berdekapan.
***
Tidak ada yang melebihi keterkejutan Radev maupun Starla saat ini selain kedatangan Ajeng yang muncul tanpa aba-aba. Bahkan perempuan itu tidak mengetuk pintu sebelumnya.Tidak mau Ajeng berpikiran yang macam-macam mengenai apa yang dilihatnya, Starla mendorong Radev hingga terpisah dari dekapannya.“Mbak Ajeng, jangan salah paham. Tadi saya hampir terjatuh karena kepala saya pusing tapi untung Pak Radev menolong saya.” Starla buru-buru menjelaskan pada tunangan atasannya.Ajeng hanya melirik Starla sekilas tanpa berkata apa-apa. Lantas perempuan itu memberi seluruh atensinya pada Radev.Starla yang tahu diri meminta izin pada Radev untuk keluar dari ruang kerja laki-laki itu.“Dasar centil,” kecam Ajeng setelah dirinya tinggal berdua dengan Radev.“Siapa?”“Asisten kamu.”“Dia bukan centil, tapi ramah,” jawab Radev mengoreksi.Starla terkenal sebagai pegawai paling cantik, baik, dan ramah di seantero Casanova Garment. Dan oleh sebab itulah diam-diam Ajeng mencemburuinya. Apalagi seba
Pagi ini Starla kerja seperti biasa. Ia datang lebih awal dibanding karyawan lainnya. Setelah masuk ke ruangannya, Starla menemukan sebuah map di meja. Ia tidak tahu siapa yang meletakkan di sana. Tapi karena penasaran Starla membukanya.“Nggak mungkin …” Gumaman terdengar dari mulutnya.Di dalam map itu terdapat selembar kertas yang ternyata adalah surat pemecatan dirinya. Mendadak detak jantungnya mengencang membaca isi surat itu. Starla tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Radev memecatnya tiba-tiba sedangkan Starla merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia selalu bekerja dengan baik karena CEO-nya itu adalah tipe atasan yang perfeksionis.“Pak Radev pasti salah. Ini bukan surat untukku. Aku harus menanyakannya sekarang.”Membawa surat tersebut, Starla meninggalkan ruangannya. Ia menuju ruangan Radev. Namun setibanya di sana ia menemukan ruangan tersebut dalam keadaan kosong melompong. Di saat itulah ia baru menyadari bahwa Radev tidak masuk hari ini karena berangkat ke Shangha
Setelah hampir sepuluh hari berada di Shanghai Radev kembali ke Indonesia dan memulai rutinitas seperti biasa.Para karyawan Casanova Garment berbisik-bisik saat lelaki itu melintas. Dari dulu sampai sekarang pembicaraan tentang Radev tidak pernah mendingin di kalangan para pegawainya, terutama pegawai wanita. Apapun yang ada pada Radev selalu menarik untuk dibahas. Mulai dari wajahnya yang tampan, kerajaan bisnisnya yang tersohor, sampai tunangannya yang membuat iri banyak perempuan karena berhasil mendapatkan hati Radev.Sebelum memulai aktivitas kerja biasanya setiap pagi seluruh karyawan ikut briefing. Tapi briefing kali ini terasa jauh lebih spesial karena Radev menghadirinya.Para karyawan tampak khidmat menanti apa yang akan Radev sampaikan. Sementara pria itu belum bicara apa-apa. Ada sesuatu yang mengganjal. Starla tidak ada di antara karyawannya yang lain.“Starla mana?” tanyanya.“Starla kan sudah berhenti, Pak." Seseorang memberitahu.“Berhenti?” Sebelah alis laki-laki itu
Kedatangan Radev tak pelak mengejutkan Starla. Gadis itu dengan refleks menyentak tangannya yang dicekal pria di sampingnya.“Pak Radev ...”Radev mendengkus sambil memandangi pria menjijikkan yang bersama Starla. “Pantas saja kamu resign, ternyata di sini bayaran kamu jauh lebih besar,” ucapnya sinis.“Apa maksud Bapak?”“Don’t pretend with me, Starla. Saya pikir kamu perempuan baik-baik. Saya sangka kamu terpelajar. Tapi setelah apa yang saya saksikan malam ini sudah cukup menjadi alasan atas apa yang terjadi kemarin. Kamu benar-benar memalukan. Saya menyesal mempekerjakan perempuan sehina kamu sebagai asisten saya!”Senyum miring tercetak di bibir Radev menyaksikan mantan asistennya yang hanya diam membeku di hadapannya tanpa sepatah kata pun terlontar dari bibirnya sebagai pembelaan. Hal itu memberi keyakinan pada Radev bahwa Starla membenarkan perbuatannya.“Dengar, Starla, saya benar-benar menyesal pernah mempekerjakan kamu!” Radev mengucapkannya sekali lagi sebelum pergi mening
Bagai ada bom yang dijatuhkan di depannya Ajeng terkesiap. Akhirnya kebusukannya tercium oleh Radev. Tapi perempuan itu tidak akan semudah itu mengakuinya.“Surat pemecatan Starla? Ini kamu kok jadi nuduh aku sih, Dev?”“Aku menuduh kamu bukan tanpa alasan. Aku punya bukti yang kuat untuk itu.”“Bukti apa?” Ajeng mengerutkan dahi. Sementara jantungnya berdebar dengan kencang. Ia takut kalau Radev benar-benar akan menyuguhkan bukti yang tidak bisa disangkal.Radev mengeluarkan ponsel dari saku kemudian menunjukkan bukti rekaman CCTV pada Ajeng.“See? Kamu yang membuat surat itu dan menyuruh office boy untuk meletakkannya di meja Starla. Kamu kenapa sih, Jeng? Ada masalah apa dengan Starla?”“Tahu dari mana kalau aku yang membuat surat itu? Bisa aja kan office boy itu yang ngarang cerita,” balas Ajeng yang belum mau mengaku.“Buat apa dia ngarang cerita dan memfitnah kamu? Kamu itu tunangan aku, Jeng. Dia nggak akan seberani itu bawa-bawa kamu. Dia hanya karyawan biasa. Sedangkan kamu?”
Bentley hitam itu berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat tiga. Pagar otomatis membuka memberi jalan. Dengan transisi yang mulus kendaraan roda empat itu berbelok lalu berhenti di halaman.Tak lama pintu terbuka, menampakkan sosok Radev yang keluar dari dalamnya. Ia memang lebih suka menyetir sendiri ke mana-mana ketimbang menggunakan tenaga supir, walau dirinya memiliki supir pribadi. Lelaki itu tampak begitu segar. Setelan jas mahal yang membalut tubuhnya memberi kesan profesional yang tidak dibuat-buat.Dengan sebelah tangan berada di dalam saku celana pria itu berjalan ke rumah orang tuanya.Radev tidak menemukan siapa-siapa di rumah besar itu sehingga ia pun bertanya pada asisten rumah tangga yang ditemuinya.“Mami mana, Bi?”“Ada di belakang, Mas Radev.”Radev pergi tanpa berkata apa pun. Ia menemukan ibunya itu sedang berada di ruang makan. Tidak sendiri, ada perempuan muda bersamanya. Ajeng, sang tunangan.“Coba deh, Jeng, kamu bayangin, masa Radev jam sebelas masih tidur. K
Starla tidak langsung memberi jawaban. Berbagai tanya berkumpul di kepalanya.Dari mana sahabat mantan atasannya itu mendapat nomor Starla? Lantas apa tujuannya mengajak bertemu?“Bapak tahu nomor telfon saya dari mana? Bertemu untuk apa, Pak?” Starla menyuarakan kumpulan pikiran di benaknya.“Nanti akan saya jelaskan setelah kita meet up. Saya tunggu ya, setelah ini saya share loc.”“Baik, Pak.” Starla terpaksa mengiakan karena ia merasa penasaran pada tujuan Bjorka.Setelah panggilan tersebut berakhir Starla segera bersiap-siap. Ia tidak ingin terlambat. Tidak enak kalau Bjorka sampai menunggu terlalu lama.Keluar dari kamar, Starla berpapasan dengan ibu tirinya. Perempuan itu menatapnya tajam setelah memindai dari puncak kepala hingga ujung kaki.“Kamu mau ke mana?”“Ke luar sebentar, Tante.”“Ke luar?” Mayang menyipit mengulangi perkataan Starla.“Hanya sebentar, nanti aku akan langsung pulang.”“Keadaan genting begini kamu masih bisa mikirin main dan hangout di mall?”“Aku bukan
Baru berpisah selama lebih kurang tiga minggu tapi rasanya seakan tiga tahun tidak bertemu. Radev benci mengakui kalau dirinya merindukan Starla atas alasan yang tidak mampu ia jelaskan.Apa? Kangen?Gila kali gue kangen sama Starla.Radev menolak keras perasaaan itu. Ia tidak mungkin merindukan Starla. Memangnya siapa dia? Apa kelebihannya? Selain cantik tentu saja, lalu baik, lalu sangat mengerti Radev. Lalu …Arghhh …Kenapa juga dirinya mengurai satu demi satu poin positif gadis itu?Radev baru menyadari bahwa Starla tidak datang sendiri. Ada Bjorka sedang berdiri di sisi pintu. Temannya itu mengedipkan sebelah mata seakan ingin mengatakan, ‘mission complete.’Radev melempar senyum samar sebelum Bjorka pergi dari sana. Pria itu dengan kilat menyimpan senyumnya lalu mengganti dengan raut dingin seperti biasa saat menyadari ada Starla yang saat ini sedang berdiri di depannya. Starla tidak boleh tahu kalau Radev begitu mengharapkan gadis itu kembali.“Duduk,” suruhnya pada Starla.Pa