Tidak ada yang melebihi keterkejutan Radev maupun Starla saat ini selain kedatangan Ajeng yang muncul tanpa aba-aba. Bahkan perempuan itu tidak mengetuk pintu sebelumnya.
Tidak mau Ajeng berpikiran yang macam-macam mengenai apa yang dilihatnya, Starla mendorong Radev hingga terpisah dari dekapannya.
“Mbak Ajeng, jangan salah paham. Tadi saya hampir terjatuh karena kepala saya pusing tapi untung Pak Radev menolong saya.” Starla buru-buru menjelaskan pada tunangan atasannya.
Ajeng hanya melirik Starla sekilas tanpa berkata apa-apa. Lantas perempuan itu memberi seluruh atensinya pada Radev.
Starla yang tahu diri meminta izin pada Radev untuk keluar dari ruang kerja laki-laki itu.
“Dasar centil,” kecam Ajeng setelah dirinya tinggal berdua dengan Radev.
“Siapa?”
“Asisten kamu.”
“Dia bukan centil, tapi ramah,” jawab Radev mengoreksi.
Starla terkenal sebagai pegawai paling cantik, baik, dan ramah di seantero Casanova Garment. Dan oleh sebab itulah diam-diam Ajeng mencemburuinya. Apalagi sebagai asisten pribadi hampir dua puluh empat jam Starla mendampingi Radev dan melayani segala kebutuhannya.
“Tapi dia sudah kelewatan. Dia nggak bisa membedakan batasan antara bos dan karyawan,” ucap Ajeng lagi yang hampir mati terbakar cemburu setelah menyaksikan kejadian tadi.
“Kelewatan gimana?” tanggap Radev yang tidak setuju dengan pemikiran tunangannya.
“Dia tuh manfaatin kedekatan kalian. Lama-lama ngelunjak tuh anak,” kesal Ajeng dengan wajah bersungut-sungut. “Bisa nggak sih, Dev, dia dipecat aja?” pintanya membujuk laki-laki itu.
Radev yang sejak bicara dengan Ajeng memakukan mata ke layar gawai mengangkat wajahnya kala mendengar ucapan perempuan itu.
“Aku nggak mungkin memecat dia. Starla kerjanya bagus, lagian susah nyari asisten yang benar-benar cocok sama aku,” jawab Radev menolak mentah-mentah ide tunangannya lalu kembali fokus pada gawainya.
Ajeng menahan napas lalu memendam sendiri kekesalannya di dalam hati atas penolakan Radev.
Sementara itu Starla sudah berada di ruangannya. Kondisinya belum berubah malah cenderung memburuk. Tidak seharusnya ia bekerja dalam keadaan seperti sekarang.
Saat gadis itu sedang memijit-mijit pelipisnya, pintu ruangannya dibuka dari luar. Kia—teman dekat sekaligus rekan kerjanya melangkah masuk.
“Lo kenapa, La? Sakit?” tanyanya saat melihat wajah pucat Starla.
Starla menjauhkan tangan dari pelipis, lalu menyunggingkan senyum tipis seakan tidak ada apa-apa.
“Gue baik-baik aja. Kenapa?”
“Tapi muka lo pucat kayak mayat. Masa lo bilang baik-baik aja.”
Starla mengusap pipinya pelan. “Oh ini, gue lupa pake blush on.” Tentu ia berbohong. Kia tidak perlu tahu apa yang telah terjadi padanya.
Kia menatap Starla lebih lekat lalu memutuskan untuk percaya pada perkataan Starla.
“Ngomong-ngomong lo nggak ke luar nemenin Pak Boss?”
“Dia nggak ke mana-mana. Besok mau berangkat bisnis trip ke Shanghai.”
“Lo nggak ikut?”
“Ih, ngapain gue ikut?”
“Kan lo sekretarisnya.”
Sebagai asisten pribadi Radev, Starla sering diajak ke manapun lelaki itu pergi. Tapi untuk kali ini entah mengapa Radev tidak membawanya.
Saat keduanya sedang asyik mengobrol, internal phone di ruangan Starla berbunyi. Starla menjangkau gagang telepon tersebut dari kursinya.
“Halo, dengan Starla di sini.”
“Ke ruangan saya sekarang.”
“Baik, Pak.” Starla menyanggupi kemudian keluar dari ruangannya menuju ruang kerja Radev.
Ajeng masih berada di sana. Perempuan itu memasang tampang masam saat Starla datang.
“Iya, Pak, ada yang harus saya kerjakan?” tanya Starla pada Radev.
“Pakaian dan barang-barang saya sudah kamu siapkan?”
“Sudah, Pak.”
“Yakin nggak ada yang ketinggalan?”
“Saya udah triple check, Pak. Semua perlengkapan Bapak lengkap di sana.”
“Good.”
Ajeng mendengkus pelan di tempat duduknya. Apa pun yang dilakukan Starla membuatnya sangat cemburu. Bahkan untuk keperluan pribadinya Radev juga mengandalkan sang asisten. Tapi ia juga tidak bisa berbuat banyak.
***
“Kok Mama yang masak? Memangnya si anak manja ke mana, Ma?” tanya Tantri pada Mayang yang sedang menyiapkan menu makan malam untuk mereka.
“Dia belum pulang, mungkin masih kelayapan.” Mayang merotasi bola matanya geram.
“Ngelacur lagi?”
“Mana Mama tahu. Mungkin.”
“Malah bagus kan, Ma, biar uang jajan aku nambah.”
Keduanya lalu tertawa cekikikan menghina Starla atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.
Starla yang baru pulang langsung menuju ruang belakang dan langsung mendapat sambutan yang membuat dirinya tersinggung.
“Dari mana aja lo? Ngelacur lagi?” Tantri melipat tangan di dada sambil memindai saudara tirinya dari puncak kepala sampai ujung kaki.
Starla mengabaikan adik tirinya dan menanyakan makanan untuk ayahnya.
“Nasi untuk Papa biar aku yang antar, Tante.”
“Kamu dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?” Mayang menanyakan pertanyaan yang sama padanya.
“Dari kantor, Tante. Hari ini aku agak sibuk.” Tadi Starla sengaja berlama-lama di kantor. Ia tidak ingin terlalu cepat berada di rumah yang ‘panas’ seperti di neraka. Andai saja tidak ada papanya, Starla tidak akan Kembali lagi ke rumah itu.
“Uang semesteran Tantri udah mau jatuh tempo. Jadi kapan mau dibayar?”
Starla mengembuskan napas. Seharusnya itu bukanlah kewajibannya, tapi entah mengapa dirinya diposisikan sebagai tulang punggung di keluarga itu.
“Lusa aku bayar.” Starla menjawab pelan kemudian pergi membawa makanan untuk ayahnya. Namun, ia masih sempat mendengar ancaman adik tirinya yang tidak tahu diri.
“Awas aja kalo sampe telat dan bikin gue malu!”
Beginilah rutinitasnya setiap hari. Setelah lelah bekerja seharian Starla juga harus mengurus ayahnya yang seperti mayat hidup. Starla baru memiliki waktu untuk beristirahat setelah ayahnya tertidur.
***
Pagi ini Starla kerja seperti biasa. Ia datang lebih awal dibanding karyawan lainnya. Setelah masuk ke ruangannya, Starla menemukan sebuah map di meja. Ia tidak tahu siapa yang meletakkan di sana. Tapi karena penasaran Starla membukanya.“Nggak mungkin …” Gumaman terdengar dari mulutnya.Di dalam map itu terdapat selembar kertas yang ternyata adalah surat pemecatan dirinya. Mendadak detak jantungnya mengencang membaca isi surat itu. Starla tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Radev memecatnya tiba-tiba sedangkan Starla merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia selalu bekerja dengan baik karena CEO-nya itu adalah tipe atasan yang perfeksionis.“Pak Radev pasti salah. Ini bukan surat untukku. Aku harus menanyakannya sekarang.”Membawa surat tersebut, Starla meninggalkan ruangannya. Ia menuju ruangan Radev. Namun setibanya di sana ia menemukan ruangan tersebut dalam keadaan kosong melompong. Di saat itulah ia baru menyadari bahwa Radev tidak masuk hari ini karena berangkat ke Shangha
Setelah hampir sepuluh hari berada di Shanghai Radev kembali ke Indonesia dan memulai rutinitas seperti biasa.Para karyawan Casanova Garment berbisik-bisik saat lelaki itu melintas. Dari dulu sampai sekarang pembicaraan tentang Radev tidak pernah mendingin di kalangan para pegawainya, terutama pegawai wanita. Apapun yang ada pada Radev selalu menarik untuk dibahas. Mulai dari wajahnya yang tampan, kerajaan bisnisnya yang tersohor, sampai tunangannya yang membuat iri banyak perempuan karena berhasil mendapatkan hati Radev.Sebelum memulai aktivitas kerja biasanya setiap pagi seluruh karyawan ikut briefing. Tapi briefing kali ini terasa jauh lebih spesial karena Radev menghadirinya.Para karyawan tampak khidmat menanti apa yang akan Radev sampaikan. Sementara pria itu belum bicara apa-apa. Ada sesuatu yang mengganjal. Starla tidak ada di antara karyawannya yang lain.“Starla mana?” tanyanya.“Starla kan sudah berhenti, Pak." Seseorang memberitahu.“Berhenti?” Sebelah alis laki-laki itu
Kedatangan Radev tak pelak mengejutkan Starla. Gadis itu dengan refleks menyentak tangannya yang dicekal pria di sampingnya.“Pak Radev ...”Radev mendengkus sambil memandangi pria menjijikkan yang bersama Starla. “Pantas saja kamu resign, ternyata di sini bayaran kamu jauh lebih besar,” ucapnya sinis.“Apa maksud Bapak?”“Don’t pretend with me, Starla. Saya pikir kamu perempuan baik-baik. Saya sangka kamu terpelajar. Tapi setelah apa yang saya saksikan malam ini sudah cukup menjadi alasan atas apa yang terjadi kemarin. Kamu benar-benar memalukan. Saya menyesal mempekerjakan perempuan sehina kamu sebagai asisten saya!”Senyum miring tercetak di bibir Radev menyaksikan mantan asistennya yang hanya diam membeku di hadapannya tanpa sepatah kata pun terlontar dari bibirnya sebagai pembelaan. Hal itu memberi keyakinan pada Radev bahwa Starla membenarkan perbuatannya.“Dengar, Starla, saya benar-benar menyesal pernah mempekerjakan kamu!” Radev mengucapkannya sekali lagi sebelum pergi mening
Bagai ada bom yang dijatuhkan di depannya Ajeng terkesiap. Akhirnya kebusukannya tercium oleh Radev. Tapi perempuan itu tidak akan semudah itu mengakuinya.“Surat pemecatan Starla? Ini kamu kok jadi nuduh aku sih, Dev?”“Aku menuduh kamu bukan tanpa alasan. Aku punya bukti yang kuat untuk itu.”“Bukti apa?” Ajeng mengerutkan dahi. Sementara jantungnya berdebar dengan kencang. Ia takut kalau Radev benar-benar akan menyuguhkan bukti yang tidak bisa disangkal.Radev mengeluarkan ponsel dari saku kemudian menunjukkan bukti rekaman CCTV pada Ajeng.“See? Kamu yang membuat surat itu dan menyuruh office boy untuk meletakkannya di meja Starla. Kamu kenapa sih, Jeng? Ada masalah apa dengan Starla?”“Tahu dari mana kalau aku yang membuat surat itu? Bisa aja kan office boy itu yang ngarang cerita,” balas Ajeng yang belum mau mengaku.“Buat apa dia ngarang cerita dan memfitnah kamu? Kamu itu tunangan aku, Jeng. Dia nggak akan seberani itu bawa-bawa kamu. Dia hanya karyawan biasa. Sedangkan kamu?”
Bentley hitam itu berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat tiga. Pagar otomatis membuka memberi jalan. Dengan transisi yang mulus kendaraan roda empat itu berbelok lalu berhenti di halaman.Tak lama pintu terbuka, menampakkan sosok Radev yang keluar dari dalamnya. Ia memang lebih suka menyetir sendiri ke mana-mana ketimbang menggunakan tenaga supir, walau dirinya memiliki supir pribadi. Lelaki itu tampak begitu segar. Setelan jas mahal yang membalut tubuhnya memberi kesan profesional yang tidak dibuat-buat.Dengan sebelah tangan berada di dalam saku celana pria itu berjalan ke rumah orang tuanya.Radev tidak menemukan siapa-siapa di rumah besar itu sehingga ia pun bertanya pada asisten rumah tangga yang ditemuinya.“Mami mana, Bi?”“Ada di belakang, Mas Radev.”Radev pergi tanpa berkata apa pun. Ia menemukan ibunya itu sedang berada di ruang makan. Tidak sendiri, ada perempuan muda bersamanya. Ajeng, sang tunangan.“Coba deh, Jeng, kamu bayangin, masa Radev jam sebelas masih tidur. K
Starla tidak langsung memberi jawaban. Berbagai tanya berkumpul di kepalanya.Dari mana sahabat mantan atasannya itu mendapat nomor Starla? Lantas apa tujuannya mengajak bertemu?“Bapak tahu nomor telfon saya dari mana? Bertemu untuk apa, Pak?” Starla menyuarakan kumpulan pikiran di benaknya.“Nanti akan saya jelaskan setelah kita meet up. Saya tunggu ya, setelah ini saya share loc.”“Baik, Pak.” Starla terpaksa mengiakan karena ia merasa penasaran pada tujuan Bjorka.Setelah panggilan tersebut berakhir Starla segera bersiap-siap. Ia tidak ingin terlambat. Tidak enak kalau Bjorka sampai menunggu terlalu lama.Keluar dari kamar, Starla berpapasan dengan ibu tirinya. Perempuan itu menatapnya tajam setelah memindai dari puncak kepala hingga ujung kaki.“Kamu mau ke mana?”“Ke luar sebentar, Tante.”“Ke luar?” Mayang menyipit mengulangi perkataan Starla.“Hanya sebentar, nanti aku akan langsung pulang.”“Keadaan genting begini kamu masih bisa mikirin main dan hangout di mall?”“Aku bukan
Baru berpisah selama lebih kurang tiga minggu tapi rasanya seakan tiga tahun tidak bertemu. Radev benci mengakui kalau dirinya merindukan Starla atas alasan yang tidak mampu ia jelaskan.Apa? Kangen?Gila kali gue kangen sama Starla.Radev menolak keras perasaaan itu. Ia tidak mungkin merindukan Starla. Memangnya siapa dia? Apa kelebihannya? Selain cantik tentu saja, lalu baik, lalu sangat mengerti Radev. Lalu …Arghhh …Kenapa juga dirinya mengurai satu demi satu poin positif gadis itu?Radev baru menyadari bahwa Starla tidak datang sendiri. Ada Bjorka sedang berdiri di sisi pintu. Temannya itu mengedipkan sebelah mata seakan ingin mengatakan, ‘mission complete.’Radev melempar senyum samar sebelum Bjorka pergi dari sana. Pria itu dengan kilat menyimpan senyumnya lalu mengganti dengan raut dingin seperti biasa saat menyadari ada Starla yang saat ini sedang berdiri di depannya. Starla tidak boleh tahu kalau Radev begitu mengharapkan gadis itu kembali.“Duduk,” suruhnya pada Starla.Pa
Starla terpaksa duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Radev. Ia baru tahu kalau tadi pria itu menyuruhnya membeli dua porsi bukanlah untuk dihabiskan sendiri, tetapi juga untuk Starla.Ini bukanlah untuk pertama kalinya Starla menemani Radev makan. Mereka sering makan siang bersama, entah itu di restoran, di café, saat meeting bersama klien ataupun di saat dan di tempat-tempat random lain. Namun, entah mengapa atmosfir kali ini terasa berbeda.Starla pikir Radev akan mengizinkannya kembali ke ruangan setelah makan siang. Nyatanya lelaki itu meminta Starla tetap berada di ruangannya. Tidak ada yang dilakukan Starla. Ia hanya duduk diam menemani Radev, sementara lelaki itu asyik sendiri dengan ponselnya. Radev seakan menganggap Starla tidak ada di sana.Hampir setengah jam berlalu dan pria itu tidak memberi instruksi apa pun pada Starla hingga Starla merasa tidak tahan untuk tetap bungkam.“Pak, ada yang bisa saya kerjakan?”Radev tidak merespon. Lelaki itu tetap terpaku dalam gaw