Share

ACT 2. Pekerjaan demi pekerjaan

 “Kak, apa besok bisa datang ke pertemuan orang tua di sekolah? Kakak tidak perlu datang jika sibuk, aku akan memberi tahu guruku bahwa kakak sibuk dan tidak bisa datang,” ujar Karina adik bungsuku.

“Jam berapa pertemuan itu dimulai? Kakak mungkin bisa datang setelah jam makan siang,” aku sibuk menyiapkan sarapan untuk adikku.

“Pertemuannya jam sebelas siang, tenang saja kamu masih sempat datang di saat-saat terakhir, Kak. Tapi apa benar tidak apa-apa kau datang? Bagaimana dengan pekerjaanmu, kakak pasti sangat sibuk,” sahut Karin sambil mengunyah french toast yang dioles dengan madu dan juga buah stroberi sebagai topingnya.

“Tidak apa-apa, aku satu-satunya keluargamu yang bisa datang di setiap kegiatan sekolahmu. Will sedang berada di tempat yang jauh. Dia pasti sangat sibuk sebagai mahasiswa tahun pertama, jadi dia sepertinya tidak akan pulang,” Aku selesai mengemasi sarapan sekaligus makan siangku. Kuminum susu cokelat yang menjadi favoritku sampai habis.

“Kamu tidak pernah makan apa pun, apa kita sedang kesulitan keuangan?” Aku menatap Karina yang melihatku dengan cemas. Dia menyodorkan french toastnya padaku dengan wajah bersalah.

“Tidak, kita tidak kekurangan apa pun. Aku hanya tidak terbiasa makan di pagi hari, perutku akan terasa mual jika aku makan sesuatu, susu cokelat ini sudah cukup untukku. Habiskan sarapanmu,” aku menyodorkan kembali piringnya.

“Mungkin aku juga harus mencari kerja paruh waktu agar aku bisa membantumu,” aku menatap wajah adikku dengan tegas. Ini bukan pertama kalinya dia bilang ingin bekerja paruh waktu.

“Karin, kamu masih pelajar dan tugasmu adalah belajar dengan baik. Seorang pelajar tidak perlu memikirkan cara menghasilkan uang, itu adalah tugas dan tanggung jawab orang dewasa. Pekerjaanmu sekarang adalah belajar dengan baik dan benar, Kamu pasti punya cita-cita bukan? Aku ingin kau menyelesaikan pendidikanmu sampai perguruan tinggi,”

“Tapi itu akan membutuhkan banyak biaya. Kakak sudah membiaya pengobatan Mama, sekolahku dan Kak William, sudah terlalu banyak yang kamu tanggung sendiri,” tanpa sadar aku menggebrak meja makan.

“Itu karena aku satu-satunya yang bekerja dan memiliki pekerjaan yang bagus dengan gaji yang lumayan besar. Will juga ketika sudah lulus nanti akan bekerja dan akan membantuku mengurus Mama dan membiayai pendidikanmu. Aku sudah muak mendengar kau yang ingin bekerja paruh waktu, tidak ada pekerjaan paruh waktu untukmu. Tidak akan kuizinkan, pembicaraan ini selesai sampai sini, titik.”

Aku mengambil tasku yang ada di kamar. Kutarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Sabar Tricia, masa-masa sulit seperti ini akan berlalu. Aku tidak akan selamanya seperti ini, Mama akan sembuh, Will juga pasti akan bekerja dan hidup mandiri, bebanku juga akan berkurang. Semua butuh waktu, aku hanya perlu bersabar sampai menunggu waktu tiba. Aku pasti bisa! Setelah memberi semangat pada diriku sendiri, aku keluar dan bersiap untuk pergi kerja.

“Ayo kita berangkat Karin. Seperti biasa, kau yang membawa kunci rumah karena aku akan pulang malam lagi.”

***

“Patricia, aku tahu kamu satu-satunya yang bekerja dalam keluargamu. Bukankah kamu sudah sering izin dalam satu bulan ini? Bahkan kemarin kamu pergi ke suatu tempat tanpa memberi tahuku lebih dulu dan mengacaukan presentasi yang seharusnya kamu lakukan? Temanmu bahkan tidak tahu apa-apa saat meeting dan itu membuat namaku jadi sedikit buruk,” bossku menatap tidak suka karena lagi-lagi aku ,meminta izin disela-sela jam kerja.

“Aku tahu aku salah boss, tidak memberi tahu Julia tentang presentasi itu sehingga dia tidak sempat untuk mempelajarinya. Kesalahan seperti itu tidak akan aku ulangi lagi, saat itu kondisi ibuku sedang tidak baik. Aku juga selalu menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu, jadi tidak ada alasan kau memarahiku apalagi memotong gajiku. Semua pekerjaanku selalu selesai dengan sempurna,” balasku.

“Benar, kamu selalu mengerjakan setiap pekerjaanmu dengan sempurna, dan selalu tepat waktu. Aku memfavoritkan dirimu karena apa pun yang kau kerjakan sangat bagus dan rapi dibanding yang lain. Tetapi kamu juga harus menjadi contoh baik untuk mereka, bagaimana jika karyawan lain meniru sikapmu yang selalu meminta izin pergi pada jam kerja? Aku tidak menoleransi itu, gajimu bulan ini dipotong. Keputusanku sudah bulat, silakan keluar dari ruanganku sekarang.” Perintahnya.

Dengan menahan rasa marahku, aku keluar dari ruangan itu dengan langkah lebar dan tergesa. Aku ingin membanting pintu ini tapi kuurungkan karena aku takut dia berubah pikiran dan memecatku.

Suara pintu terbanting dengan begitu keras sampai membuat pintu itu bergetar. Aku membuka pintu ruang kerjaku dengan kasar, beberapa pasang mata menatapku dengan terkejut ada juga yang marah tapi aku tidak peduli dengan mereka semua. Kuberjalan menuju mejaku yang berada di pojok, dan duduk dengan kasar sambil menyedekapkan kedua tanganku di dada.

“Boss tua sialan, biasanya dia tidak seperti ini padaku. Pasti ada seseorang yang memanas-manasinya, apa ada yang membenciku di kantor? Huh, mereka pasti hanya orang iri karena aku menjadi favorit pimpinan perusahaan,” gerutuku pelan. Aku sama sekali tidak berkonsentrasi kerja karena gajiku akan dipotong.

“Jika kamu punya waktu untuk melamun, lebih baik kerjakan pekerjaanmu. Jangan karena boss memfavoritkanmu kamu jadi bisa bersikap seenaknya,” seseorang wanita menghampiri mejaku dengan wajah yang tidak menyenangkan.

“Apa aku punya masalah denganmu? Atau kamu yang bermasalah denganku?” aku menatapnya dengan ekspresi yang tidak kalah ketus darinya.

“Kamu yang bermasalah di sini. Baru beberapa tahun bekerja di tempat ini tapi boss sudah memfavoritkanmu dari semua karyawan di sini dan memperlakukanmu dengan istimewa. Apa jangan-jangan kamu menjual tubuhmu itu padanya?” aku berdiri dan langsung menampar wajahnya sampai dia sedikit terhuyung ke belakang.

“Beraninya kamu menamparku?!” perempuan itu hendak membalas dengan menamparku kembali, tapi aku jauh lebih cepat sehingga telapak tanganku kembali bertemu dengan pipinya.

“Jika boss menyukaiku itu karena pekerjaanku yang sempurna dan selesai tepat waktu. Jika kamu ingin dapat perlakuan yang sama denganku seharusnya kamu perbaiki kualitas kerjamu, bukan malah menjilat atasanmu dan membuat gosip tidak benar tentang rekan kerjamu,”

“Lancang sekali kamu memperlakukan seniormu seperti ini?!” perempuan itu mencoba menjambak rambutku tapi dihalangi oleh rekan-rekanku yang lain.

“Patricia! Melanie! Jangan membuat keributan di ruang kerja! Hentikan sekarang juga atau kalian selesaikan di luar, perbuatan kalian mengganggu karyawan lain yang sedang bekerja!” seseorang datang menegur kami dengan wajah yang marah.

“Dia yang menamparku lebih dulu Arnold?! Aku hanya memberitahunya untuk segera menyelesaikan pekerjaannya karena kulihat dia hanya melamun saja. Lalu dia tiba-tiba berdiri menamparku?!” Melanie mengadukanku pada Arnold seorang kepala bagian yang juga adalah atasanku.

“Patricia, kenapa kamu bertingkah kasar seperti itu pada seniormu?” Arnold sepertinya mencoba untuk mengomeliku dengan cara yang lebih halus.

“Aku tidak akan banyak bicara, orang-orang di sini juga punya telinga bukan? Kamu bisa bertanya pada mereka apa yang sebenarnya terjadi,” aku pergi meninggalkan Melanie dan Arnold, berbicara dengan Arnold saat ada Melanie di sana hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Dia akan terus menjelekanku dengan berbagai cara.

“Lihat Arnold, anak itu sangat tidak sopan padahal kamu sedang berbicara padanya tapi dia malah pergi?! Seharusnya dia diberi sedikit hukuman,” Melanie memanas-manasi Arnold untuk memberikan sanksi pada Patricia.

“Diam Mel! Anak itu tidak mungkin marah sampai seperti itu, kecuali kamu menyinggungnya lebih dulu? Sekarang kau ingin berkata jujur padaku atau aku menanyakan satu persatu orang yang ada disini?” Arnold menunggu jawaban Melanie yang terlihat panik.

***

“Tricia, kamu sembunyi di sini ternyata?! Kudengar dari yang lain kamu bertengkar dengan Melanie? Semua orang heboh karena kamu menamparnya dua kali.” Julia langsung mencampiriku begitu gosip itu beredar dengan cepat.

“Jadi gosip itu sudah dia sebarkan ke semua orang? Dia benar-benar membuat cerita seolah aku adalah penjahatnya.” Patricia mendecakkan lidahnya.

“Memangnya orang itu berbuat apa padamu?” Julia duduk di depanku sambil menyeruput es caramel macchiato favoritnya.

“Dia hanya iri padaku karena aku lebih baik darinya dan mendapat kebebasan dari Crazy Baldie. Entah apa yang dia katakan sampai dia kecewa padaku, bahkan lebih buruknya lagi Crazy Baldie itu memotong gajiku!” Patricia melampiaskan amarahnya pada Julia.

 Semua orang memanggil pimpinan kepala cabang dengan Crazy Baldie bukan tanpa alasan. Selain kepalanya yang gundul, dia juga selalu bersikap seenaknya pada pegawai dengan menambah kerjaan yang bukan seharusnya di kerjakan oleh pegawai rendahan. Selain itu, dia juga selalu memaksakan pegawainya untuk lembur padahal tidak ada deadline yang harus dikerjakan, suka menggoda pegawai wanita yang masih muda. Satu lagi yang paling buruk, dia selalu tiba-tiba memberikan deadline pekerjaan yang hanya tinggal beberapa jam saja harus diselesaikan.

“Lalu alasan kamu menamparnya? Tidak mungkin karena dia mengadu pada Crazy Baldie, pasti ada alasan lainnya yang membuatmu marah sampai seperti itu.” Julia yang tidak terpengaruh dengan amukan Patricia justru lebih tertarik dengan topik bagaimana bisa menampar Melanie.

“Mulutnya itu benar-benar tidak bisa dikontrol, dia bilang di depan semua orang kalau aku menjual tubuhku pada pria botak tua itu karena aku menjadi favoritnya dan diberi sedikit kebebasan. Jika dia iri aku bisa mendapat kebebasan dan kepercayaan kenapa dia tidak bekerja lebih keras dan lebih baik dariku, bukannya menyebar kebencian dan fitnah.”

“Sepertinya dia sedang membicarakan dirinya sendiri. Minggu lalu, dia tepergok sedang berduaan di pantry kantor oleh sekuriti. Kamu tahu siapa laki-laki yang sedang dia goda saat itu? Allan Walton, lelaki yang paling tampan di kantor kita!” heboh Julia. Dia selalu seperti itu jika sedang membicarakan lelaki yang berwajah tampan.

“Allan Walton? Siapa dia?” pertanyaanku membuat mulut Julia terbuka lebar.

“Kamu serius tidak tahu Allan Walton? Dia adalah si tampan dari bagian keuangan, semua wanita tahu dan menyukainya?! Bagaimana bisa kamu tidak tahu Allan Walton, Tricia?!” Julia melotot, matanya seolah bicara bagaimana seorang Patricia sampai tidak mengenal Allan Walton, lelaki yang menjadi primadona para wanita di sini.

“Aku sama sekali tidak tertarik, aku jauh lebih tertarik dengan uang,” ujarku. Fokusnya sekarang adalah mencari uang, sebenarnya tanpa seorang pria pun wanita bisa hidup mandiri dan bisa melakukan segalanya sendiri.

“Tricia, aku ingin bertanya padamu tapi kau jangan marah setelah mendengarnya.” Julia tampak tidak sabar ingin mengeluarkan pertanyaan dari mulutnya itu.

“Apa?”

“Kamu seorang lesbian?” tanyanya tanpa beban sedikit pun.

“Kamu gila! Tentu saja aku adalah wanita normal yang menyukai pria! Pria idamanku adalah Chris Hemsworth dan Adam Levine! Aku meyukai dua orang itu!” bisa-bisanya perempuan ini menganggapku sebagai lesbian.

“Sudah kubilang jangan marah karena pertanyaanku!” Julia tidak terima karena aku mencak-mencak padanya.

“Bagaimana aku tidak marah mendengar pertanyaanmu yang tidak masuk akal itu,” protesku.

“Tapi aku tidak pernah melihatmu dekat dengan pria mana pun atau melihat seorang pria dengan mata yang berbinar karena cinta.” Julia menangkupkan kedua tangannya di wajahnya sambil tersenyum-senyum.

“Jangan seperti itu, kamu membuatku merasa jijik. Sekarang ini aku tidak tertarik dengan pria, aku lebih baik mencari uang yang sangat banyak.” Tiba-tiba saja teringat dengan kontrak kerja dengan restoran cepat saji itu yang akan habis.

“Kamu tidak bisa membeli semuanya dengan uang Tricia, kamu sudah bekerja di tiga tempat sekaligus. Apa kamu tidak merasa lelah? Apa artinya mencari uang jika itu akan membuatmu sakit, kamu hanya akan membuang uang itu untuk pengobatanmu sendiri. Sekali-kali bersenang-senanglah…” Julia orang yang satu-satunya tahu kondisi keluargaku.

“Aku baik-baik saja sampai sekarang,” balasku.

“Aku akan mengenalkanmu dengan teman dari pacarku, ayo kita double date malam ini di sebuah café,” ujar Julia yang tiba-tiba saja mencetuskan ide double date.

“Aku ada kerja part time di restoran fast food,” tolakku dengan tegas.

“Kalau begitu akhir pekan, bagaimana? Kamu pasti bisa kan?”

“Akhir pekan aku harus bekerja paruh waktu di sebuah bar.” Julia tampak tidak berkutik lagi, sebaliknya dia malah terlihat cemas.

“Kamu bekerja tujuh kali dua puluh empat jam?! Apa kamu gila Tricia? Tubuhmu bisa benar-benar rusak.”

“Tidak juga aku punya waktu tidur selama empat jam, itu sudah cukup untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku harus kembali ke tempatku sekarang, sebelum wanita itu membuat gosip buruk lagi tentangku,” aku bangkit berdiri dan meninggalkan Julia.

“Tricia?! Tricia?! Hei tunggu aku?!”

“Oh ya, apa kamu tahu tempat untuk meminjam uang dengan bunga yang rendah? Tolong beritahu aku secepatnya,” ujarku pada Julia.

“Kamu mau meminjam uang? untuk apa? Apa semua pekerjaan yang kamu ambil itu tidak cukup?” tanya cemas.

“Untuk berjaga-jaga saja, aku selalu membutuhkan uang yang banyak,” jawabku.

“Hei, ada masalah apa lagi? Ceritakan padaku!” desak Julia.

Sementara itu, disisi lain Sean sedang duduk dengan malas-malasan sambil menatap layar laptopnya. Tidak ada yang dia lakukan selain hanya menatap laptopnya lekat-lekat.

“Ayolah Sean, bantu aku. Ini bahkan bukan pekerjaanku, kenapa aku yang harus mengerjakannya untukmu,” keluh seseorang.

“Diam. Aku juga sedang bekerja,” timpal Sean dengan entengnya.

“Aku tahu kau sedang menonton video seorang wanita, tidak ada yang sedang kau kerjakan,” gerutunya lagi.

Diamlah, aku akan mengerjakannya setelah semua ini selesai. Aku sedang menunggu informasi dari George,” balas Sean tanpa menatap orang yang mengajaknya bicara.

“George? Siapa lagi yang sedang kau…”

“Akhirnya! Wanita ini, hidup kesusahan masih saja bersikap jual mahal padaku. Lihat saja, kau akan segera berada di tanganku,” ujarnya dengan senyum licik.

“Wanita lagi! Kali ini siapa yang kau incar, hah! Kerjaanmu saja tidak kau selesaikan!” protes seorang lelaki yang sepertinya adalah teman Sean yang juga bekerja padanya.

“Aku akan tambahkan bonus padamu. Kau mau ikuti permainanku tidak?” Sean tersenyum licik. Sebuah skenario jahat sudah terancang di otaknya.

“Apa itu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status