Share

Kekasih Sewaan CEO Nakal
Kekasih Sewaan CEO Nakal
Penulis: ini.Viny

ACT 1. Drama

“Tolong gantikan aku sebentar saja! Hanya dua jam, aku janji hanya dua jam. Ibuku sedang tidak baik-baik saja di rumah sakit, perawat bilang mereka butuh aku untuk menenangkannya. Ayolah Julia, aku akan mentraktirmu makan malam nanti!” Patricia memohon pada rekan kerjanya untuk menggantikannya sementara dia pergi. Pihak dari rumah sakit tiba-tiba saja menelpon dan memberi tahu bahwa episode ibunya kembali terjadi. Emosinya tidak stabil dan menyerang semua perawat yang datang mengurusnya.

“Hari ini aku ada kencan dengan Erick. Aku dan dia sudah merencanakannya jauh-jauh hari lalu kau datang menghancurkan rencana kencanku. Dia sangat sibuk, aku tidak tahu kapan kami akan berkencan lagi,” omel Julia. Dia sudah melotot kemudian mengentakkan kakinya kesal.

“Aku tahu aku salah, tetapi aku tidak bisa membiarkan ibuku dalam kondisi seperti itu. Nanti malam aku akan mentraktirmu makan steak enak di restoran, aku janji! Tolong gantikan aku sebentar saja.” Patricia tampak pasrah, tahu lagi harus memohon seperti apa pada Julia. Dia satu-satunya teman yang bisa diandalkan saat aku kesulitan.

“Kau tidak perlu mentraktirku, baiklah aku mengerti. Aku akan menggantikan pekerjaanmu selama kau pergi, tetapi apa kau tidak apa-apa Tricia? Selain bekerja di sini, kau juga bekerja paruh waktu di dua tempat lainnya. Aku khawatir pada kesehatanmu,” ujar Julia dengan cemas.

“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja sampai sekarang aku masih tetap sehat. Terima kasih Julia, aku akan benar-benar mentraktirmu makan steak. Aku harus segera pergi sekarang, datanglah nanti malam di restoran tempatku bekerja paruh waktu!” Patricia berlari meninggalkan Julia dan segera mencari taksi menuju rumah sakit tempat ibunya dirawat.

“Kubilang kau tidak perlu mentraktirku! Dan berhati-hatilah di jalan!” teriak Julia.

Sudah hampir tiga minggu ibu tenang tanpa episode depresinya kambuh, bahkan perawat bilang ibu bisa pulang jika dia terus tenang tanpa kembali mengamuk dan melukai orang-orang. Apa yang sebenarnya terjadi sampai dia mengalami hal seperti ini lagi? Apa dia melihat sesuatu yang memicu depresinya? Tetapi dia tidak pernah pergi ke mana-mana selain berjalan-jalan di taman rumah sakit.

“Nona, apa kau ingin turun di sini atau ingin aku turunkan anda di depan rumah sakit itu?” sahut sopir taksi. Patricia tidak sadar dia sudah sampai, sepanjang perjalanan dia hanya melamun saja.

“Bisakah kau turunkan aku sedikit di depan sana? Aku tidak mau berlari sampai ke dalam.” Sopir itu menurunkan Patricia tepat di depan depat rumah sakit. Setelah memberinya beberapa lembar uang, dia berlari ke dalam rumah sakit itu menuju ruangan ibunya berada. Terlihat beberapa perawat berkumpul di depan ruangan ibuku dengan wajah cemas mereka.

“Apa yang terjadi pada ibuku? Dan kenapa kalian semua berkumpul disini?”

“Nona Patricia, ibumu menyerang perawat yang akan mengganti pakaiannya dengan menusukkan garpu pada tangan perawat itu dan melakukan kekerasan lain.” Patricia menutup mata begitu mendengar apa yang terjadi di dalam sana.

“Lalu, lalu bagaimana kondisi perawat itu? Apa dia baik-baik saja?” Dia mencemaskan kondisi perawat itu yang diserang oleh ibu.

“Dia sudah ditangani, dokter Sisca langsung merawat lukanya. Ada satu lagi masalah selain, insiden itu…” dia terlihat ragu-ragu untuk menjelaskannya padaku.

“Apa itu? Katakan saja semuanya padaku,” aku menatap wajah perawat itu dengan sungguh-sungguh. Bersiap untuk mendengarkan berita buruk masuk ke dalam telingaku.

“Dia menjambak dan mencakar dua perawat wanita, lalu menendang dan menampar seorang perawat pria yang mencoba menyuntiknya dengan obat penenang. Parahnya, suntikan berisi obat penenang itu dia tusukkan pada lengannya. Ibumu menghujamkan suntikan itu beberapa kali padanya.” Patricia terhuyung syok mendengar apa yang sudah ibunya lakukan pada perawat-perawat itu. Belakang kepalanya langsung berdenyut-denyut nyeri.

“Kirimkan tagihan biaya perawat yang terluka itu padaku, aku akan bertanggung jawab pada mereka,” ucapku dengan lemas. “Bolehkah aku melihat ibuku sekarang? Apa aku bisa masuk kedalam?”

“Emosi ibumu masih belum stabil, dia sedikit tenang tetapi bisa saja dia akan kembali mengamuk seperti tadi. Kami belum menyuntiknya dengan obat penenang, jadi kau harus pelan-pelan untuk mendekatinya. Jangan membicarakan hal yang bisa kembali memicunya,” jawab perawat itu.

“Aku ingin tahu apa yang menyebabkan ibuku kembali seperti itu? Bukankah selama tiga minggu ini dia baik-baik saja?” Perawat ini pasti tahu apa yang terjadi pada ibu.

“Maaf, aku juga tidak tahu tentang hal itu. Perawat Diana yang membawanya jalan-jalan keluar sedang dipanggil oleh dokter Alvin,” jawabnya. Mungkin lebih baik bertanya saja pada dokter Alvin karena dia yang merawat ibu sejak awal

“Terima kasih, aku akan melihat kondisi Ibu sekarang.”

Pelan-pelan, pintu ruangan tempat ibu berada dibuka dan melihat keadaan di dalam sebelum benar-benar masuk menemuinya. Terlihat seorang pekerja sedang membersihkan alat makan yang terbuat dari stainless yang berceceran karena pertarungan ibu dengan perawatnya. Dia juga tampak waswas dan sesekali melirik takut pada ibu yang sedang duduk menatapnya dengan kosong. Tepukan pelan pada bahu petugas itu dan memintanya untuk keluar sebentar. Kini hanya ada Patricia dan ibunya saja yang berada di ruangan ini.

“Ma, ini aku Patricia…” Patricia masuk kedalam dengan langkah yang sangat hati-hati. Ibu masih belum menyadari keberadaaannya. Matanya masih tetap kosong.

“Ma, putrimu Patricia datang…kau tidak mau melihatku? Aku akan sangat sedih jika kau seperti ini,” ucap Patricia seraya mengeraskan suaranya agar dia tersadar. Tidak ada reaksi sedikit pun darinya. Dia memberanikan diri untuk menyentuh tangan sang ibu, dia sedikit tersentak dan memelototi Patricia. Tidak ingin terjadi hal yang diinginkan, Patricia melepaskan tangan ibunya dan mundur dua langkah.

“Ini aku…Patricia,” ucapnya mengangkat kedua tangan. Dia melihat anak perempuannya dengan matanya yang mulai berair.

“Patricia?” suaranya bergetar menahan tangis.

“Ini aku, kau aman sekarang. Tidak akan ada yang menyakitimu,” pelan-pelan Patricia mendekati ibunya.

“Patricia … Patricia ….” dia terus memanggil-manggil nama putrinya sambil menangis. Kedua tangannya terulur padaku seperti dia ingin memelukku. Patricia mendekatkan tubuhnya kemudian memeluk ibunya dengan erat.

“Ma, ada apa? Kenapa kau jadi seperti ini lagi? Kau sudah tenang selama beberapa minggu, dan jika kau terus tenang ada kemungkinan kau bisa pulang ke rumah.” Patricia berusaha menenangkan ibunya.

“Patricia … Patricia….” Ibuku terus memanggil-manggil namaku. Kulihat dokter sedang mengintip dibalik kaca jendela dengan cemas, Patricia mengangguk pada mereka, memberi kode bahwa situasi sudah aman.

“Ma, orang-orang ini akan menyembuhkanmu. Kau jangan menyakiti mereka lagi, mereka adalah orang-orang yang merawatmu di sini. Mereka orang-orang yang baik,” ujar Patricia sambil memberi gestur tangan untuk mereka mendekat dan menyuntikkan obat penenang pada ibunya.

Lima belas menit kemudian, ibu sudah mulai tenang dan tidak menangis lagi. Berbaring di atas ranjang dengan tatapannya yang selalu kosong.

“Apa kau akan terus seperti ini Ma? Kau sudah tidak menyayangiku lagi? Apa kau sudah melupakan aku, Will dan Karin? Aku sudah bekerja begitu keras selama tujuh tahun ini untuk membiayai kalian bertiga, mengurus biaya sekolah kedua adikku dan pengobatanmu.” Tidak ada respons sama sekali darinya. Baik, aku akan mengeluarkan semua beban yang ada padamu.

“Aku bahkan tidak tahu kapan terakhir kali membeli pakaian bagus untuk diriku sendiri, membeli tas dan sepatu atau apa pun yang aku inginkan untuk diriku. Aku mengorbankan semuanya untukmu dan kedua adikku karena aku takut jika aku membeli sesuatu untukku, kebutuhan kedua adikku tidak bisa terpenuhi dan juga kau. Kumohon bantu ringankan bebanku, kenapa kau terus memikirkan pria berengsek yang membuang kita seperti ini!”

Tanpa sadar Patricia malah membentak dan memarahi ibunya, melampiaskan semua rasa kesal, kecewa dan lelah pada seorang ibu yang depresi.

“Kau ingin aku juga jadi sepertimu? Menjadi gila dan membebankan semuanya pada anak-anakmu?! Kau ingin kami semua menderita sepertimu!”

“Kenapa kau memarahi seorang pasien…” aku menoleh pada seseorang yang sedang berdiri di depan pintu.

“Dokter Alvin…” dokter Alvin melihat dengan tatapan teduhnya.

“Melampiaskan emosimu pada seorang yang sedang depresi tidak akan membuat dirimu atau ibumu merasa lebih baik. Ibumu tidak akan cepat pulih jika kau seperti itu, atau jika kau mau bisa berkonsultasi padaku tentang semua masalahmu,” dokter muda itu berjalan ke sisi lain dan memeriksa kondisi pasien.

“Terima kasih, lebih baik aku mencari uang daripada membuang-buang uang untuk berbicara selama beberapa menit denganmu,” jawabku dengan sinis. Aku memang sangat sensitif jika menyangkut tentang uang.

“Kesehatan mentalmu juga sangat penting Patricia, aku tahu kau sedang mengalami banyak kesulitan dan aku mencoba membantumu dengan…”

“Terima kasih banyak dokter, tetapi aku tidak butuh konsultasi denganmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uang yang banyak. Tulang punggung keluargaku adalah aku, kau tidak perlu menawarkanku konsultasi atau apa pun itu. Bagaimana kondisi ibuku sekarang?” aku menatap dokter itu yang sedang termenung.

“Kita bicarakan ini di ruanganku.” Aku mengikuti dokter yang merawat ibuku menuju ruangannya dengan langkah yang gontai.

“Nona, Nona Patricia!” seseorang mencegat Patricia dengan sedikit berlarian.

“Sebentar dokter Alvin, aku ingin berbicara sebentar dengannya.” Dokter Alvin mengangguk pelan, kemudian berjalan menuju ruangannya sendirian.

“Nona, ini tagihan rumah sakit dan biaya tambahan lainnya,” ucapnya begitu dokter Alvin sudah pergi sedikit jauh.

“A-apa ini? Apa ini tidak salah?” wajah Patricia terkejut saat membaca biaya tagihannya.

“Itu tidak salah Nona, tagihan rumah sakitnya tidak berubah namun ada beberapa biaya tambahan karena ibumu merusak beberapa alat medis dan fasilitas rumah sakit. Beberapa alat dan fasilitas yang dirusak memang tidak murah harganya.”

Tidak, aku tidak punya uang sebesar ini untuk membayar tagihan rumah sakit bulan ini. Bahkan pekerjaan sampinganku pun tidak sanggup menutupinya, haruskah aku meminjam uang? menjual perhiasan milik ibu? Atau menjual diriku sendiri? batin Patricia.

***

“Apa kau buta lalu lintas! Kau ingin mati Nona!” bentak seorang pengendara mobil mewah yang nyaris saja menabrakku jika dia tidak segera menginjak remnya.

“Kau menyalahkanku Tuan sombong! Jelas-jelas masih berwarna kuning, kau yang seenaknya mengebut di jalanan. Seharusnya kau yang memelankan kendaraanmu, bukan aku!” balasku dengan tak kalah sengit. Aku yang sedang banyak pikiran saat ini meluapkan semua amarahku pada lelaki yang tidak dikenal.

“Minta maaf padaku,” tambahku sambil memelototinya dan berkacak pinggang.

“Minta maaf? Jelas-jelas kau yang salah. Sedang bermain playing victim, huh? Baiklah, kau ingin uang dariku bukan? Katakan saja jumlahnya padaku, berapapun, kau tidak perlu ragu. Oh, aku ada cek, kau bisa menuliskan jumlahnya dan menukarnya sekarang juga.” Darahku seketika mendidih mendengar kata-kata yang keluar dari pria ini.

“Kau pikir semuanya bisa diselesaikan dengan uang? Apa kau pikir semuanya bisa kau beli?”

“Tentu, aku bahkan bisa membeli dirimu. Sudah kubilang katakan saja berapa…” sebuah tamparan keras mendarat di pipi pria tampan itu.

“Aku sama sekali tidak butuh uang satu dolar pun darimu. Kekayaan yang kau miliki sama sekali tidak ada pengaruhnya padaku, aku tidak takut padamu. Apa? Kenapa kau melihatku seperti itu!” aku semakin marah saat dia melihat tubuhku dari atas ke bawah dengan tatapan yang para lelaki mesum lakukan saat melihat wanita.

“Patricia Hills, huh? Kau bekerja di tempat ini?” tanyanya setelah melihat nametag yang aku kalungkan.

“Ya, kenapa? Apa urusanmu dengan tempat kerjaku? Urusan kita yang tadi belum selesai Tuan, aku menunggu permintaan maafmu sekarang,” ucapku dengan penuh penekanan pada kalimat terakhir.

“Tempat itu tidak memberi keuntungan yang banyak, lebih baik kau ikut dan bekerja saja denganku. Aku bisa memberikan uang sebanyak yang kau mau sebagai bayarannya.” Dia menyodorkan kertas kecil yang sepertinya sebuah kartu nama. Kuambil dengan kasar, meremas kertas itu lalu melempar ke wajahnya.

“Tidak perlu. Gajiku di tempat ini sudah cukup, aku tidak akan menjual diriku padamu.” Aku yakin sampai akhir pun pria sombong ini tidak akan meminta maaf padaku. Lebih baik aku pergi dari sini dan segera Kembali ke tempat kerjaku sebelum batas waktunya.

“Kau akan menyesal sudah menolaknya Patricia!” balas lelaki itu dengan kesal.

“Oh benarkah? Aku takut sekali.” Aku pura-pura ketakutan dihadapannya. “Sudah kubilang aku tidak takut padamu, uangmu itu sama sekali tidak bisa membeliku Tuan. Berikan saja uangmu pada pelacur lain yang dengan senang hati akan menghamburkan uangmu.” Kali ini aku benar-benar pergi dari tempat itu sebelum banyak orang yang melihat kami berdua bertengkar.

“Lihat saja, aku akan membuatmu menyesal sudah melawanku bahkan menolakku. Patricia Hills, tunggu saja,” gumamnya pelan. “Kau lihat wanita itu, kan? Lakukan tugasmu George. Lakukan secepat kau bisa, tidak. Lakukan secepatnya hari ini.”

“Tapi …”

“Lakukan! Cari informasi wanita tadi, semua tentang wanita itu. Cari informasi dari mulai dia lahir sampai dia bisa bekerja di tempat itu. Tanpa terlewat sedikit pun George.”

Sean menatap sekitarnya. "Sepertinya sesekali aku harus datang ke tempat itu, lalu mengacak-acak semuanya sampai tidak tersisa. Dan wanita itu ... "

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status