Patricia duduk dengan gelisah sambil menunggu Nyonya besar Hardins tiba. Sudah berapa kali dia melihat jam tangan dengan tidak sabar dan mengetuk-ngetuk sepatu heels-nya. Sesekali dia melihat kearah pintu, berharap orang yang ditunggunya sudah datang.“Dia benar akan datang atau tidak? Sudah dua jam kita duduk menunggu orang itu datang,” keluh Patricia yang kesekian kali. Jujur saja dia mulai kesal karena merasa diberi harapan palsu.“Asistennya yang menghubungiku, dia ingin bertemu di restoran ini jam tujuh malam. Tunggu saja, mungkin sebentar lagi dia datang,” timpal Sean. Sean sepertinya kesal menunggu, tapi dia menikmati waktunya mengamati wanita yang duduk di depannya dengan ekpresi seperti ingin memarahi semua orang di tempat ini.“Sebentar lagi katamu? Ini sudah mau jam setengah sepuluh malam. Apa benar orang yang menghubungi itu asisten keluarga Hardins? Jangan-jangan hanya orang iseng saja yang mengaku-ngaku,” ujar Patricia kesal.“Mereka selalu melalui orang lain sebagai per
Tiada reaksi apa pun pada sapaanku. Sebaliknya, dia malah memerhatikan aku yang masih menggunakan kemeja putih dan rok hitam ketatku dan sepatu heels yang sedikit kotor dengan pandangan yang jijik.“Kau datang kemari dengan pakaian pengemis seperti itu?” tanyanya sambil mengernyit tidak suka.“Aku baru saja pulang kerja dan tidak sempat berganti pakaian,” balas Patricia dengan pelan.“Merek pakaian apa yang kau pakai? Dua asistenku yang berada di luar memiliki selera yang lebih baik dari pada dirimu. Pakaianmu seperti, pakaian bekas yang dijual di pasar,” ujarnya dengan nada yang merendahkan.Patricia hanya bisa tertunduk, dia mengakui kalau pakaiannya itu memang berharga murah tidak sebanding dengannya. Bahkan, dirinya tidak diminta untuk duduk, Patricia merasa nilai dirinya semakin rendah.“Jadi kau wali dari anak berandalan itu? Patricia, bukan?” cecarnya lagi.“Ya, saya adalah kakak dari William. Aku yang menghubungi keluarga Hardins lebih dulu untuk membicarakan masalah ini.” Pat
Patricia keluar dari restoran itu dengan pakaian dan rambut yang basah, tertunduk lesu lalu berjalan dengan gontai. Untung saja restoran itu sudah tutup dan kondisi luar restoran yang sepi sehingga dia tidak perlu menahan malu dengan penampilannya yang sekarang.“Patcy! Apa yang terjadi denganmu?” Sean datang menghampiri Patricia yang baru saja keluar. Dia sudah melihat Patricia dari dalam mobil dengan kondisi yang berantakan seperti itu. Sean melepas jas yang dipakainya lalu menyampirkannya di tubuh Patricia.“Apa Evelyn Hardin yang melakukan ini padamu? Kau membuatnya marah?” ujar Sean sambil menuntun Patricia menuju mobilnya.“Sean, aku ingin pulang. Aku ingin mandi dan beristirahat saja. Ini sangat melelahkan,” sahut Patricia dengan lemas.“Aku akan mengantarmu pulang ke apartemen. Apa yang sebenarnya terjadi Patricia, kenapa kamu bisa sampai seperti ini?” tanya Sean lagi. Dia sepertinya sangat ingin tahu kenapa Patricia bisa di siram dengan wine seperti ini. Patricia, dimatanya s
“Apa aku tidak salah dengar?” Sean memutar tubuhnya sehingga menghadap Patricia sepenuhnya, namun Patricia menolak menatap Sean dan memilih melihat lurus ke jalan.“Kau tidak salah dengar, aku menyetujui menjadi wanitamu,” balas Patricia.“Tunggu dulu Patcy, kenapa kau tiba-tiba seperti ini?”“Ini tidak tiba-tiba, aku sudah memikirkannya matang-matang.”“Kapan? Kapan kau memikirkan hal itu?” cecar Sean. “Hei, lihat aku.”Patricia menatap Sean dengan wajah datarnya. Wajahnya terlihat lelah, matanya juga sedikit sembab karena sempat menangis.“Apakah itu penting? Bukankah yang paling penting itu sudah menyetujuinya sekarang?” Patricia menjawab Sean dengan sebuah pertanyaan lagi.“Tidak, ini seperti bukan dirimu,” timpal Sean sambil menggelengkan kepala.“Memangnya kau tahu apa tentang diriku? Jangan bertingkah seolah kau tahu semua tentangku,” balas Patricia sambil memutar bola matanya.“Jujur saja aku merasa senang tapi sekaligus kecewa. Aku memang ingin mendapatkanmu, tapi bukan denga
Patricia terdiam beberapa saat, dia sadar apa pun jawabannya bisa jadi merugikan dirinya. Terlebih lelaki ini bisa saja memanfaatkan dan memanipulasi situasi yang terjadi.“Apa pun, aku akan melakukan apa pun asalkan kedua adikku aman dan selamat dari ancaman Evelyn. Orang seperti dia pasti tidak main-main dengan ucapannya bukan? Aku juga tidak boleh setengah-setengah untuk melindungi keluargaku. Akan kulakukan apa pun untuk melindungi mereka,” ucap Patricia sambil menatap pada Sean.“Kau yakin dengan jawaban yang keluar dari mulutmu itu? Apa pun, berarti aku berhak meminta sesuatu darimu tanpa penolakan sama sekali bukan?”Patricia kembali terdiam, dia seperti sadar sudah mengucapkan hal yang salah dan ingin menarik ucapannya kembali.“Kau ragu dengan jawabanmu bukan? Ingin menariknya kembali? Tapi apa yang sudah terucap tidak bisa kau tarik kembali. Jadi aku bertanya sekali lagi padamu, apa kau yakin dengan jawabanmu itu?”“Aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak punya uang, tidak p
Patricia keluar kamar mandi dengan memakai jubah mandi dan handuk yang melilit kepalanya. Dia melihat Sean masih berada di situ dengan sebuah laptop di pangkuannya. Merasa heran karena sudah semalam ini orang itu masih saja bekerja dan dia juga tidak pernah melihatnya beristirahat sedikit pun, sekadar ketiduran di tempat kerjanya pun tidak pernah.“Apa yang ingin kamu bicarakan denganku tadi? Kamu bilang ada yang ingin dibicarakan setelah aku mandi, sekarang aku sudah selesai. Jadi apa itu?” Patricia datang menghampiri Sean lalu terhenti. “Jangan menatapku seperti itu! Atau aku akan melempar kepalamu dengan vas bunga ini!”Patricia mengambil vas bunga kecil yang terletak di meja terdekatnya dan bersiap melemparnya ke kepala Sean.“Apa gunanya mata jika tidak untuk melihat, Patcy. Ternyata seperti itu dirimu setelah mandi, menarik,” godanya pada Patricia. Patricia yang takut segera merapatkan jubah mandinya.“Kapan pelayanmu itu membawakan baju untukku?” tanya Patricia.“Mungkin sebent
Sudah selama dua minggu ini Patricia menjadi kekasih sewaan dari seorang Sean Fernandes. Banyak perubahan yang terjadi di hidupnya, termasuk gaya pakaian dia yang biasanya sederhana dan murah berubah menjadi fashionable dan bermerek mahal. Tak hanya itu, dia juga mendapat perawatan ke salon setiap akhir pekan. Dia benar-benar berubah dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.“Tidak, hari ini aku tidak bisa menginap di tempatku. Aku dan Karina ingin menjemput Mama pulang dari rumah sakit jiwa,” tolak Patricia pada permintaan Sean yang memintanya untuk menginap kembali di rumahnya.“Ya. Dokter Fhadh menyarankan untuk perawatan di rumah agar kondisi ibuku lebih stabil lagi. Katanya, jauh dari keluarga bisa membuat kondisinya naik turun. Dokter Alvin juga dulu menyarankan hal ini tapi aku tidak mendengarkannya dan memilih sibuk bekerja. Jadi, aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama kali ini,” beber Patricia Panjang lebar.“Kalau begitu nanti aku akan kirim makanan untuk kalian berdua,”
“Apa yang ingin kamu bicarakan sampai membawaku ke taman rooftop?” tanya Patricia. Dia sama sekali tidak menyangka ada taman rooftop seindah ini.“Berapa dia membayarmu?” wanita itu menatap marah pada Patricia.“Apa maksudmu? Ah, jika maksudmu gajiku sebagai asisten pribadinya itu hampir tiga digit,” jawab Patricia.“Katakan padaku berapa dia membayarmu untuk menjadi teman kencannya? Aku akan membayarmu dua kali lipat jika kau mau menjauhinya,” perintahnya.“Kenapa kamu ingin aku menjauhinya? Harusnya kamu yang menjauh darinya karena dia milikku.”Kata “milikku” yang diucapkan Patricia membuat perempuan Bernama Oliv itu tersulut emosi.“Jaga kata-katamu jalang! Dia tidak akan pernah menjadi milikmu!”“Kamu yang jalang! Sudah tahu dia memilihku masih saja terus menyangkal! Seharusnya kamu sadar diri!”Tangan kanan Oliv terangkat dan menampar keras pipi Patricia sampai menimbulkan bunyi yang sangat nyaring. Tak hanya diam, Patricia juga turut membalas apa yang wanita itu lakukan padanya