[Kenapa enggak boleh? Cepat atau lambat mereka juga pasti tahu hubungan kita. Pokoknya aku jemput sekarang]
Senyum Yusra seketika terbit. Namun, lenyap kembali dalam hitungan detik. Pesan dari kekasih hatinya dibaca berkali-kali. Gadis itu ingin membalas 'iya', tetapi dia urungkan. Karena ingin memberikan kejutan pada orang tuanya.
Kini, Yusra berdiri di samping sebuah koper besar, dengan gamis cream dan dipadu jilbab senada tampak begitu indah melekat di tubuhnya. Dia tersenyum, seakan memberi sambutan untuk diri sendiri. Karena sudah tiba di kota kelahirannya.
Embusan angin menerpa wajah Yusra, jilbab yang dikenakannya berkibar-kibar. Dihirupnya napas panjang berkali-kali sambil tersenyum dan menutup mata sejanak. Dalam hati Yusra begitu riuh, bukan main rindunya sebentar lagi akan tuntas.
Gadis itu kembali tersenyum dan merasa lega sampai dengan selamat. Jauhnya jarak perjalanan membuat Yusra kelelahan. Sesekali Gadis itu mengamati perubahan bandara, seingatnya dulu ketika dia bertolak ke Ibu Kota, bandara tak sekeren seperti saat ini.
Jakarta merupakan tempatnya membuktikan siapa Yusra Fikriya, seorang penyanyi yang mulai merintis karier. Sedangkan di kota yang sering dirindukannya ini selalu memberikan suasana hangat bagi hati Yusra. Warganya, budaya, makanan khas. Ah, banyak lagi rasanya yang tak habis untuk menguraikan kelebihan kota ini.
Hampir tiga tahun, gadis itu tak pulang kampung dengan alasan sibuk skripsi dan terakhir sibuk bekerja. Kerinduannya terasa kian menggumpal ketika kekasih hatinya turut pulang ke kampung halaman. .
Dari kejauhan, Yusra masih menatap bandara yang masih tampak ramai. Karena banyaknya pengunjung hari ini yang menjemput sanak kerabatnya sepulang umrah. Sepanjang jalan, Yusra berdecap kagum, begitu banyak yang berubah dari kota ini. Gerai-gerai makanan cepat saji, bangunan baru yang terlihat megah seolah meyakinkan bahwa kota yang selalu dirindukannya ini banyak kemajuan.
Ada banyak kerinduan yang dipendamnya selama merantau. Jika ditanya apa yang membuatnya paling rindu? Tentulah tumpukan rindu Yusra pada orang-orang terkasih di kota ini.
Kepulangan Yusra kali ini, akan memberikan kabar bahagia. Rencana lamarannya dengan sang kekasih, Ervin Pengestu sudah tersusun rapi. Yusra rasanya tak sabar untuk segera tiba dan membicarakan lelakinya pada ayah dan ibu. Seseorang yang sudah mau bersabar menungguinya sampai saat ini.
Ah, laki-laki itu selalu membuatnya jatuh cinta. Bisa dibilang dia adalah cinta pertama Yusra, teman seangkatannya dahulu saat mereka masih berseragam putih abu-abu. Meski tak ada ikatan, tak ada jalinan kepastian, hubungan mereka pun tak begitu akrab layaknya anak seusianya yang biasa disebut dengan pacaran.
Di kota monas, Ervin mendatangi Yusra. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun itu datang untuk melamarnya, mengajaknya pulang ke kota ini. Sayangnya, gadis itu sudah terikat kontrak kerja, yang mengharuskannya tetap bertahan untuk sementara waktu di Jakarta.
Kini, Yusra pulang karena kontrak kerjanya sudah selesai. Selain menagih janjinya pada sang kekasih, dia juga ingin minta pendapat ibunya; apakah dia harus tinggal di kota ini? Atau dia akan kembali ke Jakarta? Atau juga bila sudah menikah nanti, dia akan mengikuti di mana suaminya tinggal.
Tak terasa go car yang membawa Yusra menepi, memasuki rumah sederhana bercat kuning gading. Diucapkannya terima kasih pada pengemudi, lalu memberikan bintang lima di aplikasi tempatnya memesan go car.
Setelah turun dari mobil, Yusra tercenung sejenak melihat lingkungan di rumahnya yang ramai karena anak-anak belajar mengaji. Benar-benar tak berubah, gumam Yusra.
Halaman yang luas masih tertata rapi dengan deretan pot bunga kreasi dari tangan ibu. Ayah juga masih mengajar mereka semua dengan suka rela. Satu-satunya yang berbeda dari halaman rumah adalah bertambahnya sebuah musala, dan di sampingnya juga ada bangunan kecil.
Ayah Yusra, meskipun jumlah muridnya tak melebihi hitungan jari-jari seluruh tangan-kaki satu orang, tetapi tetap saja ayahnya mengajarkan anak-anak penuh semangat.
"Ndak apa-apa, semoga perkara kecil ini menjadi amal ibadah kita," ucap ayahnya saat pertama kali Yusra mengeluh tak bisa tidur siang karena berisik.
Terkadang Yusra malu sekali bila ingat saat itu, begitu jauh perbedaan perangai Ayah dengannya. Ayahnya terkenal sebagai pribadi yang tegas, berwibawa dan penuh kasih sayang tanpa pamrih. Sedangkan Yusra, gadis yang sejak kecil sudah nakal itu, kerap membuat malu ayahnya. Sebagai anak seorang ustaz kelakuannya pun pasti ikut ter soroti masyarakat.
Yusra masih bergeming tak jauh dari teras rumah, meskipun beberapa anak menatapnya heran, dia tak peduli. Gadis itu sengaja berdiri sebentar sambil mengulang kenangannya semasa kecil di halaman rumah itu.
Di pojok sana, Yusra pernah sembunyi di balik susunan batu bata. Karena ketahuan berbohong puasa saat dia berumur sembilan tahun. Di halaman tempatnya berpijak, dia pernah terjatuh dari sepeda. Petaka kecil untuk anak yang baru belajar bermain sepeda. Namun, mampu membuat ayahnya cemas. Digendongnya Yusra kecil lalu diobati luka yang tak seberapa itu.
Rasanya tak cukup waktu sehari bila Yusra ingin menceritakan kenangannya. Maka dia pun bergerak memasuki teras. "Assalamualaikum," sapanya pada Ayah, yang sedang asyik membaca Al-Quran. Namun, sekian detik menunggu ayahnya tak juga merespons salam.
Sebentar lagi memasuki waktu Asar, anak-anak berlalu-lalang ada yang berwudu, ada juga berlarian ke musala untuk mendapatkan shaf paling depan. Yusra mengulangi salamnya.
"Assalamualaikum." Salam Yusra dijawab kembali anak-anak di sekitarnya.Mata Yusra memindai ke sekeliling, dia tak tampak kalau kedua kuping ayahnya memakai earphone.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Suara dari balik dinding sebelah. Seorang laki-laki berjalan pelan tak jauh dari ayahnya. Dia tersenyum dan mempersilakan Yusra masuk.
Siapa dia? Apa dia tak mengenaliku? Apa aku terlihat seperti tamu? Batin Yusra.
Tak ingin membuang waktu, Yusra langsung masuk ke teras dan memeluk ayahnya. Laki-laki berumur lima puluh empat tahun itu terkesiap. Dia tersenyum, mengangguk-angguk, lalu melepaskan aerphone-nya serta menutup kalimah mengaji.
"Ayah, Yusra kangen," katanya sambil memeluk.
Ayah balas memeluknya, entah beberapa lama. Sementara laki-laki muda dengan wajah kebingungan masih menatap mereka.
"Ibu mana?" tanya Yusra setelah melepas pelukannya pada ayah.
"Ke rumah Bude. Kamu kenapa ndak bilang mau pulang?"
"Kan kejutan, Yah. Oh, Ya, Abang Izzan mana?" tanyanya manja.
"Abangmu biasa, main. Oh, ya, ini Yusra. Anak Bapak yang pernah diceritakan kemarin." Ayah merapikan Al-Qurannya seraya menatap sekilas laki-laki yang sedari tadi berdiri.
"Itu, Idham Cholid. Dia yang bantuin Ayah di sini." Yusra memberikan seulas senyum lalu menundukkan pandangannya.
Setelah puas berbasa-basi Yusra beranjak masuk ke rumah, meninggalkan ayah dan Idham yang hendak salat Asar. Dia lekas ke kamar, kemudian mandi menyegarkan tubuh, lalu membereskan pakaiannya dari koper.
Yusra berbaring melepaskan penat, setelah menempuh perjalanan jauh. Di kasur empuk itu khayalannya melayang jauh ke sosok Ervin. Sebentar lagi, laki-laki itu akan mengubah statusnya menjadi seorang istri. Yusra berharap semoga jalan menuju pernikahannya dilancarkan. Walaupun pertemuannya terbilang singkat, belum membicarakan banyak hal mengenai masa depan. Namun setidaknya, keberanian dan kesabaran Ervin menunggunya sudah membuat Yusra cukup yakin. Dialah laki-laki yang Yusra mau menjadi pendampingnya.
Ervin Pangestu, namanya sering disebut Yusra, tidak hanya dalam doa tiap malamnya, tetapi juga dalam setiap keputusan yang ingin diambil Yusra. Sekian lama terpisah jarak, agaknya rindu Yusra begitu menggebu. Ah, rasanya gadis penyuka cokelat itu, tak sabar untuk bicara kepada ayah dan ibu tentang maksud kepulangannya kali ini.
Lamaran kemudian menikah, hidup bahagia mendampingi Ervin. Sesederhana itu rencana Yusra, dia tak ingin pesta yang mewah nan megah. Cukup baginya doa restu dari orang terkasih mereka. Setelah lamaran, Yusra pun tak ingin berlama-lama dengan status tunangan, karena dia paham betul peraturan yang sangat ketat dari sang ayah, yang tak membolehkannya berdekatan atau pun sering bertemu dengan tunangannya. "Aku takut tak kuat menahan rindu," gumam Yusra yang diiringi senyuman. Sekelebat bayangan Idham muncul tiba-tiba. Tadi dia buru-buru menundukkan pandangannya ketika berpapasan dengan Yusra. Laki-laki yang menjadi rekan ayah Yusra itu sepertinya memang alim, bukan kaleng-kalengan. Lihat saja caranya berpakaian, bertutur sampai mengajar anak-anak pun terlihat lembut, tetapi tegas. Pantaslah ayah Yusra betah dan percaya padanya. Meskipun yayasan yang dibuat tidaklah ramai, tetapi ayah Yusra tak mau mengambil sembarang orang untuk mengajar anak didiknya. Ayah Y
Di ruang keluarga yang tak seberapa besar, ibu dan ayah sudah duduk menunggunya. Yusra menghampiri sisi kiri ibu, lalu duduk di samping."Ra, kamu benaran ndak mau perpanjang kontrakmu?" tanya Najib membuka percakapan."Sebenarnya bukan enggak mau, tapi Yusra pengen ....""Pengen kawin?" celutuk Izzan."Hus! Abang," tegur ibu lembut.Yusra tersipu, secara tidak langsung apa yang ingin disampaikannya terwakili candaan Izzan."Kalau pun iya, kenapa malu? Kamu sudah cukup dewasa untuk menikah, Ra. Jangan menunggu abangmu. Dia anak laki-laki, menikah di umur tiga puluh lima pun tak masalah. Beda sama anak perempuan. Kamu sudah selesai kuliah, sudah menggapai apa yang kamu impikan, sudah kerja, apa yang lagi kamu tunggu selain jodoh?"Gadis itu tersenyum menatap ayahnya, sungguh ini benar-benar sebuah keberuntungan. Gayung bersambut, dia harus bicara tentang hubungannya dengan Ervin."
"Ndak, Sayang. Kamu tetap anak Ibu dan Ayah. Kamu tetap si bungsu Ibu. Kamu boleh cari orang tua kandungmu tapi kamu ndak boleh pergi dari rumah ini." Selama ini, mereka memberikan yang terbaik untuk Yusra, layaknya anak kandung tak ada yang pilih kasih. Bahkan mereka lebih menyayangi Yusra dibandingkan Izzan. Meskipun bukan orang tua kandung, tetapi mereka memberikan kasih sayangnya dengan tulus. Memanjakannya, mengajari agama, menasihati jika salah. Mengabulkan permintaan Yusra selagi mereka mampu dan baik menurut syariat agama. Ah, Yusra, dia benar-benar si buntung yang beruntung. Harusnya Yusra bersyukur, karena belum tentu hidup seberuntung seperti sekarang ini. Walaupun dia anak pungut, tetapi kasih sayang orang tuanya sama seperti abangnya-- Izzan. Apalagi mengingat kedua orang tua kandungnya, Yusra masih bayi saja, mereka tega membuang Yusra. Lantas, kenapa sekarang terpikir untuk mencari mereka? Ini memang terlalu bera
"Oke." Yusra mengacungkan jempolnya. Sebisa mungkin Yusra bersikap biasa. Walaupun dalam hatinya terasa canggung. Rasanya tak patut lagi dia bersikap manja seperti seorang anak kandung. Meskipun ibu selalu mengatakan tak ada yang boleh berubah. "Si Bungsu, Ibu" begitu timang Raisyifa sejak dulu.Setelah memarkirkan mobil ke garasi, Najib dan Raisyifa duduk di ruang tamu. Yusra datang membawa sepiring mangga dan segelas air putih sambil menunggu kedatangan anak-anak.Halaman rumah masih sepi, mungkin karena anak didik Najib belum ramai yang datang."Udah mau jam dua yang datang baru tiga anak, Yah." Ibu menengok ke teras."Ndak apa-apa, Bu. Yang lain mungkin lagi di jalan," terka Najib sembari mencomot mangga.Najib tak pernah bosan atau pun kehilangan semangat mengajarnya. Bagi Najib mengajarkan ilmu agama ngaji dan salat seperti menabung untuk bekal di kehidupan setelah meninggal nanti. Tak apa jika belum banyak anak
Wajah Yusra berbinar-binar mendapati sosok yang sangat dia rindukan, kini duduk bersama dengan Najib dan Idham di teras. "Siapa?" Yusra kaget saat ibu mendapatinya berdiri mengintip dari jendela. Perempuan itu masuk tanpa sepengetahuan Yusra."Bukan siapa-siapa, Bu," ujarnya sembari tersenyum."Masa?" Perempuan itu ikut tersenyum seraya mengusap kepala anaknya yang masih tertutup mukena, kemudian dia meminta Yusra membuatkan teh hangat.Sudah beberapa pekan Yusra pulang. Namun, dia belum juga sempat menyampaikan tentang hubungannya dengan Ervin, hingga laki-laki yang mampu mencuri hati Yusra itu nekat mendatangi rumahnya. Dengan alasan ingin mengunjungi temannya Izzan.Bukan main senangnya hati Yusra, tak henti-henti gadis itu menebarkan senyum selama membuatkan teh."Sudah tehnya? Biar ibu saja yang antar, ya?" Ibu meraih nampan dan menyusun beberapa cangkir teh lalu keluar dari dapur.Yusra
"Bukan. Temannya Bang Izzan, Yusra kenalnya waktu mengisi di acara pesantren dulu, Bu. Udah lama, Yusra juga udah lupa siapa namanya.""Oh, ibu kira teman dekat kamu, Nak." Raisyifa bangkit hendak keluar kamar."Dia minta ajari adik sepupunya main drum, Bu. Boleh enggak? Apa aku buka kursus main drum aja, ya. Menurut Ibu gimana?" tanya Izzan yang ikut berdiri."Kamu ini." Perempuan itu menepuk pundak Izzan. “Tanya ayahmu saja, Zann,” lanjutnya sambil meninggalkan Yusra dan Izzan, lalu kedua kakak beradik itu terdiam larut dengan pikiran masing-masing. Agaknya Yusra lebih berat yang di pikirkannya, anak mana yang mau melawan kehendak orang tuanya, bisa-bisa dikatai anak durhaka. Walaupun dia sendiri anak pungut di rumah itu.“Ngobrolnya di belakang, yuk,” ajak Izzan. Yang disambut anggukkan Yusra. "Tadi, ayah cerita apa saja, Bang?" tanya Yusra ketika baru tiba kolam ikan di belakang.
Yusra sudah menduga kemana arah pembicaraan ini jika dia tetap diam. Akan tatapi, dia pun tak punya kuasa untuk bicara terlebih lagi kondisi Najib yang memprihatinkan.Laki-laki tua itu sudah dua tahun belakangan ini sering terganggu kesehatannya. Kata dokter yang sering dia kunjungi tensi darah, kencing manis atau diabetesnya kadang kumat sulit terkendali. Najib hanya butuh obat dan istirahat yang cukup jika sudah merasa enakkan, dia akan kembali beraktivitas seperti biasa."Yusra," panggil Najib lagi, seakan menyadarkan gadis di samping bahwa pertanyaannya belum mendapatkan jawaban."Heem. Yusra malu, Yah, Yusra ...." Lama Najib menunggu Yusra menyelesaikan kata-katanya. Namun, hampir belasan menit Yusra tak juga menyelesaikan ucapannya.Najib menduga mungkin putrinya malu untuk mengakui ketertarikannya pada Idham."Yusra, ayah mau kamu jujur, Nak. Bilang saja kalau ada yang tidak sesuai dengan dugaan ayah dan ibu.""Ma
Seorang pria tampan dengan kaus berkerah hitam dipadu jeans abu-abu gelap turun dari mobil sedannya. Ia tersenyum sambil berjalan mendekati kekasih yang sudah menunggunya sejak tadi. Riuhnya suara band kafe dan pengunjung lain membuat Ervin tak sabar untuk sampai di hadapan Yusra. Maaf, ya, telat, " sapanya. Yusra tersenyum tipis dan menunjukkan minuman yang sudah