Share

Siapa Dia?

Lamaran kemudian menikah, hidup bahagia mendampingi Ervin. Sesederhana itu rencana Yusra, dia tak ingin pesta yang mewah nan megah. Cukup baginya doa restu dari orang terkasih mereka. Setelah lamaran, Yusra pun tak ingin berlama-lama dengan status tunangan, karena dia paham betul peraturan yang sangat ketat dari sang ayah, yang tak membolehkannya berdekatan atau pun sering bertemu dengan tunangannya. "Aku takut tak kuat menahan rindu," gumam Yusra yang diiringi senyuman.  

Sekelebat bayangan Idham muncul tiba-tiba. Tadi dia buru-buru menundukkan pandangannya ketika berpapasan dengan Yusra. Laki-laki yang menjadi rekan ayah Yusra itu sepertinya memang alim, bukan kaleng-kalengan. Lihat saja caranya berpakaian, bertutur sampai mengajar anak-anak pun terlihat lembut, tetapi tegas. Pantaslah ayah Yusra betah dan percaya padanya. Meskipun yayasan yang dibuat tidaklah ramai, tetapi ayah Yusra tak mau mengambil sembarang orang untuk mengajar anak didiknya. 

Ayah Yusra memang pintar mencari rekan kerja. Selain alim, Idham juga ganteng. Mata, bibir, dan alisnya yang lebat, wajah yang bersih seperti memancarkan cahaya. Postur tubuhnya juga tak kalah keren dengan model-model yang sering dilihat Yusra di Jakarta. Sayangnya, semua yang membuat Yusra kagum itu tertutup dengan penampilan pakaian sederhana Idham.

"Astagfirullah," ucap Yusra lirih. Dia sempat terpesona ketika kali pertama melihat Idham. Entah beberapa kali gadis itu beristigfar dalam hati, meski sudah menundukkan pandangannya. Namun, tetap saja hatinya terusik, seperti rasa penasaran ingin melihat laki-laki itu sekali lagi, lebih lama lagi. 

Barangkali karena Idham rekan ayahnya. Jadi, wajar saja Yusra penasaran dengan sosok laki-laki itu, karena hampir dua tahun ayahnya mencari partner dan dia yang dipilih. Berarti Idham luar biasa, bukan? 

Meski tak pulang, tetapi Yusra tahu apa yang terjadi di rumah ini. Saat di Jakarta, ibunya hampir tiap hari menelepon Yusra. Menceritakan banyak hal tentang keluarga, tanamannya, kucing-kucingnya, sampai anak tetangga pun jadi bahan cerita mereka di telepon. 

"Masha Allah, Anak Ibu." Suara ibu memecah lamunan Yusra. Dia lekas berdiri lalu berlari kecil menghampiri ibu dan memeluknya erat. 

"Ibu, kangen, Sayang ...." Gadis cantik berkulit putih itu membenamkan wajah di dada ibunya. "Ndak bilang-bilang mau pulang, Ibu kan bisa siap-siap," protes perempuan setengah baya tersebut seraya mengurai pelukannya. 

"Kan kejutan, Bu." 

"Ibu, kok, ndak terkejut," kelakar Raisyifa.

"Ah, Ibu," panggil Yusra manja.

Perempuan berdarah Jawa itu kembali memeluk tubuh Yusra. Diciumnya pucuk kepala Yusra berkali-kali. Dengan perempuan ini, Yusra merasa selalu seperti anak kecil bisa bermanja-manja. Apa pun kesalahan dan kenakalan Yusra, maka perempuan inilah yang selalu membelanya. 

Yusra jadi ingat kejadian beberapa tahun lalu, yang membuatnya kapok untuk berbuat salah karena beratnya hukuman ayah. Bukan hanya dapat ceramah panjang kali lebar saja, tetapi lamanya hukuman yang dijalaninya. 

Sempat terpikir oleh Yusra, bagaimana reaksi ayahnya nanti ketika tahu calon menantu adalah Ervin. Anak yang pernah menggoda Yusra hingga membuat Najib malu di pesantren.  

Perlahan ingatan Yusra kembali ke masa itu. Ada kegiatan hari besar di pesantren. Semua santri ikut hadir. Dalam acara tersebut Ervin diminta pidato berbahasa inggris, sedangkan Yusra diminta menjadi pembawa acara. Selama acara berlangsung ternyata Ervin diam-diam memerhatikan Yusra. Sejak saat itu, Ervin selalu mencari kesempatan untuk dapat menemui Yusra. 

Puncaknya rasa penasaran Ervin pada saat acara lomba tujuh belasan. Entah bagaimana caranya, dia begitu berani menyelinap ke kelas santri perempuan. Padahal, santri perempuan dan laki-laki itu dipisahkan baik asrama maupun waktu belajar, makan dan segala kegiatan di pesantren lainnya. Hanya kegiatan hari-hari besarlah para santri dikumpulkan dan pastinya tetap ada sekat antara santri laki-laki dan perempuan.  

"Assalamualaikum. Afwan, aku ingin masuk, mau ambil sesuatu." Yusra masih menunduk, dia terlihat malu melihat wajah teman laki-lakinya. 

Bukannya memberikan jalan, Ervin malah sengaja berdiri di tengah pintu masuk sambil terus memerhatikannya. 

"Maaf, permisi. Saya buru-buru nanti kalau ada yang lihat, kita bisa kena hukum." 

Ervin bergeming seperti tak mendengar, satu kakinya diangkat sampai menyentuh ganggang pintu. 

Menurut kabar yang Yusra dapat, Ervin menyukainya dan ingin menyatakan cinta. Namun, Yusra tak peduli dan tak mau tahu kebenaran kabar tersebut. Setahu Yusra, pesantren tempatnya menimba ilmu ini sangat terkenal ketat dan tidak main-main bila ada santri yang sengaja melanggar peraturan. Tak pilih kasih walaupun anak dari tenaga pengajar di pesantren tersebut.

"Maaf! Saya buru-buru, Ustazah Lili sedang menunggu saya." 

"Oke, tapi terima dulu cintaku baru kamu boleh masuk," katanya sambil penuh penekanan setiap kalimat. 

"Apa-apaan sih, kamu? Cepat minggir saya buru-buru atau saya akan teriak." Yusra mengancamnya. 

Sepertinya kata-kata itu cukup ampuh, Ervin  menurunkan kakinya dan bergeser jauh dari pintu. Yusra mempercayainya, dengan enteng gadis itu masuk ke kelas, yang ternyata disusul oleh Ervin. Yusra kaget sekaligus geram. "Nekat, ya, kamu. Keluar! Atau saya benaran teriak." 

Yusra menatap Ervin tajam. Namun, laki-laki itu tak peduli dan terus mendekat ke arahnya. 

"Mundur!" perintah Yusra, yang diabaikan Ervin. Di saat Yusra terus menghindar, tiba-tiba dia terpeleset dan terjatuh. 

Gadis itu sempat mengaduh dan terduduk kesakitan, karena punggungnya menyentuh sisi meja dengan keras. 

Ervin panik, dilihatnya wajah Yusra yang pucat. Dia ingin mendekati dan bermaksud membantu Yusra bangkit. Namun, tak lama setelah dia ikut berjongkok di samping Yusra. Tiba-tiba dua remaja itu dikejutkan dengan teriakan keras ayah Yusra, disertai sorak para santri yang lain. 

Sejak kejadian itu, ayah Yusra mengundurkan diri sebagai tenaga pengajar dan melarang keras Yusra berteman dengan siapa pun, hingga hari ini. Berkali-kali Yusra menjelaskan, bahwa dia dan Ervin tak melakukan apa-apa. Tak ada hubungan khusus seperti yang dituduhkan teman-temannya. Namun, Najib tak mau percaya hingga kini. Tetap saja semua pergaulan Yusra diperhatikan sang ayah. Meskipun dia tinggal jauh di Jakarta, tetapi tetap dalam pengawasan ayahnya. 

Lucu, malu, sekaligus merasa bersalah. Yusra tersenyum bila mengingatnya, sebab kejadian itu, Yusra dapat mengenang kali pertama teman laki-laki menggodanya. Laki-laki itu juga terus mengkhawatirkannya, karena hukuman dari sang ayah, hingga membuatnya berjanji akan menebus kesalahan di suatu hari nanti. Mungkin nanti ketika sudah menikah, sudah halal, Yusra benar-benar dapat melihat dan merasakan laki-laki itu menunaikan janjinya. 

Ah, Yusra benar-benar tak sabar ingin segera dilamar. 

***

"Ra, kamu capek? Ayahmu ngajak ngobrol." Ibu masuk mendekati Yusra. 

"Enggak kok, Bu. Aku minta waktu sebentar ini lagi chat sama teman," pintanya.

Sudah dua hari Yusra pulang, tetapi rencana untuk membicarakan lamaran selalu tertunda. Ayahnya selalu sibuk dengan kegiatan amal di masjid. Sedangkan ibu, terbiasa menurut keputusan sang ayah. Jadilah, apa ingin disampaikan Yusra selalu tertahan. 

"Iya, Ayahmu nunggu di ruang keluarga, ya, Ra." 

"Iya, Bu." Yusra kembali melihat ponselnya. 

Beberapa menit menunggu balasan dari Ervin, tetapi jangankan dibalas dibaca saja belum. Dalam hati Yusra, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk bicara dengan ayahnya, mumpung laki-laki itu ada waktu luang. Bila ayah dan ibunya setuju, Yusra akan memberitahu Ervin untuk datang bersama orang tuanya. 

"Nah, loh, kena sidang." Izzan mengejek Yusra, dia duduk di meja makan sambil mengunyah camilan.

Yusra sengaja ke dapur mengambil air minum, sebelum duduk di hadapan ayahnya. Biasanya, kalau laki-laki bersikap tegas itu mengajak bicara, berarti ada sesuatu yang ingin dibahas, penting. 

"Jangan-jangan mau ngomong tentang Ervin." 

"Abang ...." 

"Tapi benar kan, kamu sama Ervin, ada hubungan? Kalian diam-diam sering ketamuan, ya? Teleponan. Iya kan?" tanya Izzan, yang berhasil membuat mata Yusra terbelalak dan melongo. Wajahnya pun merah padam. 

"Jangan asal ngomong, nanti jatuhnya fitnah, Bang," ucap Yusra kesal. 

"Eh, siapa yang asal? Kalian memang ada hubungan kan?" 

Mulanya Yusra ragu untuk menjawab, dia hanya memberikan seulas senyum lalu berujar, "Iya, tapi kita enggak pernah ketemu. Apa lagi berdua-duaan gitu." 

Yusra kesal langsung memasang gaya berdecak pinggang, dadanya sedikit dibusungkan ke depan. Kedua matanya juga menatap tajam pada Izzan, seakan menegaskan apa yang dikatakan laki-laki itu tidak lah benar. 

"Tapi ada kok, foto kalian berdua di taman. Iya kan? Udah enggak usah mengelak," ejeknya lagi. 

"Astagfirullah, Abang! Di sana kita tak hanya berdua. Di taman itu masih banyak pengunjung lain, lagian itu foto dua tahun lalu," tegasnya. 

"Ah, sudahlah. Malas meladeni Abang Izzan, pasti dia juga tak percaya. Kalau pun percaya, dia pasti sengaja mau kerjai aku." Yusra membatin karena malas meladeni Izzan. 

Gadis cantik itu lekas beranjak, ditinggalnya Izzan yang asyik dengan camilannya dan beralih menuju ke ruang keluarga. 

Yusra terus menerka-nerka apa yang sebenarnya yang ingin dibicarakan ayahnya? Nanti kalau ayah sudah selesai, dia harus mengutarakan maksudnya. Jangan sampai menyia-nyiakan waktu luang sang ayah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status