Saat menjadi seorang Ibu, Jihan sangat paham posisinya. Kedua orangtua Jihan memberinya pemahaman yang sangat baik tentang tanggung jawab. Meski dilahirkan dari keluarga yang serba kekurangan, sejak kecil Jihan melihat sendiri kedua orangtuanya mengerjakan apa saja demi memenuhi kebutuhan lima anaknya karena rasa tanggung jawab.
Jihan paham sekali, kedua anaknya tidak pernah minta dilahirkan. Saat dia menyatakan siap menjadi orangtua, detik itu juga dia harus siap dengan tanggung jawab di pundaknya. Dia bertanggung jawab memberikan kehidupan yang layak. Dia bertanggung jawab untuk memberikan kasih sayang. Dia juga bertanggung jawab memberikan perlindungan dan pendidikan.Karena itulah, Jihan kuat selama ini. Dia menekan sakit demi buah hati. Dia mengorbankan perasaan agar kedua anaknya tidak kekurangan kasih sayang. Tidak dapat dipungkiri, kalau mereka berpisah, kasih sayang itu tidak akan penuh mereka dapatkan."Mama tahu Reva?""Yang beberapa k"Habis riwayatmu, Aditya. Nama besar Buana hanya tinggal kenangan yang akan terus terukir dalam ingatan setiap orang kalau pemiliknya ada seorang yang amoral dan tidak bertanggung jawab." Afrizal mematikan televisi. Cukup. Tampilnya Ralin ke publik hari ini sudah melengkapi semua skenarionya."Semoga kau beristirahat dengan tenang, Cakra Buana. Usaha yang kau banggakan dulu sudah mati dan terkubur bersama hilangnya nama besar dan jasadmu dari bumi ini."Ratusan kilometer dari gedung pencakar langit itu, Aditya memijat kening dengan wajah masam. Di sampingnya, Jihan hanya terdiam mendengarkan percakapan."Jual saja, Mas." Rafli kembali berbicara setelah keheningan cukup lama tercipta di antara mereka. "Sudah tidak ada yang bisa diharapkan lagi. Jual saja." Adik nomor tiga Jihan itu terus menatap Kakak iparnya yang menunduk sejak tadi.Aditya menoleh pada Jihan. Wanita itu mengangguk pelan. Aditya mengalihkan pandangan. Ditatapnya satu persatu ketiga lelaki di hadapannya. Adik iparnya i
“Seminggu berlalu begitu saja sejak pengakuan Ralin yang menuntut tanggung jawab dari Aditya Buana. Sampai berita ini kami turunkan, tidak ada tanda-tanda itikad baik dari pihak Aditya dan Jihan.Suami istri itu bahkan tetap bungkam dalam persembunyian. Pihak keluarga Jihan yang kami temui di desa memilih tutup mulut. Mereka mengatakan tidak mau ikut campur dalam masalah yang melibatkan anak dan menantu mereka.Sementara Ralin sendiri dikabarkan sedang dirawat di rumah sakit. Kondisi kesehatannya turun drastis karena beban pikiran. Mentalnya juga sedang terguncang karena sebelumnya sering menerima teror yang diduga berasal dari orang suruhan Aditya.Menurut informasi yang kami dapat, Ralin bahkan sempat pendarahan cukup banyak setelah melakukan konferensi pers minggu lalu. Beruntung, janin yang dikandungnya baik-baik saja. Menurut orang terdekatnya, Ralin hanya berharap agar Aditya bisa menunjukkan itikad baik pada janin yang sedang dikandungnya saat ini.”Afrizal tersenyum puas melih
“Jihan?” Aditya terpana saat Jihan menghempaskan tangannya saat mereka sudah di kamar rawat inap Rayna dan Damar. Lelaki itu menatap istrinya tidak mengerti. Dia berjalan pelan mendekati Jihan yang menangis di sofa sambil menutup wajah dengan kedua tangan.“Wanita itu mengandung anakmu, Mas!” Jihan mendesis kencang. Wanita itu menyandarkan punggung di sofa. Dia menatap Aditya yang sedang berjalan mendekatinya dengan wajah muram.Dengan ujung mata, Jihan bisa melihat kedua orangtuanya yang tadi sudah bersiap akan pulang duduk kembali. Burnian dan Namira saling berpandangan. Jihan mengembuskan napas kencang. Selama lima belas tahun pernikahan, ini pertama kalinya mereka bertengkar di depan Bapak dan Ibu. Baik Jihan maupun Aditya sepakat kalau ada masalah cukup mereka yang menyelesaikan sendiri, tidak perlu keluarga tahu dan ikut campur.Namun, Jihan tidak bisa menahan hati. Dia lelah dan tersakiti. Berbagai cobaan yang datang dan menghantam keluarga mereka membuat Jihan merasa bisa menj
“Kita berusaha saja dulu dengan semua yang kita punya, Jihan. Saya tidak mau merepotkan adik-adik. Biarlah mereka fokus pada keluarga masing-masing.” Aditya memandang jauh ke depan. Tatapannya menerawang jauh seolah menembus ruang dan waktu."Semoga setelah ada titik terang mengenai pengobatan Rayna dan Damar, saya bisa membangun usaha kembali. Walau mungkin hasilnya belum maksimal, setidaknya kita punya pemasukan lagi untuk menata masa depan." Aditya ikut mengangguk melihat Jihan yang mengangguk beberapa kali.“Maaf, maaf karena saya sudah membawa kamu dalam kesulitan seperti ini.” Aditya terisak. Akhir-akhir ini dia gampang sekali menangis. Kehilangan dan ketakutan yang memenuhi hati dan pikiran membuatnya yang dulu kuat dan tangguh menjadi sangat lemah.“Mas bicara apa? Musibah tidak ada yang tahu, Mas. Kita semua tidak menginginkan ini terjadi. Berhenti terus-terusan menyalahkan diri sendiri.”“Ini semua teguran untuk saya. Dulu saya zalim dan telah berbuat begitu banyak dosa yang
“Saya tidak akan pernah menjual nama Buana pada orang yang jelas-jelas ingin menghancurkan nama baik keluarga kami.”Afrizal melemparkan ponselnya saat Aditya menutup sambungan telepon secara sepihak. Lelaki itu terengah membayangkan usaha yang sedang menjanjikan itu akan redup begitu saja. Dia melirik pada pengacara muda yang sejak tadi menyimak pembicaraan di telepon.“Panggil media, kita bergerak sekarang.” Afrizal mengepalkan tangan. “Jalankan rencana yang sudah kita susun sejak awal. Hubungi Ralin dan minta dia mengangkat kembali berita tentang hubungannya dengan Aditya. Lakukan penggiringan opini secara besar-besaran. Aku ingin memastikan keturunan Buana dan usaha mereka hancur tak bersisa.”Di sini, terpisah jarak ratusan kilometer dari keramaian pusat kota. Aditya duduk termenung di salah satu bangku rumah sakit. Sudah hampir dua jam dia terpekur disana. Berbagai kegundahan berkecamuk di pikirannya.Kalau tidak ingat betapa papanya mencintai usaha yang dia rintis dari nol, Adi
“Ini apa?” Afrizal menautkan alis saat kuasa hukumnya memberikan selembar surat dengan logo salah satu lembaga peradilan di negeri ini. Dia melihat surat itu tertanggal tiga hari yang lalu, berarti diterima saat dia sedang menikmati liburan bersama Ralin. Liburan berkedok mengecek pengerjaan salah satu proyek jalan tol yang mereka kerjakan di luar pulau. “Somasi?” Afrizal tertawa sumbang setelah membaca isi surat. Dia menatap lelaki muda di hadapannya untuk meminta penjelasan. Pengacara yang sudah lebih dari sepuluh tahun ini bekerja sebagai kuasa hukum perusahaan sekaligus mengurus masalah pribadi keluarganya jika terjadi sesuatu.“Mereka menginstruksikan agar kita tidak lagi menggunakan nama Buana di seratus cabang kedai kopi yang masih beroperasi sampai saat ini. Mereka juga mengirimkan salinan surat pemutusan kontrak kerjasama beberapa waktu yang lalu.”Afrizal mendengus kencang. Dia memang masih menjalankan usaha kopi itu seperti biasa walau kontrak sudah diputus. Dia tidak meny
"Kisahku sebelumnya sangat indah, keluarga kami harmonis. Dirga bahkan suami yang sangat perhatian dan romantis hingga membuat aku merasa menjadi wanita paling berharga karena dia begitu memuja. Itu juga yang membuatku berpikir kau benar-benar bodoh bertahan dengan semua kegilaan Mas Aditya." Nia mengusap air matanya yang mengalir kembali."Namun, saat satu cobaan menghantam pernikahan, kami langsung goyah. Aku tidak sekuat dirimu yang dengan besar hati menerima perselingkuhan suami. Dirga juga tidak seperti Mas Aditya yang berusaha keras memperbaiki semua lagi. Kami renggang hingga akhirnya tercipta sebuah jurang." Nia terus berbisik pelan seolah Jihan ada di hadapannya."Semoga Rayna dan Damar segera diberi kesembuhan kembali, Je. Semoga kau dan Mas Aditya diberi kekuatan untuk melewati semua ini." Nia mengembuskan napas pelan saat mobil berhenti tepat di depan pengadilan. Di sana, Dirga dan kuasa hukumnya juga baru saja sampai."Hari ini sidang perceraian kami yang ketiga, Je. Dirg
“Kecelakaan tunggal seminggu yang lalu merenggut nyawa Cakra Buana dan istri. Sementara kedua cucu mereka, Rayna dan Damar sempat mengalami koma. Kabar terbaru yang kami dapat, dua kakak beradik itu saat ini sedang menjalani pengobatan secara intensif karena seluruh tubuh dikabarkan lumpuh.”“Allah.” Nia menghapus air matanya yang mengalir melihat wajah Jihan dan Aditya serta kedua anak mereka yang sedang tersenyum memenuhi layar ponsel. Itu foto tiga tahun lalu saat malam kembalinya Jihan ke dunia modeling lagi. Malam itu juga yang menjadi awal malapetaka yang terus mengintai keluarga sahabatnya."Halo, Mbak Jihan, perkenalkan, aku Ralin, kekasih suamimu."Nia menghela napas panjang mengingat betapa percaya diri dan bangganya Ralin mendatangi Jihan malam itu. Gadis muda dengan karir yang sedang ada di puncak itu sengaja benar menjadikan diri sebagai batu sandungan saat Jihan akan kembali lagi.Dia bahkan masih bisa mengingat dengan jelas wajah Jihan yang terpana. Ruangan yang tadinya
“Saya selesai, Jihan.” Aditya menggigit bibir saat mereka keluar dari gerbang pemakaman. Aditya menoleh ke belakang sebelum melanjutkan langkah.Cakra dan Hida sengaja dimakamkan di desa kelahiran Jihan. Selain disana ada yang mengurus dari pihak keluarga Jihan, kondisi Rayna dan Damar yang masih belum sadarkan diri di rumah sakit juga menjadi pertimbangan.“Tempat wisata masih tutup. Sudah sebulan lebih terbengkalai. Kegiatan distribusi air entah bagaimana. Sementara masih berjalan sesuai kontrak. Nanti, setelah semua kontrak selesai saya belum ada bayangan bagaimana memulai lagi.” Aditya berkata pelan. Satu batu kerikil terpental karena tidak sengaja tersepak olehnya saat berjalan. Air hujan yang jatuh ke jalan mengenai ujung celana panjang yang dia kenakan.Jihan berpegangan erat pada Aditya saat melewati jalanan yang licin agar tidak tergelincir. Persis seperti saat ini, mereka saling berpegangan erat agar tidak terperosok pada lembah kesedihan tak berujung.“Papa dan Mama ….” Adi