Bab 7. Malu-malu Mau
Hidup bak putri raja, mungkin itu sebutan yang pantas disematkan pada seorang Ayuna Malika. Gadis bau kencur yang resmi menyandang status sebagai istri seorang Kennan Sabdayagra.
Meski pura-pura. Meski berbatas waktu.
Kali ini, Yuna sedang duduk di tepi ranjang dengan sebuah novel terbuka dipangkuan. Membaca novel romantis kesukaannya, yang entah tahu dari mana, Kennan menyiapkan puluhan buku itu di kamarnya. Mungkin dimaksudkan untuk mengusir bosan. Entahlah, Yuna tidak pernah menanyakan perihal itu.
“Tuan,” panggil Yuna melirih, digigitnya bibir bawah, harap-harap cemas menanti respon dari Kennan. Pasalnya, laki-laki itu sedang sibuk dengan laptop menyala, sejak satu jam yang lalu.
Cukup lama hingga akhirnya Kennan menoleh menatap Yuna. “Ada apa?” tanya Kennan, dahinya mengernyit samar.
Yuna meletakkan novelnya ke atas nakas, menyibak selimut yang sedari tadi membungkus kakinya. Siang hari memang, tapi Kennan tidak membiarkan jendela kamar terbuka, lebih memilih menyalakan AC di suhu dingin.
“Apa Anda tidak lapar?” tanya Yuna, masih dengan harap-harap takut.
Meski sudah beberapa hari hidup satu atap dengan Kennan, Yuna masih belum menghilangkan ketakutan. Dia tidak tahu kenapa. Kennan tidak berbuat kasar ataupun semena-mena padanya. Yah, meski sesekali berucap tajam dan keras tanpa bantahan.
“Makan saja dulu, aku masih sibuk.”
Yuna tersenyum senang, serta merta dia menegakkan tubuh dan beranjak turun dari ranjang. “Apa tidak apa-apa saya makan duluan?”
Kennan mengangguk. Sudut bibirnya tertarik ke atas ketika dalam sekejap mata, Yuna sudah menghilang dari kamar. Dia tahu, Yuna sudah kelaparan sejak tadi. Karena meski Kennan fokus pada pekerjaannya, sudut matanya tidak pernah lepas dari gerak-gerik Yuna.
Kennan libur kerja, agenda yang memang dia rencanakan sejak awal. Dan sengaja menghabiskan waktu bersama dengan Yuna hanya di kamar hari ini. Bukan karena ada rasa pada Yuna, tapi lebih karena Yuna yang sering mencuri-curi waktu untuk melakukan banyak pekerjaan berat.
Menyapu, mengepel, menggunting tanaman di halaman, membersihkan kolam. Bahkan yang terbaru tadi pagi, dia melihat Yuna ikut membantu sopir pribadinya mencuci mobil.
Seolah tersadar akan sesuatu, buru-buru Kennan menutup laptopnya, meletakkan sembarang di atas ranjang. Dalam satu gerakan cepat dia segera keluar kamar, turun ke lantai satu. Tanpa memanggil siapa pun, Kennan berjalan ke arah dapur, pelan-pelan, demi memastikan dugaannya.
Dan benar saja, dia melihat Yuna sedang mencuci perkakas masak dengan seorang pelayan yang juga tampak sibuk di depan kabinet.
Mengembuskan napas, Kennan melanjutkan langkah. Mendekat ke arah Yuna dengan langkah-langkah tanpa suara. Kemudian dia menelusupkan dua lengannya melingkari perut Yuna dari belakang. Dia diam beberapa saat menikmati ketegangan tubuh Yuna karena keterkejutan.
“Sedang apa?” bisiknya tepat di sebelah cuping telinga Yuna.
Yuna yang sedari tadi menegang dan menahan napas, akhirnya bergidik geli karena bisikan Kennan disertai embusan napas laki-laki itu. Dia menggeliat mencoba lepas, susah sekali karena Kennan yang memeluknya erat.
“Saya—”
“Bukankah sudah kukatakan, jangan melakukan pekerjaan berat,” potong Kennan. Dielusnya perut rata Yuna dengan lembut. “Kesehatan rahimmu nomor satu.”
Yuna menelan ludah, mengangguk pelan. “Saya tahu. Tapi, saya hanya membantu.”
Kennan mendesahkan napas di perpotongan leher Yuna, menunduk dan menggigit gemas bahu sempit Yuna yang hanya terbalut gaun tipis.
Yuna menjerit tertahan karena bahunya yang menjalarkan perih. Dia melirik sisi kanannya lewat sudut mata, dan tidak mendapati satu pelayan pun di sana. Padahal sebelumnya ada beberapa yang tengah sibuk di dapur. Tapi syukurlah, setidaknya tidak ada yang memergoki dirinya bersama Kennan dan perlakuan laki-laki itu.
“Sakit,” Yuna mencicit. Meringis karena bukannya melepas pelukannya, Kennan justru menambahi satu gigitan gemas.
“Hukuman karena tidak mendengar ucapanku,” tegas Kennan. Dia mengulurkan tangan, mematikan keran air yang sedari tadi mengalir kemudian membalikkan tubuh Yuna, membuatnya dapat melihat ekspresi perempuan itu.
Yuna menunduk takut. Dia salah lagi. Dia tidak mengacuhkan ucapan Kennan. “Maaf, saya hanya ingin membantu, dan kebiasaan mungkin.”
Kennan ingin tertawa.
Kebiasaan.
Ya Tuhan, Yuna memang lucu. Tingkah polosnya yang tanpa sadar mencuri-curi tawa Kennan.
Berdeham pelan, Kennan menggamit dagu Yuna dengan ibu jari dan telunjuknya. Membawa wajah perempuan itu untuk menengadah. Ditatapnya dua manik Yuna, mengabaikan jika dua bola itu berselaput bening dengan tak sedikit pun menghilangkan raut takut.
“Kenapa susah sekali dibilangin?” Tatapan Kennan semakin menghunus, seolah ingin menembus kedalaman mata lawan bicaranya.
Yuna menggeleng, menyangkal tudingan Kennan. Bibirnya terkatup rapat tanpa ada keberanian untuk mengucap.
Kennan menyeringai tipis. Perlahan ia mendekatkan wajah dan dikecupnya ujung bibir Yuna. Lembut penuh penghayatan. Tidak ada pergerakan, hanya saling menempel. Cukup lama hingga Kennan memutuskan menjauhkan wajah. Dia tersenyum samar melihat wajah Yuna yang merah padam. Yuna sama sekali tidak punya pengalaman. Membuat Kennan senang sekali menggoda dan mendominasi.
Kali ini Kennan menangkup wajah Yuna dengan sebelah tangannya, hendak mencium lagi bibir perempuan itu. Namun urung karena dadanya sudah terdorong menjauh.
“Jangan,” cegah Yuna. Wajahnya memanas, tahu benar apa yang akan Kennan lakukan.
Kennan tidak menghiraukan, dia semakin mendekatkan wajah dan mengecup bibir merah muda di hadapannya. Dia pun mempererat pelukan di pinggang Yuna. Menahan Yuna yang meronta melepaskan diri.
Tidak menyerah, Yuna memukul dada Kennan pelan. Meminta laki-laki itu menghentikan aksinya. Disamping karena dia sudah hampir kehabisan napas juga takut tidak bisa lagi mengendalikan.
“Sudah,” Yuna melirih. “Banyak yang lihat.”
Terkekeh, Kennan mengusap kepala Yuna kemudian menepuk-nepuknya. “Enggak ada yang lihat,” sahut Kennan tidak peduli. Kepolosan Yuna selalu membuat Kennan gemas. Dia suka mencumbu perempuan itu, mendominasinya, dan memperlakukan Yuna dengan cara apa pun yang diinginkan. Tetap lembut tanpa kekerasan.
“Tapi, di sini terbuka,” rintih Yuna. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Kennan itu tidak terbantah dan suka sekali berbuat seenaknya. Dia memang lugu, tapi bukan berarti bisa mengumbar hal intim seperti itu. Tidak ketika dilakukan di dapur karena bisa saja pelayan rumah Kennan akan memergoki.
“Jadi kalau di tempat tertutup boleh?”
Yuna menganga, serta merta mendorong dada Kennan cukup keras. Membuat pelukan laki-laki itu terlepas dan memberi kesempatan baginya untuk kabur. Dia berlari menjauh, berusaha menghindari Kennan yang mengejarnya tak jauh di belakang.
“Yuna. Berhenti!” teriak Kennan. Sedikit lagi dia hampir meraih Yuna, namun lagi-lagi Yuna gesit menghindar.
Sial.
Sikap kekanakan Yuna membuat Kennan kewalahan. Oh, dia malu jika sampai tidak bisa mengejar Yuna. Hanya seorang Yuna, masa iya staminanya dipertaruhkan.
“Tangkap dia!” Kennan kembali berteriak. Menyuruh dua orang pelayan yang entah sedang apa untuk menangkap Yuna yang berlari tidak jauh dari mereka.
Kennan tertawa remeh ketika akhirnya Yuna tertangkap. Dia berjalan ke arah Yuna yang memberontak dan meminta lepas.
Mencengkeram lengan Yuna, Kennan membawa perempuan itu untuk mendekat ke arahnya. Menyuruh dua pelayan yang tadi membantunya, untuk pergi dan menyiapkan makan siang.
“Maaf, tapi saya lelah sekali,” Yuna melirih, menatap Kennan dengan berkaca-kaca.
“Lelah?”
Yuna mengangguk. “Semalam ‘kan sudah. Terus pagi tadi juga,” keluhnya.
Kennan mencubit pipi Yuna gemas. Terkekeh pelan karena jawaban yang didengarnya. Menggelikan. Jauh dari apa yang ada di dalam kepala Kennan “Siapa yang mau bikin anak siang bolong. Duh, itu terlalu mainstream.”
“Jadi tidak?” tanya Yuna polos.
Tidak menyahut, Kennan membawa tubuh Yuna untuk duduk di sofa ruang santai. Kennan tidak habis pikir, apa dia semesum itu sampai Yuna yang polos luar biasa, berpikiran sejauh itu.
Oke. Dia memang mendamba seorang anak. Dan belakangan ini, sedari dia mempersunting Yuna, tak sekalipun dia absen melakukan kewajibannya.
“Jangan lari-lari seperti tadi,” ingat Kennan, mengabaikan pertanyaan Yuna sebelumnya. Tidak penting lah untuk dibahas lebih lanjut. Yang ada nanti dia melanggar ucapannya lagi. Kan bahaya.
Yuna menganggukkan kepala seraya mengukir senyum, dia mengambil remote TV dan menyalakannya. Mencari channel yang menayangkan acara kartun.
Memijit pelipisnya, Kennan menyandarkan kepala di sandaran sofa. Yuna memang masih kanak-kanak, nyatanya bukan memilih siaran gosip atau berita, Yuna lebih memilih menonton film kartun.
“Bisakah dia mengandung anakku?”
Bab 38. Rindu MenggebuPulang dengan wajah penuh lebam dan sisa-sisa tenaga. Kennan tersenyum tipis, mendapati Yuna tengah duduk bersama ibunya di gazebo.Ah, dengan ayahnya juga.Mereka bertiga tampak akrab, terbukti dengan tawa yang terdengar hangat. Membuat Kennan iri setengah mati, karena tidak diberi izin oleh Yuna untuk berdekatan.Tadi, Kennan sempat berpikiran untuk langsung masuk kamar saja dan tidur, membiarkan lebamnya menjadi kebiruan. Namun urung, ketika ide cemerlang menyambangi. Dia bisa mendekati Yuna, memanfaatkan keberadaan ayah dan ibunya. Tidak mungkin ‘kan, Yuna menatapnya dengan tatapan sengit yang akhir-akhir ini selalu menyambutnya.Masih beberapa langkah sebelum mencapai gazebo, Kennan tersentak karena jeritan ibunya.“Ya Tuhan! Kennan!”Kennan meringis. Berdiri rapuh dengan dua tangan Nana merangkum wajahnya. Mungkin sedang meneliti, t
Bab 37.2 Luapan Emosi“Ken.”Kennan tersentak. Mengerjapkan mata dan menatap Wilona bingung. Dia kemudian melirik Jefry yang hanya mengedikkan bahu. Sama tak tahunya.“Kamu sulit sekali ditemui.” Wilona menarik salah satu kursi di dekat Kennan. Tidak menyadari jika seorang laki-laki lain, jelas keberatan.“Memangnya, Kennan itu siapanya kamu, yang harus selalu stay?” Jefry mencibir. Menyuap sesendok penuh makan siangnya dan mengunyah kasar. Tatapan sinisnya ia lemparkan tepat pada perempuan yang mengganggu acara sendu Kennan.Wilona tidak peduli. Dia hanya melirik sesaat pada Jefry sebelum kembali menatap Kennan. Kali ini, jemarinya terulur menggenggam tangan Kennan yang terkulai.“Pernikahanku gagal. Aku dipermainkan. Dan sekarang kamu tampak menjaga jarak denganku. Aku butuh kamu, Ken.&
Bab 37.1 Luapan Emosi“Aku enggak tahu ….”Jefry melongo. Enggak ada angin, enggak ada hujan, Kennan tiba-tiba berucap yang tidak ia mengerti. Dia dan Kennan sedang di kantor. Seperti biasa. Memang apa lagi yang diharapkan. Berjemur di tepi pantai lalu bermain pasir dan ombak bersama beberapa perempuan.Jangan harap.Kennan bukan tipikal seperti itu. Dan meski Jefry begitu ingin berleha-leha, dia juga masih sayang perkerjaannya. Nanti ditendang keluar kantor oleh Kennan, ‘kan enggak lucu.Jefry masih menatap Kennan, lelaki itu tengah melepas kacamata bacanya dengan gerakan luar biasa pelan.“Aku enggak tahu, jika Yuna bisa mendominasi kehidupanku.” Kennan bersuara. Melanjutkan kalimat awalnya yang sengaja menggantung.Jefry tidak terkejut. Yang terjadi pada Kennan, sudah ia perkirakan sejak Kennan memba
Bab 36. PenolakanKennan kehilangan waktu untuk istirahat. Dia pulang ke rumah tengah malam, ketika semua penghuni rumahnya tengah terlelap.Selepas makan siang tadi, Kennan kembali menghadiri rapat bulanan perusahaan. Menghalangi niatannya untuk pulang lebih awal. Dan tidak beruntungnya, rapat itu berlangsung lebih dari dua jam. Dilanjut dengan pertemuan-pertemuan bisnis dengan beberapa klien.Kennan menghela napas, melonggarkan ikatan dasi di lehernya yang terasa mencekik. Dia tidak makan, tidak juga istrirahat. Hal penting itu menjadi sampingan yang tidak Kennan pedulikan.Ah, dia tidak tahu, harus lebih bersyukur atas tumpukan pekerjaannya atau tidak.Melangkahkan kaki memasuki rumah, Kennan disambut dengan keheningan. Tadi, yang membuka gerbang Pak Budi dan sekarang entah ke mana orang itu. Mungkin, menutup garasi.Lampu-lampu di dalam rumah sudah dipadamkan. Menyisakan l
Bab 35. KonspirasiKennan tengah melakukan rapat dengan beberapa petinggi perusahaan. Kembali membahas penggelapan uang yang nahasnya terjadi ketika ia pergi ke Jepang. Dia berhasil memenangkan salah satu proyek di Jepang, dan menyelesaikan masalah pekerjaan di sana. Namun perusahaannya di Indonesia justru kecolongan. Sebenarnya, Kennan sudah mencurigai satu orang yang sejak awal tampak menunjukkan gerak-gerik aneh.Tidak Kennan perkirakan, orang itu bergerak lebih cepat. Pintar mencari kesempatan, padahal Kennan hanya pergi beberapa hari.Menutup rapatnya, Kennan menyuruh semua orang keluar ruangan. Meninggalkan dia dengan kepala pening bukan kepalang. Segalanya harus ia tangani sendiri.Ayahnya sedang dalam kondisi kurang fit, yang memaksa Kennan menggunakan hatinya. Dan meminta ayahnya untuk istirahat dengan cukup di rumah.Ada banyak masalah yang tiba-tiba muncul di permukaan, padahal sej
Bab 34. Sebuah FaktaHari ini adalah hari kepulangan Kennan. Kabar yang membuat dada Yuna membuncah bahagia. Dia teramat merindukan lelaki itu.“Mbak Mini, aku saja yang membereskan kamar Tuan.” Yuna menawarkan, mengerling pada Mini yang sibuk menata makan siang di atas meja.Menurut jadwal, Kennan akan tiba malam hari. Tidak sampai tengah malam juga, mungkin sekitar pukul delapan atau sembilan.Mini tersenyum. “Sudah saya bereskan tadi pagi.”Yuna mencebikkan bibir. “Kok enggak bilang.”Pada dasarnya, Yuna hanya ingin masuk ke kamar Kennan. Demi membunuh rindu yang teramat menyiksa.“Nona bisa kok, kapan saja masuk. Mengobati rindu,” goda Mini dengan senyuman geli yang tampak jelas.Yuna mendelik. Menolehkan kepala ke kanan dan kiri, khawatir jika ada yang mendengar. “Huss ... aku niat beresin. Bukan seperti itu,&rdqu