Kennan Sabdayagra -- Bujangan kaya raya yang memutuskan tidak akan berkomitmen seumur hidup. Semenjak satu-satunya wanita yang dia cintai memilih untuk menerima pinangan laki-laki lain. Namun, dari sekian hal dia begitu ingin memiliki seorang anak kandung, darah dagingnya sendiri. Ayuna Malika -- Gadis polos dengan hati seluas samudra, karena satu dan banyak hal, dia rela merendahkan harga dirinya sebagai wanita. Di mulai sejak di setujuinya kesepakatan hitam di atbas putih yang mengikat hidupnya.
View MoreBab 1. Temu Tanpa Cerita
Kennan menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. Hari baru beranjak siang, namun dia sudah tak lagi punya gairah untuk bekerja. Semangatnya menghilang terbawa angin, terbang bersama debu jalanan melanglang metropolitan. Ayahnya baru saja mendatanginya. Memberi banyak permintaan yang tidak mungkin Kennan berikan dengan mudah.
Salah satunya … memberi cucu.
Kennan berdecih. Cucu dari Hongkong, dia saja tidak mau menikah.
Untuk apa menikah? Kalau hati saja, Kennan tak lagi yakin memiliki. Mungkin sudah mati, mungkin juga terbawa angin seperti semangatnya. Entahlah, dia terlalu malas untuk menjelaskan.
Kalau bisa, dia ingin merelakan. Kalau mampu, dia ingin meninggalkan.
Absurd. Sama seperti dirinya, tidak jauh berbeda. Sebelas dua belas antara waras dan tidak waras.
Dia terkadang tertawa dalam kepedihan. Menangis dalam kebahagiaan.
Tangisnya tidak mengeluarkan air mata, hanya beberapa perabot yang harus rela di jadikan sasaran atau dinding beton yang cukup mampu membuat jari-jari tangannya terluka.
“Kennan.”
Panggilan seseorang membuat Kennan memejamkan mata. Berpura-pura tidur, karena masih enggan bertemu orang itu. Suara pintu terbuka diikuti langkah kaki terdengar berirama mengusik rungu Kennan. Namun dia masih mendiamkannya, membiarkan orang itu semakin dekat ke arahnya.
“Tidur? Ish ish … bos malas sepertimu, mau jadi apa perusahaan ini,” cibir Wilona. Perempuan itu meletakkan tas tangannya di atas meja kerja Kennan. Lalu mengitari meja dan berhenti tepat di sebelah kursi yang sedang Kennan duduki.
Menumpukan berat badannya pada meja di belakangnya, Wilona bersedekap dengan terus menatap sahabatnya tanpa jemu. “Rencana pernikahanku dipercepat,” ucap Wilona, karena yakin Kennan tidak benar-benar tertidur.
Mendengar ucapan Wilona, Kennan menegang di tempatnya. Semakin merapatkan kelopak matanya. Menahan mati-matian untuk tidak segera membukanya demi menutupi satu luka yang baru ia dapatkan.
Dia masih bisa terluka. Hatinya yang dia gadang-gadang telah mati. Nyatanya tak pernah redup dari sosok Wilona. Seiring waktu justru semakin melekat, bagaimanapun Kennan berusaha menghilangkannya. Belasan tahun memendam cinta, menjadi satu alasan bagi Kennan untuk tidak mudah beranjak.
“Ken, kamu tidak senang. Padahal kamu adalah orang pertama yang kuberitahu kabar bahagia ini.”
Orang pertama yang ingin Wilona beritahu.
“Ya Tuhan,” Kennan melirih di dalam hati. Tidakkah perempuan itu sedikit saja menyadari. Kennan tidak pernah menganggap Wilona nomor dua. Perempuan itu selalu jadi yang pertama. Sama-sama pertama, namun dalam arti berbeda. Tentu saja. Memangnya apa yang Kennan harapkan. Wilona memilih laki-laki lain yang otomatis menjadi nomor satu di hati perempuan itu.
“Kamu menyebalkan, Ken. Aku benci.”
Demi seraut wajah merajuk Wilona, dan ucapan paling tidak ingin Kennan dengar, dia akhirnya mengalah. Perlahan dia membuka mata dengan sebelumnya menarik dan mengembuskan napasnya panjang.
“Kapan?” tanya Kennan. Ditatapnya Wilona yang kini tampak mengukir senyuman senang.
“Besok malam pertunangannya. Dua bulan lagi pernikahannya,” jawab Wilona antusias. Tanpa merasa sungkan atau bersalah.
Wilona memang tidak tahu, dan Kennan memahami itu. Wilona tidak benar-benar ingin menyakiti hatinya, meski yang selama ini perempuan itu lakukan adalah menancapkan belati di dadanya.
Memaksakan senyumnya, Kennan kembali berucap, “Oh ya, cepat sekali.”
Masih dengan antusiasme tinggi, Wilona turun dari duduknya di pinggiran meja. Di rengkuhnya bahu Kennan erat. “Iya, aku yang memintanya agar dipercepat.”
Kennan menahan napas. Disentuhnya lengan Wilona yang melingkari lehernya. Dia harus bahagia, meski remuk keadaan hatinya.
“Itu sangat bagus, Wil. Jadi, kamu bisa menambatkan hatimu dan tidak lagi menggangguku.”
Wilona berdecak. Melepaskan pelukannya dan berdiri berkacak pinggang. “Jadi, aku mengganggumu begitu?”
Kennan tertawa sumbang. “Tentu saja, aku ada banyak pekerjaaan hari ini,” ucapnya, sembari menarik tumpukkan dokumen di atas meja dan ia tunjukkan pada Wilona.
Wilona menepuk sebelah bahu Kennan. “Iya, Mr. Sok sibuk. Tahulah. Urusi saja pekerjaanmu, hingga kamu tua dan lupa dengan hidupmu.”
“Kamu yang mengatakan padaku tadi. Kalau aku tidur terus, mau jadi apa perusahaanku.”
“Tapi tidak dengan mengabaikanku,” decih Wilona.
Kennan menaikkan sebelah alisnya. “Aku tidak mengabaikanmu. Tidak pernah.” tekannya jujur. Berasal dari dalam hatinya.
“Kamu pembohong ulung. Sudahlah,” ucap Wilona meraih tasnya.
“Kamu mau pulang?”
Mengabaikan pertanyaan Kennan, Wilona beranjak pergi. Sedikit kesal karena Kennan mengatakan jika dirinya mengganggu. Wilona tahu, Kennan memang sibuk. Tapi selama ini sesibuk apa pun Kennan. Laki-laki itu tidak pernah mengatakan dirinya pengganggu.
“Pastikan kamu datang ke pestaku besok malam,” pesan Wilona. Sebelum benar-benar membuka pintu, ditolehkannya wajah untuk melihat Kennan. “Berdandan yang tampan,” lanjutnya.
Kennan mengembuskan napas, panjang dan berat. Mengurangi sesak yang menghimpit dadanya sejak tadi.
Yang bisa dia lakukan hanyalah seperti itu. Berpura-pura. Menyembunyikan rapat-rapat apa yang ada di dalam dadanya.
Tidak pernah sekalipun ia buka perasaannya. Karena baginya cukup mencintai, tanpa balasan. Meski dia harus menanggung duka.
***
“Yuna, antar pesanan ke meja nomor sembilan.”
Mengangguk mantap, Yuna mengambil pesanan yang diperintahkan. Di meja itu ada dua laki-laki berambut cepak dengan pakaian necis khas kantoran. Senyum Yuna terukir hangat ketika menyela obrolan tamunya. Izin untuk meletakkan pesanan di meja.
“Selamat menikmati.” Senyum Yuna terukir manis. Lewat sudut matanya, dia melirik salah satu laki-laki yang sedang sibuk dengan tab-nya.
Menahan napas, Yuna segera undur diri. Jantungnya berdegup cepat hanya karena laki-laki yang ditatapnya mengalihkan perhatian dari tab dan berbalik memandangnya.
“Ya Tuhan,” Yuna mendesah, merasa tindakannya barusan adalah sebuah kesalahan fatal. Dia baru saja terpesona akan ketampanan seseorang. Terperangkap hanya karena sebuah tatapan mata. Untuk kali pertama, detak jantungnya tak terkendali. Dia yang berusia 21 tahun dan menghabiskan sebagian hidupnya hanya untuk bekerja, tidaklah cukup mumpuni untuk membaca apa yang terjadi.
“Kenapa?”
Tersentak, Yuna mengurut dadanya. Ditolehkannya wajah menatap Nia, salah satu seniornya di restoran. “Kaget, Kak,” desah Yuna. Berusaha sedikit menenangkan degupan jantungnya yang masih memburu.
Nia meringis, “Masa sih?”
Yuna mengangguk malu.
“Sori deh, abisnya mukamu merah banget.”
“Huh,” Yuna mengerjap, ditepuk-tepuknya dua belah pipinya pelan. Memang sih, dia merasa jika wajahnya memanas. Sampai-sampai dia takut jika dirinya demam.
“Kak Nia—” ucapan Yuna terpotong karena seruan seseorang di meja nomor sembilan.
Nia mencolek bahu Yuna sembari mengedikkan dagunya. Meminta Yuna untuk segera kembali ke meja itu.
Baru saja Yuna ingin menolak, Nia sudah lebih dulu pergi. Ada tamu lain yang juga memanggil. Yuna menghela napas berkali-kali. Dia merasa gugup tiba-tiba.
“Apakah ada yang Anda inginkan?” tanya Yuna ramah. Dia menundukkan kepala, menatap rumbai penutup meja. Seolah apa yang di sana lebih indah dari pemandangan laki-laki tampan di hadapannya.
“Aku ingin kamu.”
Melotot, Yuna segera menengadah. Dipandanginya dua laki-laki di depannya secara bergantian dengan raut bertanya.
“Basi.”
“Hei, Ken. Diam saja kamu. Batu,” cibir Jefry.
Yuna bergeming, sebutan nama yang tak sengaja didengarnya perlahan membuat dadanya berdesir. Ken, itulah nama laki-laki tampan yang memiliki raut wajah datar itu.
“Ah, bisa tambah sausnya,” ucap Jefry.
Yuna mengangguk, tak lupa ia tambahi sebuah senyuman. “Mohon ditunggu,” ucapnya, kemudian berlalu pergi. Dia harus profesional. Sekalipun dia begitu ingin sedikit lama untuk memandang.
Sepeninggal Yuna, meja Kennan tampak gaduh dengan tawa Jefry yang membahana. Tidak ada yang sedang melucu, namun laki-laki itu justru tertawa begitu bahagia.
Kennan memutar bola matanya malas. Tidak ingin berkomentar dengan tingkah aneh sahabatnya.
“Kamu lihat mukanya, persis kayak lihat hantu,” seloroh Jefry di tengah tawanya.
“Sudah biasa.” Kennan menyahut tidak peduli. Dia kembali membuka tab-nya, melihat e-mail yang menumpuk, kebanyakan bahasan kerja. Tidak yang lain.
“Kali ini, harus dilihat. Perempuan itu lucu banget. Mukanya antara terpesona sama ketakutan.”
Dan tepat ketika Jefry menyelesaikan ucapannya. Yuna datang dengan pesanan yang Jefry inginkan.
Demi memastikan apa yang Jefry katakan, Kennan mendongak, menatap Yuna yang sedang mengukir senyum hangat. Kennan mengernyit, apa yang Jefry katakan tidak dia temukan. Perempuan di hadapannya justru tampak semringah. Bukan karena terpesona apalagi mencari perhatian.
“Gimana? Iya, kan?” Jefry bertanya memastikan. Setelah Yuna pergi dari mejanya.
Kennan berdecak. “Kalo enggak bisa baca raut muka. Jangan ceriwis lah.”
“Duh, payah,” cibir Jefry sembari menggelengkan kepala.
Mengedikkan bahu, Kennan tidak membalas cibiran Jefry. Dia mengambil sendok dan melahap makan siang menjelang sorenya. Meski tidak begitu berselera, dia tetap berusaha menjejalkan makanan itu ke dalam mulutnya.
Karena mungkin, besok dia akan lebih tidak berselera.
Bab 38. Rindu MenggebuPulang dengan wajah penuh lebam dan sisa-sisa tenaga. Kennan tersenyum tipis, mendapati Yuna tengah duduk bersama ibunya di gazebo.Ah, dengan ayahnya juga.Mereka bertiga tampak akrab, terbukti dengan tawa yang terdengar hangat. Membuat Kennan iri setengah mati, karena tidak diberi izin oleh Yuna untuk berdekatan.Tadi, Kennan sempat berpikiran untuk langsung masuk kamar saja dan tidur, membiarkan lebamnya menjadi kebiruan. Namun urung, ketika ide cemerlang menyambangi. Dia bisa mendekati Yuna, memanfaatkan keberadaan ayah dan ibunya. Tidak mungkin ‘kan, Yuna menatapnya dengan tatapan sengit yang akhir-akhir ini selalu menyambutnya.Masih beberapa langkah sebelum mencapai gazebo, Kennan tersentak karena jeritan ibunya.“Ya Tuhan! Kennan!”Kennan meringis. Berdiri rapuh dengan dua tangan Nana merangkum wajahnya. Mungkin sedang meneliti, t
Bab 37.2 Luapan Emosi“Ken.”Kennan tersentak. Mengerjapkan mata dan menatap Wilona bingung. Dia kemudian melirik Jefry yang hanya mengedikkan bahu. Sama tak tahunya.“Kamu sulit sekali ditemui.” Wilona menarik salah satu kursi di dekat Kennan. Tidak menyadari jika seorang laki-laki lain, jelas keberatan.“Memangnya, Kennan itu siapanya kamu, yang harus selalu stay?” Jefry mencibir. Menyuap sesendok penuh makan siangnya dan mengunyah kasar. Tatapan sinisnya ia lemparkan tepat pada perempuan yang mengganggu acara sendu Kennan.Wilona tidak peduli. Dia hanya melirik sesaat pada Jefry sebelum kembali menatap Kennan. Kali ini, jemarinya terulur menggenggam tangan Kennan yang terkulai.“Pernikahanku gagal. Aku dipermainkan. Dan sekarang kamu tampak menjaga jarak denganku. Aku butuh kamu, Ken.&
Bab 37.1 Luapan Emosi“Aku enggak tahu ….”Jefry melongo. Enggak ada angin, enggak ada hujan, Kennan tiba-tiba berucap yang tidak ia mengerti. Dia dan Kennan sedang di kantor. Seperti biasa. Memang apa lagi yang diharapkan. Berjemur di tepi pantai lalu bermain pasir dan ombak bersama beberapa perempuan.Jangan harap.Kennan bukan tipikal seperti itu. Dan meski Jefry begitu ingin berleha-leha, dia juga masih sayang perkerjaannya. Nanti ditendang keluar kantor oleh Kennan, ‘kan enggak lucu.Jefry masih menatap Kennan, lelaki itu tengah melepas kacamata bacanya dengan gerakan luar biasa pelan.“Aku enggak tahu, jika Yuna bisa mendominasi kehidupanku.” Kennan bersuara. Melanjutkan kalimat awalnya yang sengaja menggantung.Jefry tidak terkejut. Yang terjadi pada Kennan, sudah ia perkirakan sejak Kennan memba
Bab 36. PenolakanKennan kehilangan waktu untuk istirahat. Dia pulang ke rumah tengah malam, ketika semua penghuni rumahnya tengah terlelap.Selepas makan siang tadi, Kennan kembali menghadiri rapat bulanan perusahaan. Menghalangi niatannya untuk pulang lebih awal. Dan tidak beruntungnya, rapat itu berlangsung lebih dari dua jam. Dilanjut dengan pertemuan-pertemuan bisnis dengan beberapa klien.Kennan menghela napas, melonggarkan ikatan dasi di lehernya yang terasa mencekik. Dia tidak makan, tidak juga istrirahat. Hal penting itu menjadi sampingan yang tidak Kennan pedulikan.Ah, dia tidak tahu, harus lebih bersyukur atas tumpukan pekerjaannya atau tidak.Melangkahkan kaki memasuki rumah, Kennan disambut dengan keheningan. Tadi, yang membuka gerbang Pak Budi dan sekarang entah ke mana orang itu. Mungkin, menutup garasi.Lampu-lampu di dalam rumah sudah dipadamkan. Menyisakan l
Bab 35. KonspirasiKennan tengah melakukan rapat dengan beberapa petinggi perusahaan. Kembali membahas penggelapan uang yang nahasnya terjadi ketika ia pergi ke Jepang. Dia berhasil memenangkan salah satu proyek di Jepang, dan menyelesaikan masalah pekerjaan di sana. Namun perusahaannya di Indonesia justru kecolongan. Sebenarnya, Kennan sudah mencurigai satu orang yang sejak awal tampak menunjukkan gerak-gerik aneh.Tidak Kennan perkirakan, orang itu bergerak lebih cepat. Pintar mencari kesempatan, padahal Kennan hanya pergi beberapa hari.Menutup rapatnya, Kennan menyuruh semua orang keluar ruangan. Meninggalkan dia dengan kepala pening bukan kepalang. Segalanya harus ia tangani sendiri.Ayahnya sedang dalam kondisi kurang fit, yang memaksa Kennan menggunakan hatinya. Dan meminta ayahnya untuk istirahat dengan cukup di rumah.Ada banyak masalah yang tiba-tiba muncul di permukaan, padahal sej
Bab 34. Sebuah FaktaHari ini adalah hari kepulangan Kennan. Kabar yang membuat dada Yuna membuncah bahagia. Dia teramat merindukan lelaki itu.“Mbak Mini, aku saja yang membereskan kamar Tuan.” Yuna menawarkan, mengerling pada Mini yang sibuk menata makan siang di atas meja.Menurut jadwal, Kennan akan tiba malam hari. Tidak sampai tengah malam juga, mungkin sekitar pukul delapan atau sembilan.Mini tersenyum. “Sudah saya bereskan tadi pagi.”Yuna mencebikkan bibir. “Kok enggak bilang.”Pada dasarnya, Yuna hanya ingin masuk ke kamar Kennan. Demi membunuh rindu yang teramat menyiksa.“Nona bisa kok, kapan saja masuk. Mengobati rindu,” goda Mini dengan senyuman geli yang tampak jelas.Yuna mendelik. Menolehkan kepala ke kanan dan kiri, khawatir jika ada yang mendengar. “Huss ... aku niat beresin. Bukan seperti itu,&rdqu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments