Bab 6. Jadi Menikah
Sendiri di pelataran, Yuna berdiri canggung di depan sebuah bangunan megah. Meski begitu, tatapannya tetap terkagum akan desain rumah klasik khas mediteranian itu. Tampak tenang dan nyaman untuk disinggahi. Halamannya luas dan asri. Ada banyak bunga-bunga yang mekar, beraneka ragam dengan warna-warna cantik, juga air mancur yang membuat suara gemerisik menenangkan.
Yuna memejamkan mata, awal baru dari kehidupannya sudah dimulai sejak dia pertama kali menginjakkan kakinya di rumah itu.
“Nona.”
Yuna mengerjap, tersenyum samar pada seorang perempuan yang memperkenalkan diri padanya bernama Mini. Juga, satu-satunya perempuan yang menyambut kedatangannya dan setia berdiri satu langkah di belakangnya.
“Silakan masuk,” ucap Mini, tangan kanannya terangkat mempersilakan.
Yuna mengangguk. Hendak menggeret koper berukuran sedangnya namun urung karena ada tangan yang menahannya.
“Saya saja yang membawanya, Nona,” ucap Mini dengan senyuman di wajah yang tak kunjung luntur.
“Tidak perlu, biar saya bawa sendiri,” Yuna menolak kalem. Dia menggeret kopernya, memasuki rumah megah yang kali pertama dia datangi. Sedikit ribet karena kebaya yang di pakainya menjuntai sampai ke lantai.
Melewati ruang tamu, dua matanya disuguhkan dengan banyak hiasan dinding yang tampak indah dan bernilai seni tinggi. Juga langit-langit rumah yang tinggi dan desain yang sangat menarik.
Menaiki tangga, kali ini Yuna merelakan kopernya dibawa orang lain. Dia sudah teramat kerepotan dengan highheels dan juntaian kebaya yang harus dipegangi.
Sampai di depan sebuah pintu besar, Yuna termangu. Matanya tiba-tiba merebak dipenuhi genangan air mata ketika ruangan di balik pintu terbuka. Menampilkan dominasi putih dengan semerbak wangi mawar menguar dari dalam.
“Ini kamar Anda, Nona.” Mini meletakkan koper Yuna di dalam kamar, berjalan ke arah jendela dan menyibak tirainya. Menampilkan pemandangan halaman belakang rumah yang tak kalah asri dari halaman depan.
“Tuan Kennan berpesan, jika Anda tidak menyukai desain kamarnya, kami akan merubahnya,” ucap Mini membalik badan dan berjalan ke arah pintu di mana Yuna masih bergeming.
Yuna mengangguk lemah. Dia melangkah pelan memasuki kamar, ada debaran sesak yang tiba-tiba menyambangi dadanya. Entah kenapa.
“Selamat istirahat, Nona. Jika butuh bantuan, panggil saya saja.”
“Iya,” sahut Yuna singkat. Setelahnya, dia mengatupkan bibir hingga debam pintu tertutup memecah sepi. Perlahan, air matanya merembes, setelah sejak tadi ditahannya agar tidak ada seorang pun yang melihat.
Rasanya menyakitkan, hari ini dia menikah dan resmi menjadi istri seseorang, meski di bawah sebuah embel-embel kawin kontrak. Namun, seremeh apa pun itu. Jauh di dalam hatinya timbul sebuah luka yang sejak dulu selalu rapat disimpannya. Dalam akadnya tadi, tidak ada seorang pun dari saudara ataupun teman yang ikut mengiringinya. Menemaninya.
Menunjukkan betapa di dunia ini hanya tinggal dirinya seorang diri. Andai tidak ada Sita–adiknya, dia hanyalah sebatang kara.
Kennan mempersiapkan segalanya secara matang dari wali hakim sampai saksi.
Pagi-pagi sekali, Yuna dijemput langsung dari kosnya untuk bersiap-siap. Didandani sedemikian rupa hingga wajah upik abu-nya berubah menjadi cinderella dalam sehari. Yuna tidak pernah berpikiran, pada akhirnya hatinya tersakiti luar biasa karena dirinya yang gegabah. Dia hanya sendiri, di hari yang semua perempuan idamkan menjadi salah satu hari terbahagia dalam hidup.
Yuna tergugu, luruh di tepi ranjang. Memeluk kakinya karena sakit tiada terkira. Dia menenggelamkan wajahnya yang dipoles cantik di antara lutut, menyembunyikan air mata yang meleleh memenuhi wajah ayunya.
Memang dia yang memilih jalan itu, namun siapalah dia. Gadis muda yang bahkan belum pernah jatuh hati. Gadis lugu yang hanya memikirkan satu-satunya orang paling dikasihinya. Yuna masih butuh banyak belajar tentang hidup. Butuh arahan yang sejak lima tahun lalu tidak pernah lagi ia dapatkan. Dia ingin dirangkul. Dikuatkan di kala melemah dan ingin menyerah.
Karena sekuatnya Yuna. Dia hanyalah gadis bau kencur yang begitu mudah dikhianati dunia.
***
Sore menjelang, sinar senja menelisik dari balik tirai tipis yang tersibak hembusan angin. Menyinari seluruh kamar dengan nuansa jingga cerah yang menghangatkan.
Yuna melenguh pelan, kelopak matanya mengerjap terbias sinar sore. Menyilaukan. Dia menggusak kepalanya yang terasa sedikit lebih berat. Pening melanda. Namun ada yang aneh. Yuna tidak merasakan kerasnya lantai, justru sebaliknya. Dia merasa sedang tertidur di atas tumpukan bulu angsa yang lembut.
“Kamu sudah bangun?”
Tanpa repot membuka matanya lebih lebar, Yuna hanya menggumam untuk menjawab pertanyaan seseorang yang sayup ia dengar. Dia masih ingin melanjutkan tidur.
“Tidur di lantai dan tidak makan siang.”
Terkesiap. Sontak Yuna membulatkan mata, bangun dari tidurnya dan melupakan bahwa kepalanya masih berputar pelan.
“Tuan,” lirih Yuna. Ditatapnya Kennan yang duduk melipat kaki tepat di sebelahnya. Laki-laki itu sedang sibuk mengutak-atik tab, bersandar pada kepala ranjang.
Yuna gelagapan. Seingatnya dia sedang duduk memeluk kaki di sudut ranjang dan menangis. Buru-buru dia mengusap wajahnya, mencoba menghapus sisa air mata yang pastinya sudah mengering.
“Anda sudah pulang?” tanya Yuna. Dia melihat sekitar, menilik pakaiannya dan detik berikutnya tercengang bukan kepalang. Kebaya pengantinnya sudah berganti dengan piyama tidur berlengan panjang.
“Hm, sejak tiga jam lalu.”
Yuna meringis, malu karena tertidur begitu lelap. Bahkan dia tidak sadar ketika dirinya dipindahkan dari lantai ke atas kasur. Dan entah siapa yang memindahkannya, juga mengganti pakaiannya.
“Saya permisi—”
Menyadari gerakan tubuh Yuna yang hendak turun dari kasur, Kennan buru-buru memotong ucapan perempuan itu. “Jangan kemana-mana, tidur lagi saja. Siapa tahu nanti malam kamu akan begadang sampai pagi.”
Yuna menatap Kennan dengan kening berkerut. “Begadang untuk apa?” tanyanya tidak mengerti.
Kennan berdecak. “Menagih kewajibanmu tentunya.”
Yuna mengerucutkan bibirnya sembari mengangguk-anggukan kepala. Hingga detik berikutnya dia membeliak. “Secepat ini?”
Kennan tertawa kecil, ekspresi terkejut Yuna baginya sungguh menggelikan. Dia meletakkan tab-nya ke atas nakas, lalu beralih pada Yuna yang bergeming di tempatnya. Gadis itu terduduk dengan memeluk selimut.
Menyeringai tipis, Kennan melingkarkan lengannya di bahu Yuna lalu membawa tubuh gadis itu untuk kembali rebah. Tidak peduli jika tindakannya mampu membuat Yuna menahan napas.
“Tuan.”
Kennan diam, dia memejamkan mata dengan lengan memeluk Yuna. Kali pertama bagi dia tidur memeluk seseorang seperti itu. Tidak buruk juga, malahan menyenangkan.
“Saya belum mandi,” lirih Yuna. Terbujur lemah dalam kungkungan Kennan. Jantungnya berdegup cepat, dua matanya bergerak gelisah. Sesekali bulu-bulu halus di lehernya meremang karena tersapu embusan napas Kennan.
Masih dalam mode enggan menjawab. Kennan justru menikmati momennya, mengingat segala tingkah mendadaknya hari ini dan beberapa hari belakangan. Dia masih tidak percaya, dan sangat tidak mengerti dengan arah pikirannya. Dia pada akhirnya menikah dengan seseorang hanya demi mendapatkan anak.
Semuanya berjalan lancar sesuai dengan yang dia harapkan. Meski setelah akad pagi tadi, dia tidak bisa langsung ikut pulang melainkan ke kantor lebih dulu. Menyelesaikan beberapa pekerjaan agar tenang ketika dia tinggal nantinya.
Ketika Kennan pulang ke rumah, dirinya cukup terkejut melihat Yuna yang tertidur di lantai masih dengan kebaya pengantin. Gadis aneh. Bukannya tidur di atas kasur yang spesial Kennan pesankan. Justru memilih karpet lantainya yang tidak nyaman untuk ditiduri.
“Tuan.”
Menggertakkan giginya, Kennan berdesis tidak suka. “Diam.”
Tanpa bantahan lagi, Yuna membungkam bibirnya. Diam dengan rasa canggung luar biasa. Dari sudut matanya, diliriknya Kennan yang menenggelamkan wajah di perpotongan lehernya. Yuna menelan ludah. Kennan terlihat tidak terganggu sama sekali, pun merasa canggung dengan apa yang dilakukan.
Sedangkan Yuna merasa jantungnya seolah sedang berlomba. Saling memburu. Tidakkah Kennan menyadari apa yang sedang dialami gadis dalam kungkungannya itu?
Beberapa tahun belakangan ini, Yuna tidak sedikit pun memikirkan tentang perasaan, tentang laki-laki. Hidupnya berantakan semenjak ayah dan ibunya tiada. Dia harus berjuang sendiri, di tengah-tengah ketidakadilan. Mengais-ais rupiah entah apa pekerjaannya.
Memang usianya masih belasan tahun kala itu, tapi jika dia menyerah, adiknya bagaimana? Sita masih terlalu kecil untuk menghadapi kerasnya hidup.
“Tuan,” lirih Yuna ketika sebuah ketukan di pintu terdengar. Sudah sedari tadi, sepertinya Kennan enggan beranjak pun sekadar menyahut. “Ada yang datang, mungkin penting.”
Kennan menggeram, semakin mengeratkan pelukannya. Dia terlelap dan tampak nyaman memeluk tubuh kecil Yuna. Hangat tubuh Yuna menjalar di tubuhnya. Sudah lama dia tidak pernah tidur siang, ah sore maksudnya.
Yuna semakin tidak nyaman, apalagi ketukan di pintu disusul dengan panggilan seseorang yang tampak mendesak. Menggigit bibir bawahnya, sebelah tangan Yuna terangkat untuk memindahkan lengan Kennan yang setia melingkar perutnya.
Kennan yang merasakan pergerakan, serta merta melepaskan pelukan. Tanpa membuka mata, dia mengganti posisi tidur, menarik selimut dan membungkus tubuhnya.
“Saya buka pintu dulu,” lirih Yuna. Turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu.
Yuna berhenti tepat di depan daun pintu, menyempatkan diri membenarkan letak pakaiannya yang kusut dan merapikan rambut panjangnya yang berantakan.
“Tuan, ada telepon dari Tuan Jefry.”
Yuna mengernyit sesaat. Sebelah tangannya sudah menggenggam kenop pintu dan siap membukanya. Namun ia urungkan saat Kennan berseru.
“Bilang aku sibuk. Nanti telepon balik!” seru Kennan entah pada siapa.
Yuna membalikkan tubuhnya, melihat Kennan yang kini duduk di tepi ranjang. Laki-laki itu tengah mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan sedari tadi. Memutuskan tidak membuka pintu, Yuna berjalan ke arah ranjang. Duduk di sebelah Kennan, dan memberi jarak cukup jauh.
“Enggak jadi?” tanya Kennan, bibirnya mengukir senyum remeh.
Dengan polosnya, Yuna menggeleng. “Untuk apa? Orangnya sudah pergi.”
Memang benar, seseorang yang tadi mengetuk pintu kamarnya lekas pergi setelah Kennan berseru dari dalam.
Kennan mengangguk, perlahan dia melepas kancing kemejanya satu persatu. Dan pergerakan itu tak luput dari tatapan Yuna. Yuna merona, ketika kemeja itu tersingkap dan menampilkan kulit tubuh di baliknya.
“Kamu suka?” tanya Kennan. Tanpa basa basi apa pun, dia menggeser tubuhnya mepet pada Yuna yang juga semakin menjauh.
Melihat Yuna yang semakin menjauh darinya, Kennan mencekal sebelah lengan Yuna. Menahan gadis itu yang sebentar lagi akan terjatuh karena tepat berada di ujung ranjang.
“Hei, hati-hati,” ucap Kennan pelan.
Dalam satu gerakan cepat, dia memindah tubuh Yuna ke pangkuannya. Menatap lekat pada manik yang tampak kebingungan itu.
Mengukir seringai tipis, Kennan mengecup bibir Yuna lembut. Merasakan kebekuan di bibir semerah stroberi itu. Dia mengangkat sebelah tangannya menahan belakang kepala Yuna agar tidak bergerak. Dan semakin menikmati bertemunya dua bibir itu.
Dalam kecupannya, Kennan menyungging senyuman samar karena satu fakta yang dia tangkap. Bagaimana Yuna yang tampak menegang dengan dua mata membelalak terkejut juga beku di bibir tipis itu.
“Kamu belum pernah berciuman?”
Yuna diam. Wajahnya merah padam karena pertanyaan Kennan yang sepenuhnya benar. Selama ini dia selalu menjaga apa yang ada pada dirinya. Tidak membiarkannya untuk disentuh orang lain apalagi laki-laki.
Terkekeh pelan, Kennan kembali mengecup bibir Yuna kilat dan melepasnya lagi.
“Aku akan mengajarimu.”
Dan Kennan kembali membenamkan bibirnya. Kali ini bukan sekadar kecupan semata, lebih dari itu. Seperti yang Kennan bilang, dia akan mengajari Yuna.
Kennan bersorak dalam hati. Merasa tidak salah pilih perempuan untuk mengandung anaknya. Yuna adalah kriteria perempuan yang tepat. Terlihat lembut dan penyayang. Juga penurut dalam satu waktu. Mungkin, pertemuannya dengan Yuna adalah satu takdir yang akan mengukir kisah dalam hidupnya.
Semoga,
Bab 38. Rindu MenggebuPulang dengan wajah penuh lebam dan sisa-sisa tenaga. Kennan tersenyum tipis, mendapati Yuna tengah duduk bersama ibunya di gazebo.Ah, dengan ayahnya juga.Mereka bertiga tampak akrab, terbukti dengan tawa yang terdengar hangat. Membuat Kennan iri setengah mati, karena tidak diberi izin oleh Yuna untuk berdekatan.Tadi, Kennan sempat berpikiran untuk langsung masuk kamar saja dan tidur, membiarkan lebamnya menjadi kebiruan. Namun urung, ketika ide cemerlang menyambangi. Dia bisa mendekati Yuna, memanfaatkan keberadaan ayah dan ibunya. Tidak mungkin ‘kan, Yuna menatapnya dengan tatapan sengit yang akhir-akhir ini selalu menyambutnya.Masih beberapa langkah sebelum mencapai gazebo, Kennan tersentak karena jeritan ibunya.“Ya Tuhan! Kennan!”Kennan meringis. Berdiri rapuh dengan dua tangan Nana merangkum wajahnya. Mungkin sedang meneliti, t
Bab 37.2 Luapan Emosi“Ken.”Kennan tersentak. Mengerjapkan mata dan menatap Wilona bingung. Dia kemudian melirik Jefry yang hanya mengedikkan bahu. Sama tak tahunya.“Kamu sulit sekali ditemui.” Wilona menarik salah satu kursi di dekat Kennan. Tidak menyadari jika seorang laki-laki lain, jelas keberatan.“Memangnya, Kennan itu siapanya kamu, yang harus selalu stay?” Jefry mencibir. Menyuap sesendok penuh makan siangnya dan mengunyah kasar. Tatapan sinisnya ia lemparkan tepat pada perempuan yang mengganggu acara sendu Kennan.Wilona tidak peduli. Dia hanya melirik sesaat pada Jefry sebelum kembali menatap Kennan. Kali ini, jemarinya terulur menggenggam tangan Kennan yang terkulai.“Pernikahanku gagal. Aku dipermainkan. Dan sekarang kamu tampak menjaga jarak denganku. Aku butuh kamu, Ken.&
Bab 37.1 Luapan Emosi“Aku enggak tahu ….”Jefry melongo. Enggak ada angin, enggak ada hujan, Kennan tiba-tiba berucap yang tidak ia mengerti. Dia dan Kennan sedang di kantor. Seperti biasa. Memang apa lagi yang diharapkan. Berjemur di tepi pantai lalu bermain pasir dan ombak bersama beberapa perempuan.Jangan harap.Kennan bukan tipikal seperti itu. Dan meski Jefry begitu ingin berleha-leha, dia juga masih sayang perkerjaannya. Nanti ditendang keluar kantor oleh Kennan, ‘kan enggak lucu.Jefry masih menatap Kennan, lelaki itu tengah melepas kacamata bacanya dengan gerakan luar biasa pelan.“Aku enggak tahu, jika Yuna bisa mendominasi kehidupanku.” Kennan bersuara. Melanjutkan kalimat awalnya yang sengaja menggantung.Jefry tidak terkejut. Yang terjadi pada Kennan, sudah ia perkirakan sejak Kennan memba
Bab 36. PenolakanKennan kehilangan waktu untuk istirahat. Dia pulang ke rumah tengah malam, ketika semua penghuni rumahnya tengah terlelap.Selepas makan siang tadi, Kennan kembali menghadiri rapat bulanan perusahaan. Menghalangi niatannya untuk pulang lebih awal. Dan tidak beruntungnya, rapat itu berlangsung lebih dari dua jam. Dilanjut dengan pertemuan-pertemuan bisnis dengan beberapa klien.Kennan menghela napas, melonggarkan ikatan dasi di lehernya yang terasa mencekik. Dia tidak makan, tidak juga istrirahat. Hal penting itu menjadi sampingan yang tidak Kennan pedulikan.Ah, dia tidak tahu, harus lebih bersyukur atas tumpukan pekerjaannya atau tidak.Melangkahkan kaki memasuki rumah, Kennan disambut dengan keheningan. Tadi, yang membuka gerbang Pak Budi dan sekarang entah ke mana orang itu. Mungkin, menutup garasi.Lampu-lampu di dalam rumah sudah dipadamkan. Menyisakan l
Bab 35. KonspirasiKennan tengah melakukan rapat dengan beberapa petinggi perusahaan. Kembali membahas penggelapan uang yang nahasnya terjadi ketika ia pergi ke Jepang. Dia berhasil memenangkan salah satu proyek di Jepang, dan menyelesaikan masalah pekerjaan di sana. Namun perusahaannya di Indonesia justru kecolongan. Sebenarnya, Kennan sudah mencurigai satu orang yang sejak awal tampak menunjukkan gerak-gerik aneh.Tidak Kennan perkirakan, orang itu bergerak lebih cepat. Pintar mencari kesempatan, padahal Kennan hanya pergi beberapa hari.Menutup rapatnya, Kennan menyuruh semua orang keluar ruangan. Meninggalkan dia dengan kepala pening bukan kepalang. Segalanya harus ia tangani sendiri.Ayahnya sedang dalam kondisi kurang fit, yang memaksa Kennan menggunakan hatinya. Dan meminta ayahnya untuk istirahat dengan cukup di rumah.Ada banyak masalah yang tiba-tiba muncul di permukaan, padahal sej
Bab 34. Sebuah FaktaHari ini adalah hari kepulangan Kennan. Kabar yang membuat dada Yuna membuncah bahagia. Dia teramat merindukan lelaki itu.“Mbak Mini, aku saja yang membereskan kamar Tuan.” Yuna menawarkan, mengerling pada Mini yang sibuk menata makan siang di atas meja.Menurut jadwal, Kennan akan tiba malam hari. Tidak sampai tengah malam juga, mungkin sekitar pukul delapan atau sembilan.Mini tersenyum. “Sudah saya bereskan tadi pagi.”Yuna mencebikkan bibir. “Kok enggak bilang.”Pada dasarnya, Yuna hanya ingin masuk ke kamar Kennan. Demi membunuh rindu yang teramat menyiksa.“Nona bisa kok, kapan saja masuk. Mengobati rindu,” goda Mini dengan senyuman geli yang tampak jelas.Yuna mendelik. Menolehkan kepala ke kanan dan kiri, khawatir jika ada yang mendengar. “Huss ... aku niat beresin. Bukan seperti itu,&rdqu