Bab 94"Ya, Gio. Ada apa?" sahut Regan. Benda pipih itu sudah menempel di telinganya. "Nona Salwa sekarang berada di panti asuhan Kasih Ibu, Tuan," lapor Gio di seberang telepon. "Panti asuhan Kasih Ibu?" Regan berusaha mengingat-ingat. Dulu ia bersama Airin memang pernah mengunjungi sebuah panti asuhan yang terletak di desa terpencil. Hanya saja kunjungan itu sudah lama sekali. Dia tidak ingat lagi dimana letak panti asuhan tempat dulu Salwa pernah tinggal. "Betul, Tuan. Kemungkinan dari saya, tempat itu adalah tempat dimana nona Salwa pernah tinggal. Tetapi itu tidak bisa di buktikan, Tuan. Saya sudah meretas data-data panti sejak dua puluh tahun yang lalu dan nama nona Salwa tidak ada di sana," papar Gio. "Itu tidak penting, Gio. Tapi apakah gadis itu baik-baik saja?" tanya Regan tak sabar. Ingatannya terhadap keberadaan panti asuhan itu mulai terbuka. "Beliau baik-baik saja, Tuan. Sejauh pengamatan anak buah saya, nona Salwa terlihat sangat dekat dengan perempuan tua pengasuh
Bab 95"Beliau hanya sendirian, Tuan.""Hmmm.... Baiklah, kalian ikuti terus dia. Jangan sampai lengah. Kalau ada pergerakan yang membahayakan putriku, langsung saja kalian bertindak," titah Axel."Baik, Tuan."Sambungan telepon di matikan sepihak oleh Axel. Dia bangkit dari tempat tidur setelah menaruh ponselnya dekat bantal.Lelaki itu melepas seluruh pakaiannya, lantas bergegas menuju kamar mandi.Selesai ritual mandi dan berwudhu, Axel kembali berpakaian. Dia mengambil sajadah, lalu menghamparkannya di salah satu pojok ruangan.Sejak menemukan putrinya, Axel memang menjelma menjadi pribadi yang lebih religius. Dia sangat menyesali masa mudanya. Ketidakmampuan menahan gelora hasrat yang justru mengorbankan orang-orang yang di cintainya.Hampir setiap kali seusai shalat, dia selalu mendoakan Winnie dan Airin, juga calon buah hati yang tak sempat di selamatkannya waktu itu. Hanya Salwa yang tersisa, putrinya. Itupun ia harus merelakan di asuh oleh Airin dan Regan.Mengingat sosok lel
Bab 96Regan menyerah. Dia mengikuti langkah ustadz Rasyid menuju tempat wudhu. Lelaki setengah tua itu begitu sabar mengajarkan cara berwudhu dan shalat.Setelah menunaikan shalat magrib, Regan pun meninggalkan musalla itu. Sebenarnya ia masih ingin berbicara lebih banyak dengan ustadz Rasyid, tetapi ia harus meneruskan perjalanannya. Perjalanannya masih jauh. Sembari mengontrol laju mobilnya, Regan melirik arloji. Ah, kemungkinan ia akan sampai di panti asuhan setelah pukul sembilan malam. Tak apalah. Belum terlalu larut malam juga.Mobil yang di kendarainya sudah masuk ke jalan yang berkelok dengan barisan pohon-pohon karet dan sawit di pinggir jalan kanan kirinya. Tujuannya sudah dekat. Dadanya semakin berdebar, apalagi jika mengingat semua percakapannya dengan ustadz Rasyid barusan.Kata-kata ustadz Rasyid memang benar. Pernikahan adalah solusi. Masalahnya, apakah gadis itu bersedia menikah muda? Apakah Axel merestuinya menikahi putrinya secepat ini? Bukan hanya dia, Axel pun j
Bab 97 "Beberapa hari ini aku sadar, Bun, ternyata melupakan daddy Regan adalah hal yang mustahil. Waktu itu aku terlalu egois dan muak dengan kenyataan dua orang lelaki dewasa yang memperebutkanku. Aku bingung, tidak tahu harus tinggal sama siapa dan memihak kepada siapa sehingga memutuskan kemari, Bun." Ingatannya melayang saat ia keluar dari apartemen Axel. Sebenarnya bukan hanya soal perseteruan Regan dan Axel yang membuatnya meradang, tetapi kenyataan bahwa Axel lah pelaku dari aborsi paksa janin yang tumbuh di rahim mommy angkatnya, tujuh belas tahun yang lalu. "Bunda mengerti, Nak, tapi sebelum kita mengetahui kebenarannya, jangan pernah berpikir buruk tentang tuan Regan ya," ujar bunda Khadijah mengingatkan. "Perasaanku tidak enak, Bun." "Bunda juga, Nak. Berdoalah yang terbaik untuk mereka berdua." Salwa terdiam. Dia hanya mengamini ucapan bunda Khadijah dengan cara mengangguk. Sampai saat ini Salwa belum pernah menceritakan masalah Axel dan kenyataan yang ia ketahui le
Bab 98Armand dan Shafira tidak lama berada di tempat itu. Mereka segera pamit dan meninggalkan rumah sakit, menyisakan Jihan yang hanya bisa duduk sendiri, menatap putranya yang terbaring dengan alat-alat bantu di tubuhnya.Ruangan perawatan ini sangat mewah. Elizabeth hospital adalah rumah sakit terbaik di ibukota. Tidak salah jika kemudian Axel memerintahkan anak buahnya untuk membawa Regan ke rumah sakit ini, demi mendapatkan penanganan terbaik."Andai kamu tidak keras kepala menyusul gadis itu, tentu tidak akan begini kejadiannya, Nak. Kamu sudah mencintai gadis itu seperti kamu mencintai Airin dulu," gelengnya lemah. Jihan benar-benar tidak habis pikir akan ulah putranya."Apa yang kamu cari dari dua wanita itu, Nak? Mereka bukan level kita. Dan mereka tak sepantasnya mendapat cintamu yang sebesar ini. Kamu salah sudah mencintai mereka dengan mengorbankan segalanya."Lamunan Jihan terhenti saat ponsel di tangannya bergetar. Nama Chintya tertera dengan manis di layar yang berkeda
Bab 99"Tunggu!" teriak Jihan.Axel menoleh. "Ada apa, Tante?"Jihan tergesa-gesa mengatur langkah, berusaha mensejajarkan diri di samping lelaki itu. Nafasnya ngos-ngosan."Tante ingin bicara denganmu, Axel. Apakah kamu punya waktu?""Silakan, Tante. Bicaralah."Keduanya lantas menepi. Axel membawa Jihan merapat ke dinding rumah sakit, membiarkan punggungnya menghadap lorong yang sepi.Tempat keduanya berada kini adalah lorong VIP. Tak banyak orang yang lewat, kecuali para petugas medis dan beberapa pengunjung."Apakah benar gadis itu adalah putrimu, Axel?" tanya Jihan."Salwa, maksud Tante?""Siapa lagi? Tante mendengar pembicaraan kalian. Regan menyatakan keinginannya untuk menikahi gadis itu. Bagaimana menurutmu?""Salwa memang putriku, Tante. Aku mengakuinya sebagai darah dagingku. Soal permintaan Regan, aku sendiri tidak bisa menjawab....""Bukankah kamu adalah daddynya?" potong Jihan.Axel mengangkat bahu. Dia menatap perempuan tua yang menjadi sahabat mommynya. Sebenarnya ia e
Bab 100"Aku hanya sekedar memejamkan mata, Mom. Aku mendengar semua yang Mom katakan. Kemarilah. Aku butuh bicara dengan Mommy." lelaki itu memberi isyarat kepada sang mommy untuk kembali mendekat."Kamu butuh istirahat. Mom akan ada di sini untuk menjagamu," tukas jihan sembari mengulurkan tangan menggenggam tangan putranya dengan lembut."Aku harus bicara, Mom. Suka atau tidak, Mommy harus tahu kebenaran ini. Aku mencintai Salwa melebihi apapun, sama ketika dulu aku mencintai Airin. Airin dan Salwa ibarat satu kesatuan dan mereka tidak terpisahkan....""Kamu hanya merasa jika Airin hidup di dalam diri Salwa. Itu tidak baik, Nak. Mom pikir cintamu kepada Salwa hanya sekedar pelampiasan. Sebaiknya kamu move on, Nak. Terimalah Chintya. Mommy akan belajar menerima Salwa sebagai cucu mommy. Kalian pasti akan menjadi keluarga yang berbahagia. Salwa akan tetap menjadi putrimu." Entah sudah berapa kali kata-kata itu Jihan ucapkan sebelumnya."Seharusnya Mommy belajar untuk menerima Salwa se
Bab 101 "Armand, kamu bisa nggak mengosongkan jadwal atau setidaknya menunda jadwal pertemuanku dengan Mrs. Maria dari Indo TV lusa nanti?" pinta Regan. "Emangnya kenapa, Tuan? Bukankah pertemuan dengan beliau sudah kita atur seminggu yang lalu? Saya tidak mau mengecewakan beliau," sahut Armand. Dia menoleh sekilas. "Aku tahu, tetapi dalam seminggu ini tidak ada jadwal kosong. Ada hal yang harus aku selesaikan Armand...." Armand terdiam. Lelaki muda nan tampan itu nampak berpikir keras. Dia tahu persis arah pembicaraan tuannya. Apalagi kalau bukan menyangkut nona mudanya yang sekarang entah berada di mana. Sebenarnya Armand merasa kasihan dengan Regan. Dia ingin sekali membantu lelaki itu. Namun dia sudah memilih tidak mau terlibat. Selama ini Jihan selalu menekan, mengingatkan kinerjanya yang bagus di perusahaan, membuatnya cukup percaya diri Regan tidak akan mungkin mengusik posisinya mengingatkan kinerjanya itu. Dia bukan tidak tahu jikalau selama ini Regan bersikap menjaga ja