Share

Dijemput

Setelah makan malam siap, aku memanggil ayah dan Bang Reno yang sedang mengobrol di ruang tengah.

"Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam.

"Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah.

"Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku.

"Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal.

"Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih.

"Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin. 

"Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku.

"Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi," ucap Bunda lagi sambil menyungging senyum.

"Reno jadi penasaran Bun,  kaya gimana orangnya. Bunda aja bisa suka, apa enggak takut Ayah cemburu!" Gantian Bang Reno menggoda Bunda.

Ayah dan Bunda saling bertatapan, kemudian tertawa bersama. Aku memang masih di bawah umur. Untuk itu aku akan menjaga kepercayaan yang sudah Ayah dan Bunda berikan padaku.

***

Jam pelajaran baru saja usai. Setelah memasukan peralatan tulisku ke dalam ransel, aku mengambil ponsel yang sedari tadi aku silent notifikasinya. ada lima panggilan tak terjawab dan lima pesan dari Kak Erlan.

[Dee, nanti pulang aku jemput ya.]

[Dee, balas dong.]

[Dee, aku kangen.]

[Dee, kamu enggak kangen kakak, ya.]

[Kakak sudah di depan sekolahmu.]

Pesan terakhir dikirim lima belas menit yang lalu.

"Ayo, Sha!" ajak Ria. Tanpa membalas pesan Kak Erlan aku kembali memasukkan ponsel ke saku kemeja. Lalu beranjak keluar dari kelas.

"Kak Erlan bilang ada di depan," ucapku berjalan beriringan dengan Ria.

"Kalian mau jalan?" tanya Ria balik.

"Enggak, sih. Kak Erlan cuma bilang mau jemput aku," jawabku.

"Ya sudah, kamu duluan saja. Aku nunggu Fina dan Wulan dulu di sini," ujar Ria karena kalau kedua temanku itu melihat Kak Erlan bakalan heboh mereka seperti beberapa waktu yang lalu.

"Aku duluan, Ri," pamitku meninggalkan Ria di lorong sekolah.

Kak Erlan sudah menunggu di depan gerbang. Beberapa siswa-siswi yang lewat sempat memperhatikan Kak Erlan.

"Kenapa pesan kakak enggak dibalas?" tanyanya saat aku sudah berdiri di depannya.

"Ponsel aku silent. Lagian mana tahu Kakak mau jemput," jawabku.

"Oh, ya. Aku lupa pacaran sama anak sekolah yang tidak diperbolehkan mengaktifkan ponsel di dalam kelas," ujarnya dengan senyum menyebalkan.

"Siapa suruh mau pacaran sama anak sekolah," sungutku kesal.

"Dih, malah ngambek. Bikin gemes kalau lagi kek gini," ucapnya sambil memencet hidungku.

"Aduh sakit!" rintihku sambil meringis. Kak Erlan malah terkekeh.

"Langsung pulang, ya, Kak," ucapku ketika sudah duduk di boncengan.

"Siapp Tuan Putri!" sahutnya kemudian melajukan motornya.

Siang ini Bunda tidak ada di rumah. Aku baru ingat, tadi pagi Bunda bilang akan pergi ke rumah Tante Siska.

"Kok sepi Dee," tanya Erlan begitu kami menginjakkan kaki di teras.

"Bunda lagi pergi Kak," jawabku sembari melepas sepatu.

"Di sini aja enggak apa-apa, kan. Enggak ada orang soalnya," kataku bersiap masuk ke dalam.

"Iya, enggak apa-apa," sahutnya sambil melepaskan jaket yang ia kenakan.

Kemudian aku beranjak ke dalam untuk berganti pakaian dan membuatkan minum untuk Kak Erlan.

"Minumnya Kak," ucapku seraya menaruh segalas orange jus di meja.

"Makasih. Kamu lapar enggak?" tanya Kak Erlan.

"Tadi jam istirahat sudah makan," jawabku kemudian duduk di bangku.

"Aku tanya sekarang kamu lapar enggak. Bukan tanya kamu sudah makan apa belum?"

Aku memutar bola mata mendengar ucapan Erlan.

"Kalau tadi sudah makan, itu artinya aku masih kenyang, enggak lapar!"

"Aku lapar," akunya dengan wajah memelas.

"Bunda enggak masak. Tapi kalau Kakak mau mie instan aku bisa buatkan."

Kak Erlan malah tersenyum entah apa arti senyumnya itu. Tadi pagi Bunda memang tidak sempat masak. Karena sudah janjian dengan Tante Siska.

Kak Erlan mengeluarkan ponselnya kemudian terlihat mengetik sesuatu.

"Bunda nginep?" tanyanya setelah menaruh ponsel di meja.

"Tadi pagi, sih, bilangnya enggak," jawabku.

"Dijemput siapa nanti?"

"Bang Reno. Ayah masih di Bandung soalnya."

Beberapa saat kami saling diam. Sampai sepeda motor ojek online berhenti di depan gerbang. Aku menoleh pada Kak Erlan, ia hanya tersenyum kemudian berjalan ke gerbang menghampiri driver ojek online.

"Temani kakak makan, ya," ucapnya setelah meletakkan kantong kresek di meja. "Tadi pagi aku sudah makan mie instan di rumah. Kalau sekarang makan mie instan lagi bisa keriting ususku," ujarnya lagi.

Aku kembali ke dalam untuk mengambil piring, sendok dan air minum. Kak Erlan memesan dua porsi nasi Padang untuk kamu berdua.

"Memang orang rumah enggak masak, Kak?" tanyaku seraya menyodorkan piring padanya.

"Makasih," ucapnya menerima piring yang aku sodorkan.

Kami makan tanpa saling bicara. Hanya terdengar suara piring dan sendong yang sesekali beradu. 

Selesai makan aku kembali membereskan peralatan bekas makan kami. Sekembali dari dalam aku melihat Kak Erlan sedang menelepon. Wajahnya terlihat masam, entah apa yang ia bicarakan.

"Orang rumah yang telepon."Kak Erlan seperti mengerti kalau aku ingin tahu siapa yang menelepon.

"Oh, Kakak disuruh pulang?" 

Mendengar pertanyaanku Kak Erlan tersenyum miring. "Emangnya aku kakak main bawa piring sampai dicariin!"

Aku menatap sebal padanya, dan itu malah membuat tersenyum lebar.

"Kakak pulang, ya," ucapnya sambil memakai jaket. "Makasih," lanjutnya lagi sambil menatap lekat padaku.

"Makasih buat apa?" tanyaku bingung.

"Sudah mau latihan jadi istri yang baik," jawabnya sambil mengusap lembut pipiku.

Ada yang berdesir di dalam dada. Rasanya seperti mau pingsan diperlakukan seperti ini.

"Ditinggal sendiri beranikan!" 

"Beranilah masa di rumah sendiri enggak berani. Justru aku takut kalau Kakak kelamaan di sini."

"Kenapa memangnya?"

"Takut khilaf!"

Kak Erlan tertawa lepas. Hingga wajahnya memerah. Baru kali ini aku melihatnya seperti ini. 

"Makasih, Dee," ucapnya lagi.

"Kakak apaan, sih, dari tadi makasih terus. Aku 'kan enggak kasih apa-apa."

"Siapa bilang kamu enggak pernah kasih apa-apa. Sejak awal kita kenal, kamu sudah kasih banyak kebahagiaan buat kakak."

Perlahan Kak Erlan mendekat padaku. Tidak ada jarak antara kami, sehingga aku bisa merasakan hembusan napasnya.

Kak Erlan menatap dalam padaku. Ia pun mengunci netra. Manik hitamnya menyimpan banyak luka. Ia mencoba menyembunyikannya dariku, tetapi aku bukannya orang yang bisa dibohongi.

Kak Erlan membelai kepala bagian samping tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya. 

"Terima kasih, sudah hadir dalam hidup kakak. Kasih kakak kesempatan untuk membahagiakanmu. Seperti halnya kamu sudah memberikan kebahagian dalam hidup kakak."

Aku mengangguk pelan. Jujur saja saat ini detak jantung seperti orang yang sedang naik rollercoaster. Berdetak sangat cepat.

Kak Erlan mendekatkan wajahnya. Hampir tidak ada jarak antara wajahku dengannya, aku memejamkan mata beberapa detik. 

Saat kubuka mata wajah Kak Erlan sudah tidak sedekat tadi. Ia malah sedang tersenyum menatapku. Rasa kesal dan malu jadi satu. 

Ingin rasanya aku menghilang saat ini juga, agar tidak terlihat oleh Kak Erlan. Saat ini pasti wajahmu sudah seperti kepiting rebus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status