Share

Bab 5: Terlunta-lunta

Sudah berhari-hari Binar terlunta-lunta di jalanan. Kadang makan, kadang tidak. Tidur sembarangan, tak ada tempat untuk singgah.

Malam ini, mengingatkan Binar pada malam dia bertemu dengan pria berparas kaukasoid yang awalnya dia pikir seorang pahlawan itu. Namun, dengan teganya sang pria beralis tebal tersebut merenggut mahkota yang Binar jaga selama ini. Angin kencang berlalu lalang, menerbangkan daun-daun kering yang ada di jalanan, menemani langkah Binar yang tak tentu arah. Mata bulat itu telah lelah menitikkan air mata. Bibirnya berkedut, meratapi nasib yang sedang menimpanya.

Pandangan Binar mengedar ke sekeliling, memandang ruko-ruko yang berjajar di pinggir jalan juga beberapa kedai. Dia mengusap perutnya yang masih rata. Di balik baju berwarna hijau kumuh itu, terdengar suara bergemuruh lirih. Binar kelaparan. Langkahnya dibawa menuju ke kedai nasi goreng. Air ludah ditelan Binar berkali-kali ketika melihat si koki mengaduk-aduk nasi yang berwarna kuning kecoklatan dengan taburan lauk itu.

"Heh, ngapain kamu berdiri di sana terus? Minggir! Ngalangin orang yang mau beli saja!" Seorang pria yang cekatan mengaduk nasi goreng itu, membentak Binar. Membuat wanita itu terlonjak kaget.

"Maaf, Pak, apa saya bisa minta makan?" Mata bulat Binar penuh harap. Dia sudah sangat kelaparan. Hampir seharian ini, dia belum mengisi perutnya.

"Kamu pikir ini kedai amal apa? Kalau kamu minta gratis, nanti orang lain juga pada minta gratis. Terus, saya bisa dapat modal dari mana?" cerocos pria bertopi hitam itu.

"Nanti saya bantu cuci piring, Pak. Semua piringnya bakal saya cuciin, asal saya bisa makan malam ini." Binar menyatukan telapak tangannya. Memohon belas kasih. "Saya juga bisa membantu masak nasi gorengnya," lanjut Binar.

Kasihan melihat penampilan Binar yang tampak kuyu dengan mata sembab, akhirnya penjual nasi goreng itu memberikan Binar sepiring nasi. Namun, hanya nasi putih dan segelas air mineral.

"Kalau mau nasi goreng sama teh, beli!" ujar bapak tersebut. "Udah untung saya kasi ini."

Binar tersenyum getir sambil menerima makanan yang diberikan dengan setengah hati itu. Tanpa menunggu waktu lama, Binar melahap makanan hambar itu. Sesekali dia menyeka bulir bening yang tak mampu dibendung oleh mata bulatnya. Pikiran Binar kalut selama menyantap makanan itu, apa yang harus dia lakukan terhadap kehidupan di perutnya sekarang? Bagaimana dia merawat janin itu, sementara untuk merawat dirinya sendiri dia tak mampu.

"Buruan cuci sana piring-piring kotornya!" perintah si pria yang tadi memberikan nasi goreng pada Binar.

Binar yang telah selesai makan langsung membawa piring dan gelas kotornya ke dapur. Di sana, dia harus menghela napas berat. "Banyak sekali," desahnya melihat piring dan perabotan dapur lainnya yang menggunung.

Namun, biar bagaimanapun juga Binar mencuci semua perabotan kotor itu sesuai dengan kesepakatan. Dia tetap bersyukur, di langkahnya yang sudah sangat begitu jauh dari rumah dan tanpa membawa sepersen pun uang masih bisa makan untuk malam ini. Ya, malam ini. Entah dengan besok.

Beberapa kali Binar mengusap keringat yang membanjiri kening dan pelipisnya. Lelah? Tentu saja. Tangannya kebas mencuci perabotan yang sedari tadi terus bertambah. Kakinya kesemutan berdiri di depan wastafel sejak tadi. Dia ingin pergi, tetapi piring-piring itu terus berdatangan. Dan dia diperintahkan untuk terus mencucinya. Binar yang malang.

"Sudah sana, menjauh dari kedaiku. Jangan pernah lagi kemari!" Pria pemilik kedai mengusir Binar setelah melihat dia memecahkan piring. "Dasar, wanita sial!" lanjutnya mengumpat.

"Maaf, Pak."

Binar hanya mampu mengeluarkan air mata menghadapi kelakukan kejam dari orang-orang tak berhati itu. Dia melanjutkan langkah, pergi entah ke mana.

Di depan teras sebuah ruko, Binar meringkuk memeluk diri sendiri di atas bentangan kardus usang. Menenggelamkan wajah di antara kedua lutut, menangis meratapi takdir yang menimpanya.

"Bapak, maafin Binar, Pak. Maafin Binar yang sudah membuat Bapak dan Ibu kecewa, maafkan Binar ...." Suara wanita berparas ayu itu sangat parau, mewakili kesakitan di lubuk hatinya.

Lelah menangis, dia tertidur dengan sesenggukan sambil memeluk lengannya yang polos. Gerimis mulai turun, yang sesekali airnya membelai wajah Binar sebab tepisan dari sang angin. Binar mengigil.

*

*

Langit yang gelap serta udara yang dingin kini telah berganti cerah dengan ditemani hangatnya sang mentari. Menyinari tubuh yang masih meringkuk itu. Sesekali Binar menyebut-nyebut nama ayah dan ibunya. Berharap mereka akan datang membawanya pulang.

Seorang pemilik ruko datang dengan tampang angkuh, dia melotot tajam pada Binar yang dianggapnya gelandangan.

"Bangun!" Sebuah air seember langsung diguyurkannya pada Binar. "Pergi dari sini! Jangan rusak pemandangan tokoku!"

Binar tersentak kaget dengan kepala yang kesakitan, dia menatap nanar pada pemilik ruko sambil mengusap wajahnya yang basah kuyup. Detik berikutnya, dia mulai mengangkat tubuh, pergi dari ruko tersebut.

Panas matahari kian terik, Binar bingung hendak melangkah ke mana, hendak mencari tempat tinggal ke mana. Dia terlunta-lunta.

"Maling, maling! Tolong, orang itu maling tas saya!"

Seorang wanita ber-dress maroon berteriak sambil mengejar seorang pria yang memegang sebuah tas dengan warna yang sama dengan dress wanita tersebut. Beberapa orang di sekitar yang mendengar teriakkan wanita itu, langsung ikutan membantu mengejar malingnya.

Kebetulan, langkah pencopet itu menuju ke arah Binar. Dengan sigap Binar menahan tas yang sedang dipegang oleh si maling. Saling baku tarik beberapa saat, sebelum sang copet mendorong tubuh lemah Binar hingga menabrak trotoar. Sikunya lecet parah. Na'as bagi si pencopet, selesai mendorong Binar, dia tak punya waktu lagi untuk kabur. Warga sudah berhasil mencengkramnya, lalu menghajar si pencopet. Lantas membawanya ke pihak yang berwajib.

"Terima kasih bapak-bapak," ucap wanita feminim itu. Lantas dia bersimpuh, memerhatikan Binar yang meringis kesakitan. "Astaga, lenganmu! Kau butuh perawatan," ujar wanita yang bernama Syeira tersebut.

Binar menampakkan senyum getir memandang wanita cantik berwajah sejuk di hadapannya. Ternyata, masih ada orang baik yang rela mendekatinya, walaupun penampilan Binar sekarang yang basah tak lebihnya bagai tikus got.

"Aku tidak apa-apa," ungkapnya sungkan. Takut mengotori dress mewah Syeira.

"Ayo, kamu harus ikut aku. Kita harus obati luka-lukamu."

Baru saja Syeira membantu memapah tubuh Binar yang tampak lemah, tubuh itu luruh dari genggaman Syeira. Binar pingsan sebab tak mampu menahan rasa sakit di tubuhnya. Selain menahan rasa sakit akibat lengannya yang lecet, tubuh Binar sedang drop parah. Dia kedinginan semalaman, hingga membuat dia diserang demam, dia juga kelaparan. Ditambah lagi dia sedang mengandung.

"Astaga, tolong! Tolong bantu saya angkat wanita ini ke mobil saya," pinta Syeira panik.

Dia membawa Binar ke rumah sakit.

*

*

Sudah hampir seharian Syeira menemani Binar yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan selang infus di punggung tangan Binar. Wanita itu tidak memiliki apa pun selain kain yang membungkus tubuhnya. Tidak ada ponsel atau KTP yang bisa membuat Syeira menghubungi keluarga wanita yang telah menyelamatkan tasnya dari copet tersebut.

"Pasien kurang sehat, kandungannya lemah. Dia kekurangan nutrisi. Tolong dipastikan ibu dari si bayi memakan makanan yang bergizi agar janinnya kuat." Ucapan dokter yang memeriksa Binar terngiang-ngiang di pikiran Syeira.

"Kasihan, keadaan wanita itu pasti membuat janin yang dikandungnya juga tersiksa," gumam Syeira. Dia ingin pulang, tetapi tak tega harus meninggalkan wanita yang terbaring lemah itu sendirian.

Drrrt!

Ponsel Syeira berdering, dia mengalihkan pandangan pada benda pipih itu. Dia segera menjawab panggilan dari pria yang sangat dicintainya itu, yang beberapa hari ini komunikasi mereka sedikit menjauh, sebab gejala aneh yang menimpa suaminya seminggu belakangan ini.

"Sayang, kamu lagi di mana? Aku sejak tadi datang, tapi kamu tak ada di rumah." Aiman langsung saja mengomel.

"Masih ingat pulang kamu?" Syeira menyindir, sebab belakangan ini Aiman sering tidur di kantor.

"Kan sudah aku bilang, aku sibuk." Suara itu terdengar lemah.

Syeira mengembuskan napas panjang. "Maaf, sebab aku nggak ada di rumah. Tadi siang saat belanja, aku dicopet. Dan seseorang yang menolongku, sekarang sedang dalam perawatan. Aku sedang menemaninya di rumah sakit, setidaknya sampai dia siuman."

"Ok, kamu tunggu di sana. Aku akan menjemputmu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status