Binar tak pernah menyangka, pria yang menolongnya di malam penuh badai itu, malah memangsanya sendiri! "Aku pikir, dia seorang pahlawan yang menyelamatkanku dari beberapa preman pemangsa. Tapi ... siapa sangka, dia malah menjadikanku korban mangsanya sendiri! Sampai aku mengandung benih dari pria asing bertampang kaukasoid itu." Malam kelam itu, membawa Binar pada persimpangan hidup, antara harus meminta pertanggungjawaban pada pria yang telah merenggut mahkotanya atau malah membiarkannya. Sebab dia merasa berhutang budi pada istri dari pria tersebut yang begitu baik, sudah menolongnya dari terlunta-lunta di jalanan. Akibat diusir oleh keluarganya karena hamil di luar nikah. Mohon dukungannya. Jangan lupa follow dan like🙏🏻💛
View MorePagi harinya dengan semangat yang menggebu, Affandi terjun dari ranjangnya dan melesat ke kamar mandi. Segera dia membersihkan diri dan berdandan semacho mungkin. Padahal apa, dia hanya ingin menemui Binar pagi hari ini. Hubungan mereka yang telah disetujui oleh keluarga semalam, membuat senyuman Affandi mengembang lebar dengan wajah berseri-seri. Padahal pria itu kurang tidur semalam, sebab terjaga dengan hati yang gembira mengingat sebentar lagi dirinya dan si Nona kesayangannya itu akan menikah. "Pagi, Nona." Affandi mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Binar yang sedang sibuk memakaikan baju pada Baby Abimanyu, hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada putranya. Segera Affandi mendekat, membantu Binar. "Pegang punggungnya dengan baik, Dokter!" peringat Binar saat melihat Affandi menggendong Abimanyu, agar lebih leluasa Binar mengenakan pakaian untuk bayi menggemaskan itu. Abimanyu menangis di gendongan Affandi, makin kencang
Kepergian petugas medis itu dari ruang meja makan meninggalkan perasaan yang kacau pada hati Binar. Namun sebisa mungkin, dia ingin melenyapkan perasaan bodoh itu. Binar mengepalkan tangan erat, sembari menahan gejolak di pikirannya. Ada Syeira di sini, dan perkataan Tuan Adipati pasti didengar juga olehnya. Kata Aiman, dia sudah membereskan Syeira. Apa maksudnya? "Jadi, kamu sudah siap jadi menantu di rumah ini?" Ambar menimpali, memastikan jawaban Binar. Wanita yang tengah menunduk itu mengigit bibirnya sendiri, sesekali dia melirik kosong pada dinding yang melenyapkan punggung Affandi tadi. Ambar mengikuti arah pandang Binar. "Nyari apa?""Ah, tidak ada, Bu." Binar gelagapan. "Nyari Affandi?" tebak wanita tua itu. Binar melongo sesaat, lalu menggeleng cepat. "Jadi, sudah siap menantu di rumah ini?" Ambar mengulang pertanyaannya. Sekarang, pandangan Binar lari ke Syeira yang sedang sibuk meneguk ko
Pagi harinya Binar sudah diasyikan dengan memandikan Abimanyu. Gelembung-gelembung lembut membalut tubuh mungil putranya menciptakan licin di tangan Binar. Dengan segala kehati-hatian Binar memandikan bayinya itu. Terlebih, ada Ambar di ambang pintu kamar mandi yang mengawasi. Ya, setelah dimintai baik-baik dan diberikan pengertian oleh Aiman kemarin tentang kekesalan Binar yang ingin merawat bayinya juga, Ambar kini memberikan Abimanyu untuk dirawat oleh Binar. Tentu harus dalam pengawasannya, sebab Binar baru menjadi seorang ibu. Masih awam untuk hal-hal yang bersangkutan dengan bayi. "Hati-hati bungkus kepalanya, Binar!" peringat Ambar dengan tatapan waspada. Binar mengangguk, lalu membalut tubuh bayinya dengan handuk. Melilitnya dengan baik sesuai apa yang diajarkan wanita senja itu. "Cayang, kenapa? Dingin, ya?" Binar menggendong sang putra yang menangis usai dimandikan. Wajah, rambut, dan baju wanita itu juga tampak basah. Memang masih belum
Aiman dan Binar kini duduk berhadapan di sebuah cafe dengan ditemani secangkir cappucino. Keduanya menjatuhkan pandangan pada cairan cokelat itu. Sudah hampir sepuluh menit, tetapi belum ada yang membuka suara di antara keduanya. Mereka sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. "Bagaimana keadaanmu?" Akhirnya, Syeira membuka obrolan. Aiman hanya mengangguk pelan, menjawab. "Selamat, ya." Senyum lebar ditampakkannya. "Aku dengar-dengar, putramu sudah lahir."Aiman menangkap jelas raut yang dipaksakan di dalam senyuman itu. Dia tahu, Syeira sesak saat mengucapkan hal tersebut. "Maaf atas segala kebohonganku kemarin." Syeira menunduk sambil mengepalkan tangan erat. "Aku memang sudah salah karena membohongimu dengan pura-pura hamil. Tapi, aku nggak pernah menyesal dengan hal itu. Bukankah kita harus melakukan segala cara demi orang yang kita cintai?" Tatapan Syeira mulai berkaca-kaca. Kini giliran Aiman yang mengepalkan tangan era
Hari-harinya Binar habiskan di kamar dengan ditemani beberapa perawat yang memperlakukan dia seperti bayi. Mengantar Binar ke sana kemari, mendandaninya, membantu makan, dan memastikan Binar memakan obatnya tepat waktu. "Sudah cukup, aku bisa sendiri!" keluh Binar menepis pakaian yang hendak dikenakan padanya. "Aku sudah sehat!" "Tapi ... ini sudah tugas kami, Nyonya. Kami akan dapat marah jika tidak melakukan tugas kami dengan baik." Sang perawat menunduk, merasa takut-takut. Binar mengembuskan napas kasar. Sebenarnya dia bukan kesal pada beberapa perawat itu. Dia kesal pada hidupnya sendiri. Ini sudah seminggu semenjak pulang dari rumah sakit itu, tetapi dia tak sekali pun bermesraan dengan sang putra sepuasnya. Aiman hanya membawa putra mereka sebentar di kamar Binar, lalu Ambar akan mengambil kembali anak tersebut untuk dibawa pergi. Entah difoto, didandani, diajak bicara, atau diajak keluar. Ambar yang berkuasa atas bayinya. Sementar
Suara tangisan bayi terdengar begitu kencang di pagi hari. Suaranya begitu bising, melengking hingga menusuk ke indra pendengaran wanita itu. Dia ingin bangkit, memeluk dan mendiamkan bayi yang sedang menangis itu. Perlahan-lahan, jemari Binar bergerak-gerak. Lalu disusul oleh kelopak matanya yang bergerak. "Syukurlah, kau sudah sadar. Hey, bangunlah ...." Sebuah suara bariton memenuhi pendengaran Binar. Kelopak matanya yang agak berat, perlahan-lahan dia buka. Samar-samar seorang pria dengan kemeja putih menanti Binar agar siuman. Selarik simpul yang lebar tercipta di bibir pria itu. Sangat bahagia melihat wanita yang telah tak sadarkan selama beberapa hari ini akhirnya sadar juga. "Bang Aiman ...," ucap Binar lirih setelah pandangannya mulai jernih. Aiman duduk di sampingnya dengan wajah penuh kebahagiaan. "Put-putraku mana?" Binar hendak bangkit, tetapi Aiman segera menahannya. "Kamu tenang saja, dia selamat. Kalian berdua selamat." Ai
Mendengar suara abangnya, Affandi lantas berbalik memunggungi sumber suara, lalu menganyunkan kaki menjauh, setengah berlari. "Aku masih sibuk!" ucap Affandi di tengah lorong sana, tanpa berbalik badan, tanpa pertanyaan apa pun dari Aiman. Hal tersebut membuat alis tebal Aiman hampir menyatu, terlebih mendengar suara sang adik yang sedikit aneh. "Dia kenapa?" "Ada apa, Aiman?" Ambar bertanya di balik punggung sang putra. "Itu tadi Affandi, dia seperti terdengar ... menangis?" Aiman bahkan tak percaya dengan apa yang diucapkannya. Masa iya sang adik itu menangis? Kalaupun iya, tapi kenapa? Apa yang membuat dia menangis? **Wanita tua dengan tampilan sederhana, ditemani oleh putri bungsunya, perlahan mengayunkan kaki masuk ke ruang rawat Binar. Wanita tua itu langsung berderai air mata, melihat sang putri sulung yang masih terbaring lemah dengan banyaknya selang-selang rumah sakit yang melilit di tubuh mungil itu.
Bunyi elektrokardiogram memenuhi ruang rawat VVIP yang ditempati wanita berparas ayu, yang kini tubuhnya dililiti banyak kabel dan selang infus rumah sakit itu. Setelah dinyatakan selamat melawan maut, Binar harus dirawat intensif. Bahkan, wanita itu belum juga siuman setelah tak sadarkan diri di ruang operasi tadi. Tapi setidaknya, ada harapan baru untuk Binar tetap hidup. Demi anaknya, Binar berhasil melawan maut. Dia mendapat mukjizat yang tak disangka-sangka. Jelas hal tersebut mengundang keharuan bagi orang-orang di sekitarnya tadi. Bahkan Aiman dan Affandi saling berpelukan haru, melupakan persaingan dingin di antara mereka. "Oalah, ini bagaimana kondisinya, Nak Binar?" Mbah Mai datang dengan tergopoh di kamar rawat Binar, dia ditelepon oleh Affandi. "Kondisinya masih serius, Mbah. Dia masih sangat lemah. Tapi do'ain saja, semoga lekas membaik dan sehat seperti sedia kala." Affandi menyahut, tanpa melepaskan tatapan dari wanita yang terbaring di ranjan
"Allah Akbar ...."Pria berkemeja hitam dengan wajah yang tampak basah itu, melaksanakan gerakan salat dengan khusyuk, walaupun kakinya masih sakit jika ditekan saat duduk dan hendak berdiri. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aiman kembali datang mendekat pada Yang Maha Kuasa. Bahkan pria itu telah lupa, kapan terakhir kalinya dia meminta pada Tuhan. Kehidupan yang mewah dan merasa mempunyai segalanya, membuat Aiman melupakan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Segalanya. Aiman menengadahkan tangan, merayu, meminta, dan memohon pada yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan nyawa Binar juga bayi yang dikandungnya. Jikalau bisa. Sudah berjam-jam pintu ruang operasi ditutup dan menyembunyikan kondisi terkini sang wanita hamil itu, Aiman tak tahu sampai sekarang bagaimana kondisi Binar, bagaimana kondisi jagoan kecilnya. Apakah mereka selamat, apakah ada salah satu dari mereka ..., ah, bahkan Aiman tak mampu untuk sekadar membayangkan kehilangan salah satunya. Walaupun dia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.