Share

Bab 4: Wanita Hina

Plak!

"Dasar anak tidak tau malu! Kenapa kamu sampai melakukan hal sehina ini?!"

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Binar. Membuat wanita berparas ayu itu tersungkur ke lantai. Bibir ranumnya mengeluarkan darah di bagian sudut. Binar hanya menunduk malu, menerima amarah dari orang tua yang dicintainya. Sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya beberapa bulan yang lalu.

Pagi tadi, Binar yang sedang membantu sang ibu membuat sarapan, tiba-tiba kepalanya berputar dan terasa berat. Dia langsung kehilangan keseimbangan, pingsan. Warsih yang kembali dari kios, merasa panik melihat Binar yang telah tergeletak di lantai dapur. Dia segera meminta tolong pada tetangga, membawa putri sulungnya itu ke puskesmas, takut sampai putrinya terkena penyakit berbahaya. Pasalnya, sang putri sedari kecil tidak pernah pingsan walau bekerja seharian di bawah terik pekik matahari.

"Selamat yah, sebentar lagi Ibu akan menjadi seorang nenek. Usia kandungan putri Ibu sudah dua bulan lebih." Ucapan perawat wanita itu bagai belati yang menghunus jantung Warsih. Napasnya sesak, membayangkan sang putri telah berbuat zina.

Binar yang telah sadar dari pingsan, hanya menunduk sambil meremas jemari tangannya. Dia bahkan tak berani sekadar menatap sang ibu. Warsih langsung meninggalkan puskesmas dengan wajah kelam, air mata wanita tua itu merembes tak berhenti.

"Ibu, tunggu!" Binar mengejar ibunya.

Sesampainya di rumah, Warsih langsung memuntahkan semua emosi yang dipendamnya selama di puskesmas tadi. Dia tidak ingin membuat keributan di sana.

"Bilang, siapa ayah dari bayi yang kamu kandung itu? Siapa? Jawab, Binar?!" Warsih lagi-lagi menampar putri sulungnya. Binar yang sangat dia percayai, Binar yang selalu dia banggakan. Tetapi putrinya itu kini malah melempar kotoran di wajahnya. Dia tidak pernah menyangka, jika kecurigaannya beberapa hari ini ternyata benar.

Adiknya Binar yang bernama Ningsih sontak keluar kamar kala mendengar kegaduhan di ruang tamu. Bukan Ningsih saja, para tetangga di gang itu juga langsung menguping kegaduhan yang sedang terjadi di rumah sederhana Santo---ayah Binar.

"Bi-Binar nggak tau, Bu." Tergugu, Binar berucap. Dia makin menunduk dalam. Merasa sangat malu.

Warsih mencengkeram kedua bahu putrinya, memaksa Binar agar menatap matanya. “Apa kamu diperkosa?" Mata tua itu telah memerah.

Binar kembali menunduk dalam, tak punya keberanian untuk menatap mata ibunya, mata penuh kesakitan, dan hal itu terjadi karena dirinya.

"Ma-maafin, Binar, Bu. Binar minta maaf. Binar minta maaf sudah buat Ibu malu." Wanita berparas ayu itu langsung bersujud di kaki sang ibu. Memeluk kedua kaki di hadapannya.

"Lihat 'kan, Bu, selama ini Ibu selalu bangga-banggain Kak Binar begini, Kak Binar begitu. Menuntut aku harus bersikap seperti dia, bercermin dari sifatnya dia, harus sopanlah, harus inilah, harus itulah, pokoknya selalu Kak Binar yang benar dan aku selalu salah di mata Ibu. Sekarang, Ibu lihat sendiri 'kan, putri yang selalu Ibu bangga-banggakan itu? Dia telah melempar kotoran ke muka Ibu!"

Ningsih yang sedari tadi berdiri di ambang antara pembatas ruang tamu dan tengah, sesekali menampilkan senyum sinis.

Selama ini, dia begitu muak dengan omongan sang ibu yang selalu menyanjung-nyanjung kakaknya itu. Ningsih yang suka membangkang, sering diajarkan oleh Warsih untuk mengikuti sikap sang kakak agar patuh sedikit. Ningsih yang suka berpakaian terbuka dan mini, sering diingatkan Warsih untuk memakai pakaian yang lebih sopan seperti Binar. Dan masih banyak lagi sikap-sikap Binar yang patut dijadikan contoh oleh adiknya itu. Namun, Ningsih yang memang memiliki sifat pembangkang, menganggap hal tersebut sebagai kekangan dan mulai membenci kakaknya itu.

"Yang wajahnya polos, belum tentu kelakuannya juga begitu. Siapa sangka kalau Kak Binar itu ternyata binal."

"Diam kamu, Ningsih!" bentak Warsih.

"Lho, apa yang salah dengan perkataanku, Bu? Emang benar 'kan, kalau Kak Binar itu binal, kalau nggak, bagaimana mungkin dia hamil di luar nikah?"

"Apa?"

Semua pasang mata wanita itu sontak mengalihkan pandangan ke arah pintu utama. Di sana berdiri seorang pria ringkih yang terkadang sering sakit-sakitan. Santo. Pria tua itu baru saja pulang dari kerja serabutan.

"Apa katamu tadi, Ningsih?" Ayah dari kedua putri di rumah itu meminta penjelasan.

Sedari halaman rumah tadi, Santo sudah merasa aneh dengan beberapa tetangga yang seolah sedang berusaha mendengarkan sesuatu dari dalam rumahnya.

"Emm, Kak Binar hamil, Pak." To the point, Ningsih membeberkan hal itu.

"A-apa …?" Syok mendalam dirasakan oleh pria berumur senja itu. Dia menatap Binar yang sedang menunduk dalam sambil berderai air mata itu.

Langkah kakinya mendekat ke arah sang putri yang sangat dipercaya dan disayangnya tersebut. Digenggamannya kedua lengan sang putri dengan tangan bergetar.

"Jawab Bapak, yang dikatakan adekmu tidak benar 'kan?" Mata tua itu penuh harapan apa yang didengarnya hanyalah omong kosong, sekadar candaan keterlaluan di hari ini. "Jawab, Binar! Bapak pasti percaya sama kamu."

Binar makin menduduk dalam, dia terisak-isak sampai bahunya terguncang. "Ma-ma-fin, Binar ..., Pak." Hanya itu yang mampu diucapkan Binar.

Tungkai Santo melemas, dia merasakan sesak pada pernapasan, sedang jantungnya serasa dipukul keras.

"Arg!" Santo mencengkeram dadanya, sakit dan sesak di waktu yang bersamaan.

"Bapak!" Binar panik menahan tubuh ayahnya. "Bapak kenapa?"

"Pak, Bapak!"

"Ini semua gara-gara kamu, Kak Binar!"

Semua orang di dalam ruangan itu menjadi cemas. Beberapa tetangga yang mendengar kepanikan keluarga Santo, berdatangan. Ingin melihat apa yang terjadi.

"Innalillahi wainnailaihi raji'un." Kalimat yang diucapkan oleh salah satu tetangga depan rumah, membuat Binar menjadi anak paling berdosa di dunia.

"Bapaaaak!" tangis Binar menghambur di tubuh tanpa jiwa itu. Sementara Warsih dan Ningsih masih syok dengan apa yang terjadi. Semua begitu tiba-tiba.

"Pergi! Gara-gara kamu, Bapak meninggal!" Ningsih langsung menarik lengan kakaknya dengan kasar.

"Tidak! Aku mau menemani Bapak ...."

"Halah, Bapak meninggal gara-gara kamu! Kalau saja kamu nggak hamil di luar nikah, pasti Bapak nggak akan stop jantung dan meninggal seperti ini!" Ningsih mendorong tubuh lemah Binar keluar rumah. Warsih hanya diam melihat itu, dia masih syok dengan kepergian tiba-tiba suaminya.

"Apa? Binar hamil di luar nikah?"

"Wah, nggak nyangka, padahal kelihatannya anaknya polos banget yah."

"Jaman sekarang jangan cuman nilai kulitnya doank, Bu."

Para ibu-ibu di gang itu langsung berbisik-bisik. Pedis, begitu menusuk telinga Binar hingga ke ulu hati.

"Tolong, izinkan aku menemani Bapak sampai ke peristirahatannya yang terakhir." Binar hendak masuk lagi. Namun, segera ditahan oleh Ningsih.

"Nggak! Jangan sentuh jasad Bapak dengan tangan kotormu itu!" sentak Ningsih kasar. "Mending sekarang kamu pergi jauh dari daerah ini. Jangan sampai kelakukanmu itu menjadi contoh yang tidak baik untuk anak-anak di sini!"

"Benar, apalagi Binar termasuk sangat dekat sekali dengan anak-anak di sini. Aku takut kelakuan Binar ini sampai dicontoh anak-anakku." Orang tua di sana sependapat.

"Ya, benar. Pergi kamu dari sini!"

"Pergi!"

"Jangan tunjukkan lagi wajahmu, dasar wanita hina!"

"Pergi cepat!"

Binar menutup telinganya rapat-ratap. Dia menggeleng keras, sebab tak tahu harus ke mana.

“Pergi, atau kami rajam kamu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status