Share

Bab 6: Malaikat Penolong

"Ha-haus ...."

"Mas Aiman nggak perlu menjemputku. Aku akan segera pulang. Ah, sudah dulu yah, Mas."

Begitu mendengar suara lirih dari Binar yang meminta air minum, Syeira langsung menghentikan panggilan dengan suaminya. Membuat Aiman di ujung sambungan telepon sana, berdecak. Mau menjemput istrinya, namun tidak tahu istrinya berada di rumah sakit mana.

Syeira segera mendekat pada Binar yang memakai baju biru rumah sakit. Wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit itu, tampak lemah dengan sorot mata kuyu dan bibir kering.

"Kamu mau minum?" tanya Syeira lembut.

Binar hanya mengangguk lemah menatap wajah sejuk di hadapannya. Dalam hati dia sangat bersyukur dipertemukan malaikat penolong seperti wanita di hadapannya itu.

Syeira menaikan posisi ranjang Binar di bagian kepala, lantas membantu wanita itu untuk minum. Binar pun langsung menerima bantuan tersebut dengan lelehan air mata, merasa terharu. Berkat bantuan Syeira, tenggorokannya yang telah kering bagai di padang pasir, kini disirami air yang sejuk.

"Terima kasih," ucap Binar seraya menyeka bulir air matanya.

"Kamu kenapa nangis? Apa ada yang sakit? Apa perlu aku panggil dokter?" Syeira memberondong Binar dengan pertanyaan. "Apa lenganmu masih sakit?" tebak Syeira sambil menatap lengan Binar yang dibalut perban.

Binar menggeleng pelan, lalu kembali menangis, makin kencang. "Terima kasih," ucapnya tanpa henti.

Syeira yang iba melihat Binar yang sesenggukan, memilih memeluk wanita itu. "Oke, oke, udah. Kamu nggak perlu nangis." Begitu lembut dan sejuk ucapan Syeira, seakan mampu membendung semua masalah Binar yang selama ini menimpanya.

"Kata dokter, kamu sedang hamil. Dan kekurangan nutrisi," ucap Syeira setelah mereka saling diam beberapa saat. Syeira duduk di bangku samping ranjang Binar sambil mengupaskan buah-buahan untuk wanita tersebut.

Binar mengangguk menanggapi ucapan Syeira. Tatapan wanita itu berubah makin mendung, mengingat nasib bayi yang dikandungnya. Harus bagaimana nanti ....

"Di mana tempat tinggalmu?" tanya Syeira. "Biar aku antar pulang."

Binar menggeleng lemah dengan setitik bulir air mata yang jatuh, kematian ayahnya melintas di benak.

"Kalau suamimu? Dia pasti mencemaskanmu, apalagi sekarang keadaanmu sedang hamil ...."

Binar meraup wajahnya kasar, kejadian di malam penuh badai itu terlintas di pikiran. Dia menangis lagi sampai terisak-isak. Bahkan, bahunya bergetar akibat tangis yang tak dapat dibendung. Dia telah kalah melindungi harga dirinya sebagai wanita, dia hanya akan dicap sebagai sampah masyarakat. Semua orang hanya akan memandangnya sebagai kotoran yang menjijikan.

"Maaf, maaf, kalau aku salah ngomong." Syeira bingung sendiri menghadapi Binar. Syeira pernah baca, jikalau mood ibu hamil itu gampang bersedih. Mungkin sebab hal itulah wanita di hadapannya menangis, atau entahlah. Syeira hanya mampu menebak-nebak sambil mengusap-usap punggung Binar yang bergetar.

"Udah yah, jangan nangis. Jangan bikin aku merasa bersalah." Permintaan Syeira diangguki Binar, walau tetes-tetes itu masih menerobos keluar.

Syeira duduk di kursi sambil memberikan buah-buahan yang dikupasnya pada Binar. Dia pun memakannya. Mereka saling diam beberapa saat. Syeira merasa iba pada Binar yang kelihatannya sedang mengalami banyak masalah.

"Boleh aku tau siapa namamu?" tanya Syeira memecah keheningan.

"Binar," jawabnya pelan.

"Nama yang indah," puji Syeira seraya tersenyum. "Kalau aku Syeira." Dia mengulurkan tangannya, Binar pun menyambut sungkan.

"Emm, kalau boleh tau, apa yang kamu lakukan di jalanan tadi? Kenapa pakaianmu basah?" Ragu-ragu Syeira bertanya, takut membuat Binar tersinggung dan menangis lagi. Namun, rasa penasarannya tak dapat dibendung. Wanita itu memang kepoan orangnya.

Binar menunduk, mengunyah buah-buahan itu dengan lemah. Seakan tak ada keinginan untuk hidup.

Melihat ekspresi Binar yang mendung lagi, Syeira menggenggam tangan Binar. "Tidak apa, kalau kamu nggak mau cerita. Tapi, dengan menceritakan masalahmu pada orang lain, maka beban di dadamu akan sedikit terbuang."

Senyum Syeira bagaikan matahari pengusir kegelapan, begitu hangat dan indah. "Kamu boleh berbagi denganku. Aku siap mendengarkan," ujarnya lembut.

"Bapakku baru saja meninggal ...." Walaupun berat dan lirih, akhirnya Binar mau berbagi luka.

"Innalillahi wainnailaihi raji'un," sahut Syeira. "Turut berduka cita, yah." Semakin kuat genggaman tangan Syeira pada punggung tangan Binar. Memberikannya kekuatan.

"Ba-bapakku meninggal gara-gara aku!" Binar langsung meraup wajahnya. "Gara-gara kehamilan ini, Bapak terkena stop jantung dan meninggal. Akulah penyebab Bapak meninggal. Aku anak tak tahu diri. Aku anak durhaka!"

Langsung Syeira kembali memeluk Binar, tanpa sepatah kata pun. Dia bisa merasakan duka mendalam yang dialami Binar. Sekarang, Syeira paham satu hal, kemungkinan besar wanita yang dipeluknya itu terusir dari rumah sebab hamil di luar nikah. Kasihan, kehamilan yang sangat diidam-idamkan sebagian banyak wanita di luar sana, malah menjadi petaka yang mendalam bagi wanita berparas ayu itu. Entah wanita itu mendapat pelecehan seksual atau melakukannya atas saling suka, tetapi dalam hati Syeira mengutuk pria yang sudah menghamili Binar. Harusnya pria yang sudah menghamili itu, bertanggungjawab atas semua perbuatannya.

"Kamu tenang yah, menangis tidak akan baik untuk kesehatan calon bayimu." Begitu baik dan lembut Syeira bertutur kata pada Binar. Membuat Binar mengucapkan 'terima kasih' berulang kali.

Setelah perasaan Binar membaik dan dia kembali mampu mengontrol emosinya, Syeira bertanya pada dokter, apakah Binar sudah boleh dipulangkan atau belum. Sang dokter mengizinkan asal Binar dipastikan mendapat makanan yang bergizi dan selalu meminum vitamin.

"Kamu mau tinggal di rumahku?"

Binar mendongak, pupil matanya bergerak-gerak tak percaya dengan apa yang diucapkan Syeira. Memberikannya perawatan saja, Binar sudah bersyukur, apalagi mau diberikan tempat beranaung.

"Tapi ... aku takut merepotkan. Aku takut menjadi beban Kak Syeira," ucapnya lirih ditambahi dengan embel-embel 'kak'. Sebab Syeira memang lima tahun lebih tua dibanding Binar yang baru berumur 22 tahun.

"Jadi, kamu mau ke mana setelah ini? Apa kamu punya tempat tinggal nanti?" Pertanyaan Syeira membuat Binar menunduk, malu juga sedih. "Kamu bisa bekerja sebagai ART di rumahku. Kebetulan, ART kami yang berusia senja kemarin sudah resign seminggu yang lalu."

Mendengar hal itu, Binar mendongak dan langsung mengangguk antusias. Seperti dugaan Syeira, wanita di hadapannya itu, wanita yang baik. Dia tak mau menumpang seenaknya di rumah orang tanpa mau bekerja.

"Baiklah, kalau begitu kamu siap-siap dulu. Aku mau bayar administrasinya."

Selagi menunggu Syeira kembali, Binar turun dari ranjang dan mengganti pakaian rumah sakit dengan baju terusan sepanjang bawah lutut yang dibelikan Syeira. Dalam hati, Binar sangat bersyukur dipertemukan malaikat sebaik Syeira yang sudah mau menolongnya sebanyak ini.

Syeira kembali, langsung mengajak Binar keluar dari rumah sakit. Dengan menaiki mobil sedan berwarna putih, mereka mulai melaju membelah jalan raya yang masih padat dengan kendaraan walau malam telah larut.

"Semoga kamu nyaman tinggal di rumahku, yah." Syeira menoleh ke arah Binar.

Binar pun mengangguk sungkan. "Terima kasih banyak, Kak." Hanya kalimat tersebut yang mampu dikeluarkan bibir ranum itu.

Syeira tersenyum tulus menanggapi ucapan Binar. Tanpa wanita anggun itu sadari, dia telah membawa pulang petaka besar bagi hubungan pernikahannya dengan Aiman yang sudah lima tahun menanti seorang anak. Hubungan pernikahan mereka, tanpa sadar Syeira bawakan badai!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status