Share

Chapter 3 - God’s Coin?

Wajah Kakek itu seketika berubah menjadi lebih intens sehingga membuat suasana kedai menjadi mencengkam. Richard yang awalnya emosi hingga mengepal tangannya dan ingin segera memukul pria paruh baya itu tertahan—ia seakan menciut seperti balon yang kekurangan oksigen.

“Kau harus hidup dengan penuh percaya diri. Selama ini kau hidup selalu menundukkan kepalamu seperti tidak memiliki tulang leher. Bagaimana kau bisa menghilangkan aura pecundang yang sudah mendarah daging jika kau terus diam saat kau diperlakukan tidak adil.”

Richard terbungkam seribu kata dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Perkataannya seakan menggambarkan sedikit kisah hidup yang selama ini ia jalani. Perasaan yang selama ini Richard pendam seorang diri agar bisa hidup di jalan yang salah.

“Kau hanya menjadi beban untuk keluargamu jika kamu hidup seperti ini. Jangan banyak mengeluh, di dunia ini bukan hanya kau yang hidup menderita. Cobalah berpikir untuk kembali mencari jalan hidupmu, tidak ada yang tau seperti apa masa depan jika kau tidak merubahnya dari sekarang.”

Terbawa dalam arus yang kencang di dalam sebuah sungai yang keruh. Seberapa pun Richard mencoba meminta bantuan tidak ada satupun yang menolongnya. Dirinya hanya seorang pecundang yang terus membuat istri dan anaknya hidup menderita. Tidak tahu diri dan terus mengeluh tentang hidupnya.

Dirinya seperti sedang terjatuh dalam sebuah kenyataan jika selama ini dirinya memang tidak pernah bekerja keras dengan sebenarnya. Bahkan dirinya tidak paham apa itu bekerja keras. Memandangi mangkuk kosong di hadapannya mencerminkan hidupnya yang hanya seperti mangkuk bekas.

Jika mengingat kembali masa lalu, usia 17 tahun adalah masa yang membuat Richard penuh dengan pembangkangan karena ingin mencari jati diri. Namun dirinya malah tersesat akan jalan yang ia pilih dan tidak tahu arti dari makna sebuah pencarian jati diri yang sebenarnya. Dirinya hanya anak manja yang melarikan diri dari rumah. Membuang semua fasilitas nyaman yang diberikan kedua orang tuanya.

Setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakan, hidupnya berubah 180 derajat. Jalan hidup yang ia lalui bersama dengan amarah, penyesalan, dan kebodohan membawa dirinya pada versi dirinya saat ini.

“Masa lalu tidak bisa berubah, namun penyesalan akan selalu membekas hingga akhir hayat. Kau tidak ingin kembali menyesal untuk masa depanmu, maka kau aku merubahnya saat ini …,”

Kalimat terakhir yang tertulis pada surat wasiat kedua orang tua Richard.

“Apa yang anda katakan benar. Saya tidak pernah sekalipun bekerja keras. Hanya hanya sedang berjalan menuju keputusasaan …,” ucap Richard—air matanya menetes—menangis di atas mangkuk ramen yang sudah kosong.

Hujan sudah sejak lama berhenti. Sisa-sisa air masih mengenang di atas jalan aspal hitam. Melewati jalan menuju rumah, sepi dan dingin. Sebuah kantong plastik hitam yang Richard bawa di tangan kirinya dan ada sebuah botol berukuran cukup besar di dalam plastik hitam itu.

Tidak lupa Richard membawa dua mangkuk ramen yang diberikan secara gratis oleh Kakek yang beberapa saat lalu menceramahinya seperti seorang pendeta. Berjalan dengan sepatu yang masih dipenuhi basah. Setiap kakinya melangkah, sepatu boot itu meninggalkan jejak suara decitan.

Namun langkah Richard berhenti saat tangan kanannya seperti menyentuh sesuatu di dalam mantel yang ia ambil dari tempat sampah. Terasa seperti menyentuh sebuah logam datar dan bulat. Tanpa berpikir panjang Richard mengeluarkan benda itu dari dalam sakunya.

“Apa ini? Koin?”

Salah satu alis Richard terangkat saat melihat sebuah koin berwarna emas yang sudah usang di tangannya. Koin emas itu membuat Richard bertanya-tanya. Bentuk koin itu sedikit terlihat aneh, tidak seperti koin mata uang pada umumnya.

Richard mengangkat koin itu lebih dekat—di depan wajahnya. Melihat dengan sangat teliti dan penuh rasa penasaran akan bentuk koin unik itu. Terdapat ukiran dunia yang begitu detail. Di tengah-tengan coin itu berlubang, seperti mata uang zaman dahulu kala. Koin tersebut terasa cukup berat saat Richard mencoba menimbang.

“Apa jangan-jangan ini emas?”

Richard menebak-menebak dengan sedikit harapan jika saja dirinya benar-benar menemukan sebuah emas logam yang berbentuk koin. Memastikan koin ini emas atau bukan dirinya harus pergi ke toko perhiasan. Namun sayangnya waktu sudah melewati tengah malam dan tidak akan ada toko perhiasan yang masih buka.

Tidak ingin sampai ada yang melihat hasil penemuannya. Richard bergegas memasukkan kembali koin emas tersebut kedalam saku dan melanjutkan perjalanan hingga sampai rumah dengan selamat.

Sesampai Richard di depan rumah, ia dibuat bingung lantaran lampu rumahnya tidak menyala. Seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. Tangan kiri nya mencoba membuka pintu rumah untuk memastikan dugaannya salah.

Lampu di depan pintu yang secara otomatis menyala saat ada seseorang berdiri di depan pintu. Richard terdiam saat menyaksikan dengan kedua matanya sendiri jika ruang tengah rumahnya tampak begitu berantakan. Prasangka akan hal buruk mungkin sudah terjadi pada istri dan anaknya, Richard bergegas masuk ke dalam untuk melihat nasib istri dan anaknya.

“Sarah!! Naomi!! Di mana kalian!! Sarah!!”

Richard tidak berhenti memanggil istrinya menuju ruang kamarnya, semua barang-barang rumah. berserakan di lantai seperti rumah yang baru saja terkena rampok. Ada satu hal yang membuat Richard masih bersyukur lantaran ia tidak melihat setetespun darah di seluruh bagian rumah yang berarti kemungkinan besar istri dan anaknya masih dalam keadaan baik.

“Sarah!!”

Terdiam beberapa detik saat menyadari jika di dalam kamar tidak ada tanda-tanda istri dan anaknya. Bahkan Richard melihat jika lemari pakaian tampak kosong. Tubuhnya seketika menjadi lemas. Ia sungguh tidak memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi pada keluarganya. Mereka seakan menghilang begitu saja.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

Pria malang itu berusaha menahan air matanya, berharap jika keluarganya masih hidup dan baik-baik saja. Kedua matanya melihat sorot lampu meja yang menunjukkan selembar kertas di atas—dengan perasaan ragu Richard mulai menghampiri meja kecil yang berada di samping tempat tidur.

[SURAT PERCERAIAN]

Seperti tersambar petir hingga membuat jantungnya berhenti berdenyut dalam beberapa saat. Richard masih tidak bisa memahami situasi dan ke kekacauan saat ini. Setelah ia hampir terbunuh oleh para rentenir—ingin makan malam bersama dengan ramen yang ia dapat secara gratis, akan tetapi dirinya malah melihat surat perceraian yang sudah ditandatangani oleh istrinya, Sarah.

Richard dengan panik mencoba menghubungi Sarah. Ia membutuhkan penjelasan secara langsung akan surat perceraian yang Sarah berikan. Namun hanya suara operator yang mengatakan jika nomor Sarah tidak bisa dihubungi.

“Kenapa dia tidak bisa dihubungi, sial!”

Richard mencoba menenangkan dirinya sebelum emosi menguasainya. Sarah tidak akan mungkin melakukan hal ini kepadanya. Dia bukanlah wanita yang pergi tanpa mengatakan apapun. Ia hanya khawatir tentang kondisi istri dan anaknya saat ini. Richard khawatir jika para rentenir yang sudah menyebabkan rumahnya berantakannya dan kemungkinan terburuk mereka melakukan sesuatu pada Sarah dan Naomi.

Namun Richard melihat sebuah surat yang ditulis langsung oleh Sarah yang bertuliskan,

[ “Jangan khawatirkan kami. Aku akan pulang ke tempat pamanku. Jangan ganggu Naomi, saat ini dia sangat membenci dirimu. Temuilah saat dia sudah tenang. Maafkan aku, aku tidak bisa mempertahankan keluarga kita. Aku ingin melindungi Naomi. -Sarah-]

Seketika air mata Richard terjatuh. Pria dewasa itu menangis seperti anak kecil 5 tahun yang kehilangan dunianya. Tempat yang selama ini membuatnya bertahan untuk tetap bekerja keras telah menghilang

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status