Share

Chapter 6 - Pelarian Diri (Part.1)

Perkataan yang sulit untuk bisa diterima oleh Richard. Namun dirinya tidak memiliki pilihan selain mempercayai perkataan Sang Kakek yang berniat membantunya untuk melarikan dirinya. Richard bergegas pergi menuju tempat yang dikatakan oleh Sang kakek.

Sebelum Richard pergi, masuk ke dalam tangga rahasia di bawah lantai kayu Richard berhenti menatap Sang Kakek sambil berkata, “Terima kasih atas semua bantuanmu selama ini. Aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya, tapi aku mencoba untuk mempercayai perkataanmu.”

“Jangan percaya pada siapapun! Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan sampai mati! Cepat!”

Perkataan terakhir dari Sang kakek yang terdengar kejam namun menyentuh perasaan Richard yang kemudian bergegas menuruni tangga rahasia di bawah lantai—menutup kembali pintunya dari dalam.

Hanya berselang 30 detik, para preman itu langsung masuk ke dalam kedai.

Kakek pemilik kedai tampak sibuk membuat adonan seakan tidak terjadi apapun. Bahkan mangkuk bekas makanan milik Richard di atas meja pun sudah tidak ada.

“Maaf, kami belum buka!”

“Hei, Pak tua! Kami ingin bertanya sesuatu pada anda. Apa anda melihat pria muda lewat atau masuk kedalam kedai ini? Kamu sedang menjadi seorang pria yang mengenakan jaket hitam. Dia memiliki wajah yang cukup tampan. Apa anda melihatnya?”

Salah seorang preman yang mengenakan pakaian formal berjalan mendekati meja. Pria itu tampaknya ketua dari para preman-preman yang memiliki tubuh besar yang hampiri memenuhi kedai yang berukuran kecil.

“Aku sudah bilang, kami masih tutup! Jadi tidak mungkin ada orang masuk!”

Salah satu permen tampak berjalan masuk ke dalam dapur tanpa rasa sopan santun. Sang Kakek mulai merasa panik dan khawatir jika mereka berhasil menemukan jalan pintas yang disembunyikan. Para preman mulai berjalan-jalan—memeriksa setiap sudut kedai. Bahkan mereka begitu mudah menjatuhkan semua barang-barang yang mereka—mengobrak-abrik semua meja dan kursi hingga semua menjadi berantakan.

Namun Sang Kakek berusaha untuk tetap tenang jika menghadapi orang-orang seperti mereka. Bersikap seakan tidak peduli dan percaya diri harus ia tunjukkan akan tidak goyah dengan ancaman yang mereka lakukan.

Tiba-tiba pria yang mengenakan pakain formal mulai mendekati meja—duduk dengan santai di atas kursi—memberikan tatapan sadis—mencoba mengintimidasi korban.

“Hei, Pak tua. Apa kau yakin tidak ada orang yang masuk kedai ramen jelekmu ini? Kau bilang kedaimu masih tutup, lalu kau menyiapkan semangkuk ramen untuk siapa?” tanya pria yang memiliki luka bakar di bagian pelipis mata kanan yang tampak begitu menyakitkan.

Pria itu menyadari mangkuk kotor di dekat cucian piring yang berada di belakangnya. Sang Kakek tetap berusaha untuk tetap tenang walau hidupnya saat ini mungkin dalam bahaya.

“Tentu saja, itu mangkuk bekas sarapanku. Kenapa? Kau juga ingin aku buatkan ramen?”

Pria itu menyeringai, ia telah mengetahui apa yang sedang disembunyikan Sang kakek tua.

“Kau pikir aku bisa dibohongi! Dasar sialan!”

Tiba-tiba pria itu langsung memukul Sang Kakek dengan menggunakan teko minuman yang ada di atas meja dengan sangat keras hingga teko keramik itu pecah saat bertabrakkan dengan kepala Sang kakek yang akhirnya tersungkur di lantai.

“Cepat geledah tempat ini secara menyeluruh, yang lain cari lewat pintu belakang. Pria sialan itu pasti belum jauh!” teriknya memberikan perintah pada pengikutnya. 

Lalu ia melompat melewati meja tinggi yang membatasi dapur. Menghampiri Sang Kakek yang tampak tak berdaya di lantai dengan kepala yang bersimba darah.

“Apa kau sadar, kau telah berurusan dengan siapa?”

Kakek pemilik kedai berusaha untuk tetap menguatkan walau menahan rasa sakit yang luar biasa setelah kepala bagian depan nya di hantam keras oleh pria yang menginjak tubuhnya.

“Kau salah. Kaulah yang salah berurusan dengan saya.” ucap Sang kakek sambil mencengkram lengan pria itu.

“Bos! Di sebelah sini ada pintu rahasia!!”

Teriakan dari salah satu pengikutnya yang sontak membuat semua terdiam beberapa saat.

“Pintu rahasia? Jadi itu yang anda sembunyikan …? Dasar sialan!”

Pria itu langsung menendang kepala Sang kakek beberapa kali dengan penuh emosi karena merasa sedang dipermainkan oleh seorang kakek-kakek. Memalukan, menjatuhkan harga dirinya. Ia terus menendang beberapa bagian tubuh Sang kakek yang bahkan sudah tidak sadarkan diri.

“Bos! Bos!! Tenanglah!!”

Salah satu anak buahnya menyuruhnya untuk segera berhenti, karena melihat kondisi Sang kakek yang sudah terlihat memprihatinkan. Anak muda itu tampak khawatir jika kakek itu mati dan akan menyebabkan masalah lain.

“Ah … sialan!! Cepat kejar dia!” teriaknya yang masih berusaha menahan emosi.

***

Richard masih berjalan di sebuah gorong-gorong bawah tanah—mengikuti bendera berwarna kucing yang terkait di setiap tembok. Hanya dengan senter ponselnya, Richard terus berjalan menelusuri terowongan yang sangat gelap dan lembab. Bau sampah yang begitu menyengat tak membuat Richard terganggu, karena dia sudah terbiasa.

Hingga tiba-tiba, ia mendengar suara teriakan seseorang yang menggema sampai di telinganya. Seketika kedua mata Richard membulat penuh ketakutan. Tidak salah lagi, jika para preman yang mengajarkan telah menemukan jalan rahasia yang disembunyikan pemilik kedai ramen.

“Sial! Mereka sudah sampai sini!”

Mencoba mempercepat langkahnya yang sudah kelelahan, dirinya tidak sampai tertangkap. Rasa khawatir akan keadaan Sang Kakek yang mungkin sudah mati di tangan para preman. Namun Richard masih berharap jika Sang Kakek masih selamat. Itulah salah satu alasan dirinya tidak boleh sampai tertangkap.

Di ujung jalan Richard melihat secercah cahaya dari atas. Ia juga melihat sebuah tangga yang menempel pada tembok. Tampaknya disanalah jalan keluar menuju taman kota yang dikatakan Sang Kakek.

Menaiki tangga sebelum para preman dapat menyusulnya. Namun air mata yang tidak terbendungkan lagi saat kembali mengingat kebaikan Sang Kakek dalam ingatanya. Hatinya sangat hancur saat membayangkan jika Sang Kakek memang terbunuh oleh para preman karena dirinya.

Richard semakin dekat dengan cahaya yang ada di atas kepalanya. Sebuah pintu kecil di atas kepalanya, salah satu tangannya berusaha membuka pintu yang terbuat dari besi yang terasa sangat berat itu. Menguatkan seluruh otot tangannya, Richard berhasil membuka pintu.

Tanpa berpikir panjang, Richard segera memanjat ke atas, ia sungguh takjub melihat keberadaannya saat ini yang benar-benar berada di sebuah taman kota. Tidak ada waktu untuk merasakan ketakjuban saat ini, ia harus segera melarikan diri menuju pelabuhan untuk menemui Mr. Hudson.

Saat Richard ingin kembali menutup pintu, matanya terkejut saat melihat salah satu preman melihat ke arah dirinya dari bawah.

“Dia ada di atas!! Ayo cepat!!”

Sial. Dirinya sudah ketahuan oleh para preman. Namun, karena panik Richard langsung membanting pintu yang hanya berukuran kecil itu dengan kencang, lalu meletakkan sebuah batu besar untuk menghambat para preman itu saat membuka pintu. Setelah itu, Richard langsung berlari secepat yang ia bisa, sebelum para preman itu kembali menemukannya. Pengejaran ini adalah pengejaran hidup dan matinya.

***

“Apa! Dia melarikan diri! Sialan!”

Bentak Bryant dengan penuh emosi hingga menghempaskan semua barang di atas mejanya hingga berserakannya.

“Apa yang kalian lakukan hingga dia bisa melarikan diri?! Mengurus satu orang saja kalian gak becus! Cepat kejar dia! Saya tidak mau tahu, kalian harus menangkapnya hidup-hidup! Pergi! Pergi kalian! Dasar manusia ikan!”

Bryant terus mengutuk anak buahnya yang tidak bisa mengerjakan tugas dengan benar hingga kehilangan orang yang telah mencuri benda berharga miliknya.

Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Bryant bergegas pergi bersama pengawal pribadinya. Menggunakan mobil mewah di ikuti oleh beberapa mobil pengawal di belakangnya. Mengejar ketertinggalan dari orang yang sedang ia incar melarikan melewati pelabuhan.

“Cepat! Cepat! Uhh … Sial! Sial! Sial!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status