Menuju ibu kota Aurora - Melalui Labirin Es
Badai salju semakin menggila saat Renzu dan timnya melanjutkan perjalanan menuju ibu kota Aurora. Kabut tebal menutupi pandangan mereka, sementara angin dingin menembus pakaian tebal yang mereka kenakan. Hera berjalan di depan dengan langkah mantap, seolah tidak terpengaruh oleh suhu yang menggigit. Mira menggigil, merapatkan jubahnya. "Kau yakin kita di jalur yang benar, Hera? Aku bahkan tidak bisa melihat lima langkah ke depan." Hera tidak menghentikan langkahnya. "Aku sudah melewati jalur ini berkali-kali. Percayalah, kita akan segera sampai." Rufus menepuk-nepuk tangannya, berusaha menghangatkannya. "Lebih baik kita sampai secepat mungkin. Aku rasa jemariku mulai membeku." Lyra, yang berjalan di samping Renzu, berbicara pelan. "Aku tidak suka ini. Terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara binatang... bahkan angin terasa aneh." Renzu mengangguk setuju. "Sesuatu tidak beres. Aku bisa merasakannya juga." Tiba-tiba, Hera berhenti dan mengangkat tangannya sebagai tanda agar mereka tetap diam. "Kita tidak sendirian," bisiknya. Mereka semua langsung bersiaga. Mira mencengkeram tombaknya, Rufus mulai merapal sihirnya, sementara Lyra menarik busurnya. Dan saat itulah bayangan muncul di tengah badai. Dari balik kabut salju, beberapa sosok muncul. Mereka mengenakan jubah tebal dengan lambang Kekaisaran Sunturion di dada mereka. Di depan mereka, seorang pria bertubuh tinggi dengan mata tajam melangkah maju. Hera menggeram. "Tidak mungkin..." Renzu memperhatikan pria itu dengan seksama. Ada sesuatu yang familiar tentangnya. Pria itu menyeringai. "Lama tidak berjumpa, Renzu." Jantung Renzu berdegup lebih kencang. "Siapa kau?" Pria itu tertawa kecil. "Kau sudah melupakanku? Sayang sekali. Aku adalah Kael." Mira mengangkat alis. "Kau mengenalnya?" Kael mengangkat tangannya. "Bukan hanya mengenalnya. Aku dulu adalah temannya." Renzu mengepalkan tinjunya. "Kau adalah bagian dari Kekaisaran sekarang?" Kael mengangguk. "Aku memiliki misiku sendiri, Renzu. Sama seperti kau, aku juga mencari kebenaran tentang Gelang Bintang. Hanya saja, jalanku berbeda darimu." Lyra menyipitkan matanya. "Ini jebakan." Hera memutar badannya, menatap Renzu. "Aku tahu ada yang tidak beres sejak awal. Seseorang memberitahu Kekaisaran tentang perjalanan kalian." Rufus menggerutu. "Kita punya pengkhianat?" Kael tersenyum. "Lebih tepatnya, ada seseorang di antara kalian yang telah bekerja denganku sejak awal." Renzu menoleh ke timnya, matanya menyelidiki satu per satu. "Siapa?" Hera menggertakkan giginya. "Aku tahu siapa." Dia berbalik dan menarik belatinya, langsung menyerang Lyra. Semua orang terkejut. "HERA, BERHENTI!" Renzu berteriak. Namun, sebelum belati itu mengenai Lyra, dia melompat ke belakang dengan lincah. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan sebaliknya, dia tersenyum dingin. "Sudah waktunya kalian tahu," Lyra berkata pelan. "Aku tidak pernah benar-benar berada di pihak kalian." Mata semua orang melebar. Mira mencengkeram tombaknya erat. "Apa maksudmu, Lyra? Kau mengkhianati kami?" Lyra menghela napas, seolah ini adalah sesuatu yang sulit baginya untuk dikatakan. "Aku tidak punya pilihan. Aku selalu bekerja dengan Kael sejak awal. Sejak kita mulai mencari pecahan Gelang Bintang, aku tahu bahwa Kekaisaran juga mencari hal yang sama." Rufus mengepalkan tinjunya. "Kau berbohong pada kami selama ini?!" Lyra menundukkan kepala. "Tidak semuanya kebohongan. Aku menikmati waktu bersama kalian... tetapi aku harus menyelesaikan tugasku." Kael melangkah lebih dekat. "Cukup basa-basinya. Renzu, serahkan pecahan Gelang Bintang itu." Renzu mengangkat tangannya, energi astral mulai berkumpul di sekelilingnya. "Aku tidak akan menyerah tanpa bertarung." Kael tersenyum. "Itu yang aku harapkan." Tiba-tiba, tanah di bawah mereka mulai retak, dan seluruh area tertutup dalam sebuah labirin es raksasa. Lyra melompat mundur, berdiri di sisi Kael, sementara pasukan Kekaisaran mengepung mereka. Hera mengutuk pelan. "Labirin ini adalah bagian dari Ordo Es Purba. Mereka telah merencanakan ini." Mira menatap Lyra dengan marah. "Kau sudah mempersiapkan ini sejak awal?" Lyra menatapnya dengan tatapan tajam. "Aku tidak punya pilihan, Mira. Kekaisaran akan selalu menang. Aku memilih bertahan di sisi yang benar." Renzu menatap Lyra dalam-dalam. "Kau benar-benar berpikir bahwa Kekaisaran adalah sisi yang benar?" Lyra tidak menjawab. Rufus menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Jika kita terjebak di sini, maka kita akan bertarung." Kael mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada pasukannya. "Bersiaplah. Ini akan menjadi akhir perjalanan kalian." Dan dengan itu, pertarungan besar di dalam labirin es pun dimulai.Menuju ibu kota Aurora - Melalui Labirin EsBadai salju semakin menggila saat Renzu dan timnya melanjutkan perjalanan menuju ibu kota Aurora. Kabut tebal menutupi pandangan mereka, sementara angin dingin menembus pakaian tebal yang mereka kenakan. Hera berjalan di depan dengan langkah mantap, seolah tidak terpengaruh oleh suhu yang menggigit.Mira menggigil, merapatkan jubahnya. "Kau yakin kita di jalur yang benar, Hera? Aku bahkan tidak bisa melihat lima langkah ke depan."Hera tidak menghentikan langkahnya. "Aku sudah melewati jalur ini berkali-kali. Percayalah, kita akan segera sampai."Rufus menepuk-nepuk tangannya, berusaha menghangatkannya. "Lebih baik kita sampai secepat mungkin. Aku rasa jemariku mulai membeku."Lyra, yang berjalan di samping Renzu, berbicara pelan. "Aku tidak suka ini. Terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara binatang... bahkan angin terasa aneh."Renzu mengangguk setuju. "Sesuatu tidak beres. Aku bisa merasakannya juga."Tiba-tiba, Hera berhent
Perjalanan ke Kontinen AuroraPagi berikutnya, mereka menyelinap keluar dari kota dengan bantuan beberapa petualang yang setia pada Darios. Mereka naik ke kapal dagang yang disebut Frostwind, sebuah kapal kayu besar yang dirancang untuk menahan badai lautDi dek, Renzu berdiri di sisi kapal, menatap laut yang semakin membeku di kejauhan. Udara mulai menjadi lebih dingin seiring mereka mendekati perbatasan Aurora.Mira berjalan mendekat dan menyelubungi dirinya dengan jubah tebal. "Kau masih memikirkan pertarungan kemarin?"Renzu mengangguk. "Zael bukan lawan biasa. Dia tahu cara menggunakan energi kegelapan dengan sangat efisien. Jika kita bertemu dengannya lagi, kita butuh strategi yang lebih baik."Rufus mendekat, meniupkan napas ke tangannya yang kedinginan. "Dan itu bukan satu-satunya masalah kita. Jika Ordo Es Purba benar-benar memiliki informasi tentang Gelang Bintang, maka Kekaisaran juga pasti akan mengincarnya.""Itulah sebabnya kita harus lebih cepat dari mereka," kata Lyra
Pria itu tersenyum di balik topengnya. "Namaku Zael, salah satu eksekutor Black Crescent. Tugasku sederhana: mengambil pecahan yang kau bawa dan menghapus segala rintangan yang menghalangi." Mira mengayunkan tombaknya ke bahunya. "Kalau begitu, kita tidak punya banyak pilihan selain menghancurkan kalian." Zael menghela napas. "Sangat disayangkan. Aku benci pertempuran yang tidak perlu." Dalam sekejap, dia mengangkat tangannya dan bayangan hitam menyebar dari kakinya, menciptakan pusaran energi gelap yang mulai menyelimuti area tersebut. "Bersiaplah!" Renzu berteriak. Lyra langsung menarik busurnya, menembakkan anak panah bercahaya ke arah Zael. Namun, bayangan di sekitarnya dengan mudah menyerap serangan itu. Rufus melancarkan serangan angin, mencoba meniup kabut gelap itu, tetapi efeknya hanya sebentar sebelum Zael kembali mengendalikannya. "Kalian masih terlalu lamban," Zael mencibir. "Biarkan aku menunjukkan kepada kalian perbedaan antara kita." Dalam satu gerakan cepat, di
Angin di kota pelabuhan terasa dingin menusuk dikulit saat Renzu dan timnya kembali dari reruntuhan kuno. Setelah pertarungan besar melawan makhluk astral dan pengkhianatan Orfen, mereka merasakan kelelahan yang luar biasa. Namun, tidak ada waktu untuk beristirahat terlalu lama dampak dari peristiwa tersebut mulai terasa di sekeliling mereka.Mira berjalan di sisi Renzu, sesekali melirik wajahnya yang tampak pucat. "Kau yakin baik-baik saja?"Renzu mengangguk, meskipun kepalanya masih terasa berat."Aku hanya butuh sedikit waktu. Sistem Astral memberiku peringatan, tapi aku rasa aku bisa mengatasinya." "Jangan memaksakan diri, Renzu," Lyra menyela dari belakang. "Setiap kali kau menggunakan kekuatan itu secara ekstrem, efeknya selalu membuatmu melemah."Rufus menghembuskan napas keras. "Kita butuh tempat aman untuk menganalisis semuanya. Lagipula, kita masih harus mencari tahu lebih banyak tentang fragmen yang kita dapatkan."Renzu menyentuh pecahan Gelang Bintang yang menempel dadan
Di dalam ruangan, terdapat altar besar dengan sebuah fragmen kristal mengambang di atasnya. Mural-mural di sekelilingnya menggambarkan kisah peradaban kuno yang tampaknya pernah berkuasa sebelum hancur oleh sesuatu yang tidak diketahui. "Ini bukan hanya reruntuhan biasa... ini adalah tempat yang menyimpan sejarah yang telah lama dilupakan," gumam Lyra. Mira menatap mural dengan serius. "Lihat yang ini," katanya sambil menunjuk pada gambaran seorang pria yang mengenakan sesuatu di pergelangan tangannya sesuatu yang tampak seperti Gelang Bintang. Renzu mendekat. "Dia... mengenakan gelang yang sama denganku." Orfen tetap diam, tetapi matanya mengamati mural itu dengan intensitas yang tidak biasa. "Menurut kalian, siapa mereka?" tanya Rufus sambil meneliti simbol-simbol aneh di sekelilingnya. Sebelum ada yang bisa menjawab, Renzu merasakan sesuatu di pikirannya. Suara itu kembali berbisik. "Temukan semua pecahan... atau dunia akan jatuh ke dalam kegelapan." Dia mengerang pelan, me
Hutan belantara masih diselimuti kabut tipis saat tim ekspedisi akhirnya tiba di depan reruntuhan kuno yang menjulang di tengah pepohonan raksasa. Struktur batu yang dipenuhi lumut berdiri megah, seolah menantang waktu yang telah berlalu berabad-abad. Udara di sekitarnya terasa lebih berat, seperti mengandung sesuatu yang tak kasat mata sesuatu yang kuno dan menunggu untuk ditemukan. Renzu berdiri di depan pintu masuk utama, menatap ukiran aneh yang menghiasi dinding-dinding batu. Ada simbol yang samar-samar dikenalnya, hampir mirip dengan pola yang muncul di dalam Sistem Astral miliknya. Dia menelan ludah, mencoba meredakan kegugupan yang mulai menjalar. "Jadi ini dia... reruntuhan yang katanya tersegel berabad-abad." Rufus bersiul pelan, meneliti batu-batu raksasa yang menyusun pintu masuk."Terlihat tua dan menyeramkan, bukan?" Mira menambahkan, memegang tombaknya lebih erat. "Aku bisa merasakan energi di sini berbeda," Lyra berbisik sambil meletakkan tangannya di dinding batu