Share

Cerita Tentang Ibu dari Tetangga

Author: Fetina
last update Last Updated: 2024-05-22 11:10:11

Bab 3

"Ibu kenapa? Tolong jelaskan saya nggak paham," kataku.

"Ibunya Teh Alma banyak utangnya. Arisan aja udah dapet, belum bayar-bayar. Pas ditagih malah dianya yang galak, jadinya yang nagih pusing tujuh keliling," jawab Bu Tina salah satu Ibu yang berbicara denganku.

"Ya Allah, benarkah?"

"Iya, Teh. Trus, kita suka kasian sama anak Teteh, baju sekolahnya dah pada lusuh tetep dipake. Saat kita tanya, memangnya nggak ada baju lain? Eh dijawab katanya kalau pake yang baru Kebagusan buat mereka."

Ya Allah, tega banget Ibu bicara seperti itu sama anak-anak. Berarti selama ini Ibu senang-senang pakai uangku. Tanpa memberikan hak anak-anakku.

"Baik, Bu Ibu. Hatur nuhun informasinya," ucapku pada mereka. Segera aku meninggalkan warung untuk kembali ke rumah.

Itu berarti aku takkan memberinya uang lagi. Bisa bahaya nanti kalau ibu pegang uang terus tanpa diberikan pada haknya.

Sesampainya di rumah, aku mendengar ibu sedang berbicara.

"Pokoknya kamu jangan ngadu sama Ibumu!" Ibu sedang memarahi siapa? Lantas, aku langsung masuk. Ada Ibu dan Hanif. "Ada apa ini?" tanyaku dengan suara lantang.

Ada pecahan piring berisi nasi terhambur di dekat meja makan. Hanif memakai seragam sekolah yang masih putih bersih. Sepertinya baru beli dari toko, karena masih terlihat kaku.

"Itu kenapa di buang?"

"Bu, Bukan dibuang, Bu. Aku menjatuhkannya. Maafkan aku, Bu!"

"Iya, makanya Ibu bilang jangan ngadu sama kamu, biar dia nggak dimarahi kamu, Alma."

Aku melirik Hanif, mencari kejujuran di matanya.

"Benar itu, Hanif?"

"Mmm ... Bener, Bu. Udah, Bu, aku sama Teteh mau berangkat dulu, ya!"

"Kamu kan belum sarapan, jangan dulu berangkat sebelum perutmu terisi. Tetehmu udah sarapan?"

"Iya, Bu."

"Cepat, Hanif kamu sarapan dulu. Pecahan piringnya biar Nenek yang bereskan." 

Kemudian aku menemui Hanifa. Ia ada di kamarnya, sudah selesai memakai seragam.

"Baju seragammu masih baru ya?"

"Mmm ... udah lama kok, Bu. Cium aja wanginya!"

Tapi aku melihatnya masih baru walau sudah dicuci berkali-kali, kata Hanifa.

"Kamu sarapan dulu ya, Nak, sebelum berangkat," ucapku.

"Iya, siap."

Hanifa menuju ruang makan. Di sana Hanif sudah selesai sarapannya.

Aku mencari Kang Ikbal. Ia harus mengantar anak-anak. Ia pulang sangat larut, jam segini masih tidur.

"Kang, bangun! Udah siang loh! Anterin anak-anak." Kang Ikbal ini nggak ada kangen-kangennya sama Istri. Aku datang malah dicuekin, pulang larut malam.

"Oh iya lupa aku, Neng." Ia mengerjapkan matanya.

"Kamu nggak salat subuh. Aku aja di Arab Saudi sekarang rutin salat lima waktu loh."

"Ah, kamu bisa aja. Waktu di sini, boro-boro," katanya. 

"Manusia kan ingin lebih baik dan baik lagi. Contohnya aku, Kang. Kamu harusnya bersyukur punya istri yang lebih religius sekarang. Malah kamu bandingkan dengan masa lalu," jawabku.

Aku sangat tidak terima diperlakukan seperti ini. Kukira Kang Ikbal sudah berubah, ternyata masih seperti ini, pemalas dan selalu meremehkan orang lain.

"Iya, kalau punya kebaikan nggak usah pamer, Neng. Kamu itu harusnya fokus aja sama diri kamu," katanya.

Pusing bicara dengan Kang Ikbal. Aku lebih baik ke dapur, memasak untuk menghilangkan rasa kesalku.

Waktunya berangkat sekolah, Kang Ikbal masih saja tidur. Ia malah memejamkan matanya kembali. Kuhela napas agar tak marah-marah padanya lagi. Aku harus fokus pada anak-anak.

Sekolah anakku lumayan jauh, jadi memang harus diantar.

"Ya udah, aku yang antar saja!"

"Nggak usah, biar Ibu saja. Kamu di rumah ya!" timpal Ibu yang berada di dekatku sesaat aku keluar dari kamar.

"Sama siapa?"

"Nanti Ibu panggil tetangga yang bisa nyupirin."

Aku setuju, mereka pun berangkat. 

"Hati-hati di jalan ya semuanya!"

Anak-anak menghampiri dengan mencium tanganku. Aku mengantar mereka ke depan.

Aku meneruskan memasak di dapur. Rencananya hari ini aku akan mengurusi tabungan anak-anakku, selain itu mengurus uangku juga. Selama ini, ku transfer juga tiap bulan untuk mereka. Kuharap dananya pasti sudah besar.

Aku juga tak akan mentransfer lagi ke rekening suamiku. Karena ia juga sudah punya bisnis batu akik dan aku pun sudah di sini. Paling aku beri bulanan nanti pada Ibunya saja.

Saat aku sedang heboh memasak di dapur, suara ponsel berbunyi. Kulihat ada panggilan dari seseorang dengan nama Syg. Siapa dia? 

Aku mengangkatnya, tapi tak ada jawaban. Yang ada malah d

itutup. Ketika kubuka ponselnya, ternyata dikunci. Apa Kang Ikbal punya wanita lain?

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Candaan Anak-anak

    "Udah, ini sedang dijalan. Teh Alma mau pesen apa? Biar nanti saya bawakan?""Nggak usah.""Oh ... saya bawakan martabak aja ya. Oya teh, saya mau ngenalin teteh sama kedua anak saya. Kapan teteh kira-kira bisa?"Wah, ada apa ya Kang Rahman sampai nyari waktu buat ketemu anaknya."Mmm kapan ya? Memangnya pada di rumah?""Sedang libur pesantren. Ini juga mereka jalan-jalan sama anak-anak saya, Teh.""Masa?""Ya udah nanti aja pas pulang, tinggal turun. Kenalan sama saya," sahutku."Iya sih. Tapi pengennya ada makan siang di rumah saya, Teh. Teteh dan anak-anak datang ke rumah.""Oh gitu. Ya udah aku pikirkan dulu ya!""Baik, Teh."Kang Rahman jangan-jangan memang masih ingin memperistriku? Rasanya aku takut sekali kalau harus menikah lagi. Apalagi Kang Rahman punya dua anak. Kalau mereka nggak suka aku bagaimana? Kalau Pak RT memang masih bujangan, tapi aku belum sreg dengannya. Ah benar-benar memusingkan.Memang, perceraianku dengan Kang Ikbal sudah tiga bulanan. Tapi untuk menentukan

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Anak-Anak Jalan-jalan dengan Kang Rahman

    "Bu Alma, kenalkah denganku?" Ia membuka cadarnya sebentar. Aku langsung mengenalinya."Tini! Kamu Tini kan? Apa kabar?" Aku memeluk sahabat lamaku waktu jadi TKW di Arab Saudi."Iya, Alma. Aku Tini!" Kami saling berpelukan. "Kamu udah sukses sekarang, Al. Kalau aku belum bisa sesukses dirimu."Kamu mau buka kebab atau nasi uduk? Kenapa nggak menyapaku tadi?" "Malu aku, Al. Masa orang sepertiku menyapa pembicara. Mending kek gini aja, di balik layar. Hehe. Kamu hebat loh kemarin sempet terkenal, ada di televisi," kata Tini."Ah, iya. Padahal aku sedih banget majikanku meninggal. Beliau seperti ayah bagiku. Yang ngajarin aku bisnis itu siapa lagi kalau bukan majikanku," jawabku."Oh gitu. Pantas, pulang dari sana kamu malah pinter bisnis. Semoga akupun ketularan dengan membuka gerai kebab mini dan nasi uduk," ucapku."Eh, ngobrolnya di rumahku yuk! Kangen nih sama kamu," sahut Tini."Nggak bisa Tin, anakku masih pemulihan kemarin mereka sempat kecelakaan," jawabku."Ya Allah, dua-duan

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Bertemu Sahabat

    Luar biasa semangat Kang Ikbal yang mau merubah nasib dengan terus berikhtiar untuk berbisnis.Hanif sudah baikan. Sedikit demi sedikit ia bisa mengingat kejadian sebelumnya. Kadang saat dia inget, langsung ia sebutkan saja."Oya Ibu, aku ingat dulu ibu pergi keluar negeri, trus aku nangis," katanya.Ya Allah, kenangan itu. Saat pertama kali aku akan berangkat ke Arab Saudi. Hanif dan Hanifa menangis terus, mereka bersama Bapaknya. Hanif dipangku oleh Kang Ikbal, sementara Hanifa, ia berdiri di sebelah bapaknya.Saat itu, aku akan menaiki mobil yang akan membawaku ke bandara. Sedih sekali harus meninggalkan suami dan kedua anakku."Ibuu!" teriak Hanif, ia turun dari gendongan bapaknya, lalu mengejar mobilku. Aku yang berada di dalam mobil, tak bisa berbuat apa-apa. Jika aku saat itu turun dan memeluk Hanif, mungkin aku takkan jadi berangkat ke Arab Saudi.Kulihat Hanifa hanya menangis sembari memegangi tangan bapaknya. Satu tangan lagi ia gunakan untuk mengusap wajahnya yang basah.Ak

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Hanif boleh Pulang

    Saat aku kembali ke ruangan, Hanif sedang dipegangi oleh Kang Rahman dan Pak RT. Infusan bergeser, sehingga ada darah yang naik di selang. Gegas Perawat membenarkan posisinya agar tidak ada darah yang tersedot di selang infus.Selain itu, perbannya sudah tercabik-cabik. Perawat membenarkan posisi perban juga. Aku hanya bisa memperhatikan yang dilakukan perawat."Sudah, Bu.""Sus, mengapa bisa demikian ya? Anak saya jadi tiba-tiba mengamuk tanpa sebab," sahutku."Memang ada beberapa kasus seperti anak ibu. Pasca operasi kepala, mereka tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Biasanya dibutuhkan waktu, sehingga harus sabar agar si pasien kembali sembuh," sahut Perawat itu."Ya Allah, terima kasih ya Sus atas keterangannya. Mudah-mudahan saya diberi kesabaran yang lebih," sahutku."Insya Allah, Bu. Buat yang merawat harus tetap semangat berjuang," katanya.Selepas Perawat keluar dari kamar Hanif, kuhampiri anakku. Ia memandangiku."Hanif, tadi kenapa?" Ia diam, mungkin tidak ingat

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Hanifku

    "Hanif masih sakit. Dia tak bisa pulang sekarang, Hani. Insya Allah nanti menyusul ya!" sahutku."Iya, Bu. Mudah-mudahan, aku kangen sama Hanif. Nanti siapa temen berantemku? Lagipula nanti aku di atas kesepian, kalau kamar Hanif kosong," katanya."Kalau kamu mau ditemenin Ibu atau Bi Ikah, bilang aja ya!""Iya, pengen banget, Bu. Aku nggak mau sendirian," sahut Hani.Kami pulang dan sampai di rumah setelah 30 menit berlalu."Eh, Neng Hani udah pulang," sapa Bi Ikah."Iya, Bi. Hani Alhamdulillah udah baikan dan diizinkan pulang.""Berarti aa Hanif belum boleh pulang ya?" tanya Bi Ikah."Iya, Bi. Bantu doa ya semoga bisa cepet pulang!" sahutku."Aamiiin."Hani kubawa langsung ke kamarnya agar ia bisa segera beristirahat. Setelah ia merebahkan diri, aku mengatur barang-barangnya. Tak lama Bi Ikah membawakan teh manis hangat untuk anakku."Diminum dulu Neng Hani dan Bu Alma," katanya."Eh, Bibi pake panggil Bu segala. Panggil nama aja kenapa sih?""Kan Ibu udah jadi pengusaha sukses, mas

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Menjenguk Hanif

    Tangannya sudah menggenggam, tapi ia belum membuka matanya. Aku bertanya pada perawat, kapan Hanif akan sadar, katanya secepatnya Insya Allah.Aku menungguinya di sini, ya. Di ruangan dingin ini. Sesekali aku, Kang Rahman dan Kang Ikbal bergantian jaga.Hanif sadar pasca sehari dioperasi. Ia memutar matanya, melihat seluruh sudut ruangan tempatnya dirawat. Aku memperhatikan tingkah laku anakku.Alhamdulillah, Hanif udah buka mata. Mudah-mudahan kamu bisa segera keluar dari sini, ya, Nif!" Kuambil tangannya, lalu kucium punggung tangan anakku yang masih kebingungan saat tersadar."Ini dimana?" tanyanya."Di rumah sakit, Nif. Kamu bisa pulang sebentar lagi, ya!" hiburku.Hanif mengangguk, tapi sepertinya ia belum bisa menyerap apa yang terjadi padanya. Ia tertidur kembali, dan aku menjaga di sampingnya. Hingga akhirnya ia terbangun, tapi malah mengamuk."Anda siapa?" tanya Hanif."Aku ibumu. Kamu lupa?" Ia mengangguk. Apa benar ia lupa?"Ya sudah, nggak apa-apa. Ibu ke depan dulu, ya!"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status