Share

Keadaan Kamar Hanifa dan Hanif

Author: Fetina
last update Last Updated: 2024-05-22 11:09:06

Bab 2

"Alma! Cepatlah! Makan dulu yuk! Kamu yang harus makan duluan sebelum kami." Tangan Ibu mencengkeram lenganku. Aku baru perhatikan kalau Ibu memakai banyak perhiasan. Ada lima buah gelang, di kiri dan kanan, serta beberapa cincin di jarinya.

"Iya Bu, sebentar." Aku mengikutinya masuk ke dalam.

Di ruang tamu, sudah berkumpul banyak orang. Ibu membuka acara dan menceritakan pada semua orang kalau ia bangga pada menantunya. Katanya mau makan, tapi malah ada acara seperti ini.

Aku menyenggol ibu agar segera bisa makan.

"Kamu dulu yang mulai, nanti diikuti para tamu," katanya.

Aku manut dan mulai mengambil makan siang menjelang sore ini. Semua menanyakan kabarku. Mereka menanyakan juga penyakitku apakah sudah sembuh?

Aku bingung, selama ini aku tak ada penyakit apapun yang dialami di sana kecuali flu, batuk, pilek.

"Kayaknya udah sembuh. Liat aja dia gemukan sekarang," kata salah satu kerabat Ibu. Aku hanya tersenyum.

"Memangnya siapa yang cerita saya sakit?" Aku menanyainya sekarang.

Ibu tiba-tiba datang dan menyuruh kerabatnya pulang. Katanya dicari oleh suaminya.

"Ya udah, saya permisi dulu," pamitnya. 

Aku sebenarnya capek ingin istirahat, tapi masih banyak orang seperti ini. Karena tak kuat menahan capek, aku putuskan masuk kamarku.

"Eh, Alma maaf ibu lupa kalau kamarmu bukan yang itu," kata Ibu.

"Loh, yang mana, Bu? Ini kamar siapa?" tanyaku.

"Ini kamar Ibu. Kamu di kamar Ibu yang dulu aja, ya!"

Walau sudah direnovasi, letak ruangan masih seperti dulu, yang berbeda hanya luasnya saja.

"Ya udah, Bu." Aku ikut aja apa kata Ibu.

Di kamar, aku sangat mengantuk, rasanya ingin merebahkan diri dan memejamkan mata walau hanya sekejap.

***

Rumah sudah sepi. Kedua anakku juga tak terlihat. Suami dan Ibu juga belum kelihatan.

Aku berjalan menuju kamar anakku.

"Hanifa, Adekmu ada kan di kamar sebelah?" 

"Iya, ada. Hanif tadi sedang tidur, Bu," jawab Hanifa.

Kuperhatikan keadaan kamar anakku. Ranjangnya tak diganti, tas masih yang lama, serta lemari dan lainnya tak menggunakan yang baru.

"Hanifa, kesini Sayang! Ibu mau tanya sama kamu. Selama sama Nenek dan Bapak, apa kalian bahagia?" tanyaku pada gadis berusia sebelas tahun itu.

"Iya, Bu. Aku ... Aku bahagia, Bu," jawabnya sambil menunduk.

"Tatap mata Ibu, Nak. Jangan menunduk. Ibu hanya ingin kebenaran yang terungkap," sahutku sembari mengangkat dagu putriku. Mata kami bertemu, Hanifa menangis. Ada apa ini?

Ia menangis memelukku erat. Hanifa menangis pelan, tidak meraung. Katanya ia takut. Tapi, takut apa?

Aku sudah bisa mengambil kesimpulan, ia tak merasakan kebahagiaan selama ini. Pantas saja Ibu jarang memberikan teleponnya pada kedua anakku untuk berbicara.

"Nenek ... Nenek.--" Tiba-tiba pintu kamar diketuk. Aku segera membukakan pintu.

"Iya, Bu." Setelah kulihat, ibu yang datang. Ia mau berbicara padaku.

"Kesini sebentar!"

"Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku setelah keluar mengikuti Ibu.

"Begini. Rumah ini belum selesai renovasinya. Uangnya sudah habis, Alma. Kamu bisa kasih tambahan ke Ibu?"

"Baru aja aku kirim awal bulan kemarin, Bu. Trus, katanya Kang Ikbal punya mobil, mana mobilnya?" Aku mencari-cari keberadaan mobil yang katanya sudah dibeli suamiku.

"Ikbal sedang pergi, Ma. Sebentar lagi juga pulang," kata Ibu.

"Kemana Kang Ikbal malem-malem?"

"Biasa, bisnis. Dia jual beli batu akik," kata Ibu.

"Bukannya udah nggak musim ya, Bu?"

"Tapi peminatnya masih banyak," jawabnya.

"Gimana, Ma? Yang tadi?"

"Alma aja yang ngurus. Lagipula aku kasihan sama Ibu. Pasti repot terus. Sekarang, Ibu duduk manis aja ya!"

Aku sengaja tidak mau melibatkan Ibu karena ia sudah capek mengurus semua sampai saat ini. Harusnya aku bersyukur Ibu sudah membantuku.

"Bu, kenapa lemari, ranjang dan lainnya di kamar Hanifa tidak diganti? Sementara di kamar Ibu baru semua kulihat."

"Nah itu dia, kekurangan buat beli furniture. Uangnya kehabisan, jadi belum sempat dibelikan," katanya.

"Tapi Ibu bilang semua sudah selesai waktu itu, beli furniture baru."

"Kapan? Mungkin waktu itu belum dilist benar-benar. Kamu nggak percaya sama Ibu?"

Kalau sudah begini, aku saja yang mengalah. Ibu sudah berkorban tenaga dan waktu untuk mengurusi semuanya.

***

Pagi ini, aku belanja ke warung dekat rumah. Ibu-ibu tetangga menyambutku dengan baik. Mereka membahas warisanku yang katanya ada di televisi.

"Teh Alma bisa beli apapun dari uang itu. Pasti teh Alma seneng ya. Tapi, hati-hati sama Ibu mertua teteh," katan

ya.

"Memang ada apa dengan Ibu?"

"Duh, gimana ya? Kita juga nggak mau jelekin, tapi.--"

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Candaan Anak-anak

    "Udah, ini sedang dijalan. Teh Alma mau pesen apa? Biar nanti saya bawakan?""Nggak usah.""Oh ... saya bawakan martabak aja ya. Oya teh, saya mau ngenalin teteh sama kedua anak saya. Kapan teteh kira-kira bisa?"Wah, ada apa ya Kang Rahman sampai nyari waktu buat ketemu anaknya."Mmm kapan ya? Memangnya pada di rumah?""Sedang libur pesantren. Ini juga mereka jalan-jalan sama anak-anak saya, Teh.""Masa?""Ya udah nanti aja pas pulang, tinggal turun. Kenalan sama saya," sahutku."Iya sih. Tapi pengennya ada makan siang di rumah saya, Teh. Teteh dan anak-anak datang ke rumah.""Oh gitu. Ya udah aku pikirkan dulu ya!""Baik, Teh."Kang Rahman jangan-jangan memang masih ingin memperistriku? Rasanya aku takut sekali kalau harus menikah lagi. Apalagi Kang Rahman punya dua anak. Kalau mereka nggak suka aku bagaimana? Kalau Pak RT memang masih bujangan, tapi aku belum sreg dengannya. Ah benar-benar memusingkan.Memang, perceraianku dengan Kang Ikbal sudah tiga bulanan. Tapi untuk menentukan

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Anak-Anak Jalan-jalan dengan Kang Rahman

    "Bu Alma, kenalkah denganku?" Ia membuka cadarnya sebentar. Aku langsung mengenalinya."Tini! Kamu Tini kan? Apa kabar?" Aku memeluk sahabat lamaku waktu jadi TKW di Arab Saudi."Iya, Alma. Aku Tini!" Kami saling berpelukan. "Kamu udah sukses sekarang, Al. Kalau aku belum bisa sesukses dirimu."Kamu mau buka kebab atau nasi uduk? Kenapa nggak menyapaku tadi?" "Malu aku, Al. Masa orang sepertiku menyapa pembicara. Mending kek gini aja, di balik layar. Hehe. Kamu hebat loh kemarin sempet terkenal, ada di televisi," kata Tini."Ah, iya. Padahal aku sedih banget majikanku meninggal. Beliau seperti ayah bagiku. Yang ngajarin aku bisnis itu siapa lagi kalau bukan majikanku," jawabku."Oh gitu. Pantas, pulang dari sana kamu malah pinter bisnis. Semoga akupun ketularan dengan membuka gerai kebab mini dan nasi uduk," ucapku."Eh, ngobrolnya di rumahku yuk! Kangen nih sama kamu," sahut Tini."Nggak bisa Tin, anakku masih pemulihan kemarin mereka sempat kecelakaan," jawabku."Ya Allah, dua-duan

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Bertemu Sahabat

    Luar biasa semangat Kang Ikbal yang mau merubah nasib dengan terus berikhtiar untuk berbisnis.Hanif sudah baikan. Sedikit demi sedikit ia bisa mengingat kejadian sebelumnya. Kadang saat dia inget, langsung ia sebutkan saja."Oya Ibu, aku ingat dulu ibu pergi keluar negeri, trus aku nangis," katanya.Ya Allah, kenangan itu. Saat pertama kali aku akan berangkat ke Arab Saudi. Hanif dan Hanifa menangis terus, mereka bersama Bapaknya. Hanif dipangku oleh Kang Ikbal, sementara Hanifa, ia berdiri di sebelah bapaknya.Saat itu, aku akan menaiki mobil yang akan membawaku ke bandara. Sedih sekali harus meninggalkan suami dan kedua anakku."Ibuu!" teriak Hanif, ia turun dari gendongan bapaknya, lalu mengejar mobilku. Aku yang berada di dalam mobil, tak bisa berbuat apa-apa. Jika aku saat itu turun dan memeluk Hanif, mungkin aku takkan jadi berangkat ke Arab Saudi.Kulihat Hanifa hanya menangis sembari memegangi tangan bapaknya. Satu tangan lagi ia gunakan untuk mengusap wajahnya yang basah.Ak

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Hanif boleh Pulang

    Saat aku kembali ke ruangan, Hanif sedang dipegangi oleh Kang Rahman dan Pak RT. Infusan bergeser, sehingga ada darah yang naik di selang. Gegas Perawat membenarkan posisinya agar tidak ada darah yang tersedot di selang infus.Selain itu, perbannya sudah tercabik-cabik. Perawat membenarkan posisi perban juga. Aku hanya bisa memperhatikan yang dilakukan perawat."Sudah, Bu.""Sus, mengapa bisa demikian ya? Anak saya jadi tiba-tiba mengamuk tanpa sebab," sahutku."Memang ada beberapa kasus seperti anak ibu. Pasca operasi kepala, mereka tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Biasanya dibutuhkan waktu, sehingga harus sabar agar si pasien kembali sembuh," sahut Perawat itu."Ya Allah, terima kasih ya Sus atas keterangannya. Mudah-mudahan saya diberi kesabaran yang lebih," sahutku."Insya Allah, Bu. Buat yang merawat harus tetap semangat berjuang," katanya.Selepas Perawat keluar dari kamar Hanif, kuhampiri anakku. Ia memandangiku."Hanif, tadi kenapa?" Ia diam, mungkin tidak ingat

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Hanifku

    "Hanif masih sakit. Dia tak bisa pulang sekarang, Hani. Insya Allah nanti menyusul ya!" sahutku."Iya, Bu. Mudah-mudahan, aku kangen sama Hanif. Nanti siapa temen berantemku? Lagipula nanti aku di atas kesepian, kalau kamar Hanif kosong," katanya."Kalau kamu mau ditemenin Ibu atau Bi Ikah, bilang aja ya!""Iya, pengen banget, Bu. Aku nggak mau sendirian," sahut Hani.Kami pulang dan sampai di rumah setelah 30 menit berlalu."Eh, Neng Hani udah pulang," sapa Bi Ikah."Iya, Bi. Hani Alhamdulillah udah baikan dan diizinkan pulang.""Berarti aa Hanif belum boleh pulang ya?" tanya Bi Ikah."Iya, Bi. Bantu doa ya semoga bisa cepet pulang!" sahutku."Aamiiin."Hani kubawa langsung ke kamarnya agar ia bisa segera beristirahat. Setelah ia merebahkan diri, aku mengatur barang-barangnya. Tak lama Bi Ikah membawakan teh manis hangat untuk anakku."Diminum dulu Neng Hani dan Bu Alma," katanya."Eh, Bibi pake panggil Bu segala. Panggil nama aja kenapa sih?""Kan Ibu udah jadi pengusaha sukses, mas

  • Kelakuan Aneh Mertua dan Suamiku Saat Aku Pulang Kampung    Menjenguk Hanif

    Tangannya sudah menggenggam, tapi ia belum membuka matanya. Aku bertanya pada perawat, kapan Hanif akan sadar, katanya secepatnya Insya Allah.Aku menungguinya di sini, ya. Di ruangan dingin ini. Sesekali aku, Kang Rahman dan Kang Ikbal bergantian jaga.Hanif sadar pasca sehari dioperasi. Ia memutar matanya, melihat seluruh sudut ruangan tempatnya dirawat. Aku memperhatikan tingkah laku anakku.Alhamdulillah, Hanif udah buka mata. Mudah-mudahan kamu bisa segera keluar dari sini, ya, Nif!" Kuambil tangannya, lalu kucium punggung tangan anakku yang masih kebingungan saat tersadar."Ini dimana?" tanyanya."Di rumah sakit, Nif. Kamu bisa pulang sebentar lagi, ya!" hiburku.Hanif mengangguk, tapi sepertinya ia belum bisa menyerap apa yang terjadi padanya. Ia tertidur kembali, dan aku menjaga di sampingnya. Hingga akhirnya ia terbangun, tapi malah mengamuk."Anda siapa?" tanya Hanif."Aku ibumu. Kamu lupa?" Ia mengangguk. Apa benar ia lupa?"Ya sudah, nggak apa-apa. Ibu ke depan dulu, ya!"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status