Share

7. Bukan Ayah dan Putri

Olive menatap wajah Danan dengan perasaan campur aduk antara kesal juga gemas. Danan semakin tenggelam dalam diamnya, setelah bertemu dengan Shanas. Dalam hatinya, Olive terus mengutuk munculnya Shanas di restoran tadi. Dari sekian banyak restoran di Jakarta, bisa-bisanya adik beda darah itu ada di sana.

Mobil meluncur ke arah apartemen Olive, bukan kembali ke kantor Danan dulu. Gedung apartemen mulai terlihat puncaknya dan Olive mulai tidak nyaman. Ada perasaannya yang mengatakan kalau hubungannya dengan Danan tidak akan berlanjut lagi. Dirinya akan kesulitan bertemu dengan Danan lagi, mengingat tadi ibu angkatnya sudah menelepon dan mengabarkan akan pulang.

Akhirnya mobil berhenti di pelataran depan lobi apartemen. Olive langsung merangkul erat lengan Danan.

"Papa anter aku ke atas, 'kan?" tanya Olive dengan sikap manjanya.

"Papa harus kembali ke kantor. Kan kamu dengar sendiri, Papa mau ada meeting lagi."

"Tapi, biasanya kan Papa selalu antar aku ke atas."

"Ya, tapi ini Papa buru-buru," ucap serius Danan. Ada sedikit kesal dengan sikap manja Olive,

"Ya, udah, aku ikut Papa ke kantor." Olive merajuk layaknya anak kecil. Dia memeluk erat lengan Danan ke dadanya.

"Jangan beginilah, Live." Danan mencoba melepaskan tangannya dari Olive.

Itu justru membuat Olive semakin nekat. Tubuhnya semakin condong ke Danan. Sikapnya sebenarnya bahkan seperti seorang kekasih yang bermanja-manja ketimbang seorang anak gadis pada ayahnya. Danan melirik ke arah sopir pribadinya yang diam mematung. Dalam hatinya penasaran tentang apa yang dipikirkan sopirnya.

"Ya, udah ayo, Papa antar kamu sampai depan apartemen."

Danan memutuskan tidak berdebat. Dia khawatir kalau Olive akan semakin nekat. Gadis yang sudha dia asuh dari bayi, memiliki watak yang sangat keras kepala dan penuntut ulung.

Mendengar itu, Olive bersorak senang. Danan memerintahkan sopirnya untuk parkir dan menunggu, sedangkan dia mengantar Olive.

Selama jalan sampai masuk lift, Danan tidak bicara sama sekali. Bahkan pertanyaan Olive, diabaikannya. Pikiran Danan berkecamuk dengan berbagai hal. Terutama tentang kesalahan yang sudah dia perbuat terhadap Olive. Gadis yang sudah dia rawat dari bayi merah.

Jauh di dalam hatinya, Danan menanggung rasa bersalah yang sangat besar. Namun, jauh di dalam pikirannya, Danan menumpuk pertanyaan tentang alasannya bisa jatuh dalam perbuatan nista itu.

"Mau sampai kapan Papa diamkan aku begini?"

Olive bertanya sembari menyentakkan tangannya yang tadi merangkul lengan Danan, dan itu berhasil menyadarkan Danan yang setengah melamun. Pria itu baru menyadari kalau sudah ada di depan pintu apartemen putri angkatnya.

"Ya, udah. Papa pulang dulu ya," pamit Danan tanpa ada niatan merespon pertanyaan Olive.

"Papa belum jawab pertanyaanku," tuntut Olive.

 "Apa yang mau dijawab sih, Live," keluh Danan. Sikapnya justru semakin membuat kekesalan Olive meradang.

"Papa, kok jadi gini ke aku? Kasar!"

"Maafkan, Papa." Permintaan maaf yang sebenarnya tidak terlalu tulus keluar dari dalam hati. Danan melakukannya ahanya agar tidak ada keributan lebih lama.

"Papa berubah dingin ke aku setelah Mama nelpon. Kenapa?"

"Gak kenapa-napa. Papa harus meeting, papa kembali ke kantor dulu, ya."

"Papa juga gak manggil aku 'Sayang'," protes Olive.

"Papa ke kantor dulu ya, Sayang." Danan memaksakan senyumnya.

"Papa juga tidak emmelukku. Papa juga tidak mencium keningku."

Danan menghela napas panjang dan menunduk lesu. Tuntutan yang sederhana tapi terlalu berat bagi Danan untuk memenuhinya.

"Kenapa, Pa? Kenapa Papa berubah?"

Danan tidak bisa menjawab apa-apa. Sekali lagi dia menghela napas. Kekalutannya membuat Danan lupa untuk menahan diri agar tidak masuk ke dalam apartemen Olive. Pria tinggi itu justru melangkah masuk sampai ke ruang utama yang sekaligus ruang santai.

Danan berbalik dengan putus asa. Menatap Olive yang melenggang santai masuk menyusul Danan.

"Olive, mari kita kembali seperti semula," ucap Danan.

"Maksud Papa?" tanya Olive yang tak melepaskan mata tajamnya dari wajah Danan. Kini dia sudah berdiri tepat di hadapan Danan dengan jarak yang sangat tipis.

"Tentang hubungan kita. Aku, papamu, dan kamu, adalah putri sulungku."

Alis mata kiri Olive sedikit naik, membentuk lengkungan sabit yang justru menakutkan bagi Danan. Tanpa perlu kata-kata, Danan bisa menyimpulkan kalau Olive tidak bisa menerima pernyataan darinya. Jantung Danan berdegup sangat keras. Itu membuat dirinya lemah.

"Masih adakah pilar hubungan antara ayah dan anak untuk kita berdua, setelah apa yang terjadi tadi malam, Pa?"

Sangat kalem Olive bertanya. Tapi di setiap kata yang keluar, mengandung intonasi yang dalam, yang mengaduk kenangan di kepala Danan.

"Masih bisakah Papa melihatku sebagai si putri sulung, setelah Papa menindih tubuhku dan menikmatinya sampai puas?"

Olive maju selangkah. Tangan kanannya merabai dada Danan dengan lembut. Olive sedikit mendongak, memaparkan bibirnya yang setengah dia jilati sendiri agar terlihat basah.

"Apakah ciuman dan cumbuan semalam adalah hal wajar dalah hubungan ayah dan anak?"

Kini tubuh Olive sangat rapat dengan tubuh Danan. Tangan kiri gadis itu terulur ke pipi Danan, merayap sampai ke telinga, dan merabai lembut area di belakang telinga Danan.

"Tubuh kita menempel, lidah kita saling memagut, ciuman kita saling ...."

Saat Olive menjijit, saat itu bagian normal dari diri Danan, menjingkat mundur. Danan melepaskan kedua tangan Olive yang semakin liar bergerak di tubuh Danan. Hal yang hampir mengoyak pertahanan Danan  kedua kalinya.

"Cukup, Olive! Cukup! Papa mohon," ucap kalut Danan.

Pria itu bergerak gelisah, mundur menjauhi Olive. Tangan kanannya mengusap wajah, yang kemudian mengusap kepalanya sendiri, yang akhirnya menjambak rambutnya sendiri dengan gemas.

"Aku tidak bisa begini, Olive."

Olive tercekat karena pertama kalinya Danan membahasakan diri dengan 'aku'. Bagi Olive, itu seperti Danan sednag membangun bentengnya, menjauhi Olive, atau bahkan tidak membiarkan Olive menjadi bagian dari hidup Danan lagi.

"Kita ini ayah dan anak. Tidak peduli kita ini tidak sedarah, tetap di mata banyak orang, kita adalah ayah dan anak. Sulit buatku mengubah status kita menjadi sesuatu yang ... yang ... lebih intim. Itu terlalu berat sekaligus terlalu rumit.," jelas Danan dengan emosi yang menggebu.

Olive menghambur dan langsung memeluk erat Danan. Mendengar ucapan Danan, hati Olive hancur sekaligus takut kehilangan. Olive tidak mau itu.

"Kita bukan ayah dan anak. Kita adalah dua orang yang berbeda. Dan kita saling mencintai."

Olive menangkup wajah Danan dengan kedua jemari tangannya yang lentik dan dingin. Untuk sesaat, Danan merasakan kesejukan dari dinginnya tangan Olive.

"Kita sudah membuktikan cinta kita semalam, Papa."

Olive yang mendongak, menarik turun kepala Danan. Pria itu begitu pasrah. Ada keinginan kuat untuk menjamah bibir Olive lagi. Ketika bibir keduanya saling bersentuhan, tiba-tiba terdengar bunyi denting lift di depan pintu apartemen.

Pintu apartemen terbuka dengan cepat, secepat Olive dan Danan yang saling melepaskan diri. Keduanya menatap ke arah pintu dengan wajah pucat, tercekat.

Rasyid ada di sana.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status