Shanas tak menyangka bila sang kakak mendadak pulang dan bertingkah bak nyonya rumah. Parahnya lagi, Olive bermain gila dengan ayah mereka. Dibantu Rasyid, mantan kekasih sang kakak, keduanya mencoba membongkar kebusukan wanita itu yang ternyata hanyalah anak angkat..... Lantas, apakah Shanas bisa membuat kakak angkatnya tersadar? Atau ... keluarga kecil mereka tak bisa diselamatkan lagi?
View More"Papa kemari. Aku butuh Papa. Sekarang aku hancur. Aku hanya mau Papa di sini. Kalau Papa tidak datang, aku mati saja."
Danan menghela napas khawatir, setiap teringat ucapan putrinya di telepon tadi setelah makan malam. Putrinya lebih banyak menangis, tidak menjelaskan apa yang terjadi. Setiap kali Danan bertanya, Olive akan memekik histeris, menuntut Danan untuk segera ke apartemen sewaannya.
"Aku hanya mau Papa saja yang datang. Aku tidak mau ada Mama."
Permintaan yang aneh, tapi tidak sulit untuk dipenuhi karena Nadia; istrinya, ada pekerjaan ke luar kota.
Hampir dua jam Danan menyetir untuk sampai di apartemen Olive. Waktu yang sedikit lebih lama dari biasanya, karena hujan lebat dan beberapa titik perjalanan mengalami macet. Hujan masih cukup deras dan Danan harus setengah berlari dari parkiran ke apartemen.
Danan sampai di lantai dua puluh satu, tempat Olive tinggal. Di depan pintu apartemen, Danan mengetuk dengan cepat. Dia lupa kalau pintu apartemen Olive menggunakan sistem kunci pintar yang kode sandinya sangat diingat oleh Danan.
Pintu terbuka perlahan. Seorang gadis dengan rambut panjang yang dipotong berlayer-layer, berdiri dengan wajah menunduk. Dia mengenakan kaos putih yang sangat longgar dan hanya menutupi sebagian kecil paha putihnya. Itu adalah kaos santai milik Danan.
Danan melangkah masuk dan langsung menangkup wajah putrinya dengan kedua tangan. Didongakkan kepala Olive yang langsung terlihat bagaimana sendunya wajah putri sulungnya itu. Begitu lembab pipi Olive, bekas air mata.
"Kamu kenapa, Sayang? Ribut lagi sama Rasyid?" Danan berpraduga dari yang biasa terjadi kalau Olive sedih.
Bukannya menjawab, Olive langsung memeluk erat ayahnya dan kembali menangis. Tangan kiri Danan, merangkul Olive, sedangkan tangan kanannya menutup pintu. Setelahnya, Danan menggiring Olive menuju ruang utama. Keduanya duduk bersisian, dengan Olive yang masih menangis di dada Danan.
Danan menatap sekitar yang berantakan. Meja tamu dan sofa, bergeser tidak rapi. Bahkan Danan melihat ada pecahan gelas di sudut dekat meja TV dan pecahan vas bunga di sisi yang lain. Tidak biasanya ada keributan hingga menyebabkan adanya barang yang hancur.
"Sekarang masalahnya apa? Kok, sampai berantakan begini?" tanya Danan sembari membelai kepala dan punggung sang putri.
"Papa ambilkan minum, ya? Biar kamu tenang. Biar bisa cerita," tawar Danan.
Tapi, tubuh Danan ditahan dengan pelukan yang semakin erat. Kepala Olive juga semakin terbenam dalam di dada Danan dengan isakan tangis yang semakin jadi. Danan menarik napas dan menepuk-nepuk lembut pundak Olive. Itu salah satu cara untuk menenangkan putrinya.
"Ya, udah..., nangis aja dulu. Abis itu cerita, terus kita pikirkan penyelesaiannya," ucap Danan yang kemudian menyandarkan tubuhnya, membuat posisi nyaman bagi Olive yang menangis di pelukannya.
"Aku putus." Akhirnya Olive bicara, setelah sekian waktu menangis. Tapi, Olive tidak melepaskan pelukannya dan tetap menyandar di dada ayahnya.
Danan tersenyum samar. Itu bukan yang pertama kalinya.
Hubungan Olive dan Rasyid sudah delapan tahun lebih, tepatnya dimulai saat usia Olive tujuh belas tahun. Usia Rasyid, lima tahun lebih tua dari Olive. Selama ini, Danan melihat hubungan keduanya adalah hubungan yang naik turun. Keributan sebenarnya cenderung dimulai dari Olive yang terlalu banyak menuntut dan pencemburu.
Dananlah yang selalu menjadi penengah dan juru damai, karena yakin kalau Olive mencintai Rasyid, dan juga Rasyid adalah calon menantu idaman bagi Danan dan Nadia, karena latar belakang keluarga Rasyid dan kepribadian kekasih putrinya itu.
"Sekarang masalahnya apa?" tanya Danan sabar.
"Aku sudah gak sanggup lagi, Pa. Aku tidak bisa lagi sama dia." jawab Olive dengan tangisan yang semakin menderu.
"Shhh ... kok malah nyaring nangisnya. Udah, dong. Kan sudah ada Papa di sini."
"Aku sudah gak bisa lagi sama Rasyid, Pa. Aku muak sama dia."
"Memang sekarang masalahnya apa?" tanya Danan.
Olive sudah tidak menangis lagi. Meski begitu, Olive belum mau melepaskan diri dari ayahnya. Raut wajahnya juga menyiratkan kesenduan sekaligus kebimbangan untuk menjawab.
"Apa Rasyid ada dekat sama perempuan lain lagi? Atau, kamunya yang deket sama cowok lain dan Rasyidnya cemburu?" Danan berpraduga atas kebiasaan keributan Olive dengan kekasihnya.
Olive masih diam, enggan menjawab.
"Jangan diam saja. Bagaimana Papa bisa tahu masalahnya kalau kamu gak bicara."
"Pa..., aku gak bisa lagi sama Rasyid."
"Memangnya Rasyid buat salah apa ke kamu?" tanya Danan masih dengan ketenangannya. Danan yakin kalau ini hanyalah keributan yang sama dengan sebelumnya, yang pada akhirnya akan kembali bersama.
"Sepertinya, kali ini aku yang salah, Pa."
Danan terkekeh kecil. Dia masih menganggap kalau masalah putrinya pastilah bukan hal yang rumit dan aneh.
"Ya, kalau kamunya yang salah, kamu dong yang minta maaf dengan baik. Bukan dengan ...." Danan mengarahkan tangannya ke sekeliling, ke kekacauan yang tersebar akibat keributan.
"Gak capek apa ribut terus? Memangnya salah kamu sebesar apa sampai bikin keributan sebesar ini?"
Bukannya menjawab, Olive kembali menggelengkan kepala sebagai jawaban. Gadis berambut panjang itu justru semakin merapatkan tubuhnya ke Danan, menempelkan erat kepalanya di dada Danan.
"Aku sulit mencintai Rasyid, Pa."
Kening Danan mengernyit. Tergambar di wajahnya kalau dia agak bingung.
"Sulit bagaimana?" tanya Danan. "Coba ngomongnya yang jelas sama Papa. Cerita yang runut. Biar Papa paham apa yang jadi persoalan kalian."
"Aku bingung ceritanya, Pa. Aku juga takut buat cerita." Kembali Olive menangis. Kepalanya semakin terbenam di dada Danan.
"Bingungnya kenapa? Takutnya juga kenapa?"
"Aku bingung mau cerita bagaimana. Aku juga takut kalau ...."
"Kalau apa?"
"Kalau Papa dan semua orang akan membenciku."
Lagi-lagi Danan terkekeh geli. Diusapnya lagi kepala dan rambut putrinya, lalu ditangkupnya pipi sang putri yang sembab basah. Dengan kedua tangannya yang lebar, Danan memenuhi kedua pipi Olive. Memberikan tidak hanya kehangatan tapi juga ketenangan. Didongaknya kepala Olive, membuat kedua mata masing-masing saling menatap.
"Papa tidak akan pernah membencimu, Sayang. Papa akan selalu ada buat kamu, untuk semua kebenaran dan kesalahanmu," ucap Danan penuh keyakinan. Diusapnya setetes air mata yang berguulir lagi di pipi Olive, dengan ibu jarinya.
"Papa gak bohong? Papa janji untuk itu semua?"
"Papa janji."
"Papa tidak akan membenciku? Papa tidak akan membuangku?"
"Hahaha..., tidak ada alasan apa pun bagi Papa untuk melakukan itu semua padamu, Sayang."
"Tapi kali ini, Papa punya alasan untuk itu semua."
Danan menatap serius putrinya. Ada perasaan aneh yang menyusup. Ada perasaan khawatir yang mulai membuat Danan gelisah.
"Katakan pada Papa, apa itu?" desak Danan pelan.
Olive menatap lekat-lekat kedua mata ayahnya. Ada tarikan napas yang dalam sebelum kemudian Olive menjawab pertanyaan ayahnya.
"Aku mencintai Papa."
***
Shanas sudah di meja makan lebih awal. Dia adalah seorang yang selalu tepat waktu. Mendului adalah yang terbaik yang Shanas lakukan. Itu menguntungkan baginya, karena dengan begoitu, Shanas bisa mencerna situasinya dan menganalisa kemungkinan.Danan muncul kemudian, tapi tanpa Nadia, karena istrinya itu masih merapikan rambutnya. Danan menyapa putri bungsunya itu, sembari memberikan kecupan ringan di kening. Setelah duduk, kepala Danan celingukan, seperti mencari sesuatu."Kakakmu belum turun?"Shanas menatap heran pada ayahnya dan menaikkan bahu malas."Kak Olive kan di paviliun." Shanas mengingatkan pindahnya kamar Olive."Oh iya..., Papa lupa. Apa dia gak sarapan, ya?" Danan memeriksa jam tangannya dan kini celingukan ke arah belakang rumah yang pintu gesernya sudah dibuka lebar."Udah jam segini, kok belum datang dia? Papa panggil dia dulu, ya." Danan berdiri, hendak pergi ke paviliun."Gak usah, Pa." Suara Nadia yang cukup tegas, membatalkan niat Danan keluar dari kursinya.Nadia
Di tempat tidurnya, Danan terlihat gelisah. Danan sendiri tidak sedang benar-benar tidur. Dia duduk bersandar di sandaran tempat tidur, sembari melihat-lihat konten virtual melalui tabletnya. Tapi Danan tidak benar-benar fokus dengan apa pun bentuk konten virtual yang disajikan, pikirannya justru terpecah pada Olive yang ada di paviliunnya dan Nadia yang masih sibuk dengan sisa pekerjaanya di meja kerja.Danan memeriksa ponselnya yang diletakkannya terbalik—bagian layar menghadap ke bawah. Ada pesan lagi masuk dan lagi-lagi itu dari Olive yang tidak sabar.Olive: Pa, ini udah jam satu lebih lima menit.Danan: Mamamu belum tidur.Olive: Papa bohong, kan? Mama gak pernah tidur lewat jam dua belas malam.Danan mengarahkan kamera ponsel pintarnya ke Nadia yang masih fokus dengan laptopnya dan mengirimnya ke Olive.Danan: Percaya? Udahlah kamu tidur aja. Kayaknya mamamu bakal lebih lama lagi kerja.Olive: Aku tetap tunggu Papa.Danan menghela napasnya kasar. Tanpa dia sadari, suara helaan
Dengan sengaja Olive mematikan semua lampu, kecuali lampu di teras paviliun dan lampu baca di dalam kamarnya. Dia berjalan mondar-mandir di ruang utama, sembari mengintip keluar beberapa kali melalui jendela. Olive menunggu kemunculan Danan. Gadis itu yakin kalau ayah angkatnya itu akan datang menjemputnya kalau tahu dirinya tidak muncul di ruang makan.Seperti yang sudah diduga, Olive melihat kemunculan Danan yang berjalan cepat dan secepat itu juga Olive berlari masuk ke dalam kamar, naik ke tempat tidur, duduk dengan kaki menekuk dan kedua tangan merangkul kaki. Wajahnya memelas, sikapnya benar-benar seperti seornag gadis kecil yang merajuk.Tak lama terdengar suara Danan yang memanggil nama Olive dari ruang utama paviliun. Keheranan karena lampu belum menyala dan Olive juga tidak menyahut. Setelah menyalakan lampu, juga melihat kalau Olive tidak ada, Danan bergerak cepat menuju ke kamar."Kamu kenapa, Live?" tanya Danan sembari melangkah masuk. Ada nada kesal dari caranya bertanya
Dengan wajah berseri-seri dan saling berpegangan tangan, Danan dan Nadia masuk ke ruang makan. Bahkan Danan membuat lelucon yang membuat wajah Nadia bersemu merah dan tertawa lebar. Rupanya, Danan sedang menggoda Nadia perihal permainan mereka di hotel tadi siang.Shanas yang melihat kemunculan kedua orang tuanya, diam-diam tersenyum bahagia. Sebenarnya itu bukan pemandangan yang luar biasa, bahkan itu adalah hal biasa jika Danan dan Nadia masuk ruang makan bersamaan sembari bercanda. Tapi, kali ini terasa ebrbeda bagi Shanas yang sudah berprasangka aneh tentang ayahnya dan kakak perempuannya."Lho, mana Olive?" tanya Nadia sembari matanya mencari-cari.Shanas hanya menaik turunkan pundak dengan sikap tidak acuh. Nadia dan Danan duduk pelan-pelan dengan kepala yang masih celingukan."Kamu gak ajak Olive makan bersama?" tanya Nadia ke Shanas."Enggak. Malas," jawab singkat Shanas.Shanas mengernyit heran dan menoleh ke Danan. Tatapan matanya menyiratkan tanya perihal apa yang terjadi a
Satu jam sebelum sampai rumah"Beri aku alasan kenapa kamu menolakku?" tanya Rasyid dengan tatapan gelap yang menekan Shanas"Aku masih magang," jawab Shanas."Halah, kamu kira aku bodoh? Kamu sudah lulus PKPA dan lolos ujian UPA. Kamu bahkan lulusan terbaik sekaligus termuda. Saat ini kamu magang cuma untuk mendapatkan izin praktek saja. Tapi teknisnya, kamu bisa menerima klien. Ada yang perlu dikoreksi?" Rasyid tersenyum dengan jumawa. Kedua tangannya dikembangkan seolah menantang Shanas untuk menyanggah apa yang sudah Rasyid ketahui tentang hukum juga tentang Shanas.Diam-diam Shanas kagum dengan pengetahuan Rasyid yang selama ini dia anggap hanyalah lelaki manja kaya-raya dan sedikit bodoh."Aku tidak suka mengurusi perintilan. Apalagi ini hanya perihal asmara biasa. Urus saja sendiri!"Shanas segera bangkit berdiri. Perasaannya tidak nyaman jika terlalu lama dekat dengan Rasyid."Bilang saja kamu takut!"Shanas langsung menghentikan langkahnya yang baru dua tiga jengkal. Dia men
Setelahnya Danan tidak banyak bicara lagi, begitu juga Nadia. Masing-masing memilih diam untuk menenangkan diri sendiri, agar keributan tidak menjadi jauh lebih besar.Dalam diamnya, kepala Danan berputar-putar memikirkan cara untuk memebritahukan ke Nadia, perihal kepulangan Olive dan niatan gadis itu untuk kembali tinggal di rumah ketimbang di apartemennya. Danan khawatir kalau itu akan kembali membuat ricuh di antara dirinya dan istrinya.Tapi, jarak ke rumah sudah hampir dekat. Danan tetap tidak menemukan cara dan tidak mendapatkan waktu yang tepat untuk menyampaikan ke Nadia. Akhirnya Danan pasrah. Lebih baik ribut di luar drai pada di rumah, yang bisa dilihat orang-orang di rumah, terutama pembantu dan satpam."Ma..., Olive pulang ke rumah."Seperti yang sudah diduga, Nadia menarik napasnya dengan dramatis, hingga terdengar suara seperti tercekik. Dia menoleh cepat dengan kedua mata mendelik lebar."Sejak kapan? Kok, kamu bilang ke aku, Pa? Kenapa gak ada diskusinya sama aku? Ol
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments