Share

6. Pertemuan Tak Terduga

"Shan, bukannya itu papamu sama Kak Olive?" tanya Renata sahabat Shanas.

Kedua gadis itu baru keluar dari mobil Renata dan berniat akan makan siang yang terlambat karena Shanas ada jadwal sidang bersama seniornya di pengadilan. Restoran yang dituju kebetulan sama hanya saja Renata terpaksa parkir sedikit jauh karena ini masih jam padat orang makan siang.

Shanas ayahnya dan kakaknya dengan cara pandang yang berbeda—pertama kalinya. Gadis itu merasa kedekatan ayahnya dan kakak perempuannya itu agak berbeda, meskipun pemandangan di mana Olive merangkul pinggang ayahnya bukanlah sesuatu yang pertama kalinya. Tapi, Shanas tetap merasa ada yang aneh.

Tanpa banyak bicara, Shanas melangkah cepat mendekati ayahnya dan Olive yang sudah hampir dekat dengan mobil.

"Papa!" panggil Shanas yang langsung menghentikan langkah Danan.

Bergegas Danan dan Olive berbalik. Shanas bisa melihat bagaimana keduanya tampak terkejut. Tak hanya itu, tatapan Shanas yang terarah pada rangkulan Olive, seketika membuat Olive rikuh yang kemudian langsung melepaskan rangkulannya, sedangkan Danan melangkah terlalu cepat, menghampiri Shanas.

Tanpa keduanya sadari, sikap Danan dan Olive, menjadi catatan di hati Shanas. Gadis itu tahu kalau sedang ada yang salah. Hanya saja, tidak tahu di bagian mana yang salah.

"Shanas, kamu di sini?" tanya Danan setelah memberi kecupan ringan di kening sang putri.

"Renata yang ajak. Kok, tumben bisa makan siang bareng?" pertanyaan yang ditujukan ke Danan dan Olive.

"Aku kebetulan ada syuting iklan di dekat sini. Lagi break, aku ajak Papa makan siang bareng," jawab Olive dengan keceriaannya yang berlebihan.

"Papa gak ajak aku?" Tatapan Shanas mengintimidasi Danan.

"Oh, itu..., tadi...." Danan gelagapan untuk menjawab. Dia harus berbohong untuk pertama kalinya.

"Aku yang tadi meminta Papa buat tidak mengganggumu." Olive menjadi penyelamat Danan. Senyumnya diukir di wajah sesantai mungkin.

"Aku tidak merasa terganggu," jawab sarkas Shanas.

"Tapi, kamu kan sedang magang juga buat menambah nilaimu. Aku gak mau kamunya jadi keganggu waktunya kalau aku ajak makan siang. Dan lagi aku kangen Papa."

"Begitu?" Pertanyaan itu lagi-lagi ditujukan ke Danan dengan nada menyudutkan.

"Mmm..., Papa kira juga begitu." Lidah Danan terjulur menjilati bibir bawahnya yang terasa kering tiba-tiba. Itu bukan perilaku yang benar, karena Shanas langsung tahu kalau ada yang sedang berdusta.

Ponsel Shanas berdering. Segera Shanas membuka tasnya. Di saat itulah Danan melihat kesempatan untuk berlalu.

"Papa kembali ke kantor dulu ya, Sayang," pamit Danan.

"Tunggu, Pa! Ini Mama nelpon." Shanas langsung menggapai tangan Danan, mencegah ayahnya pergi.

"Sidangmu sudah selesai?" tanya Nadia dari seberang telepon.

"Sudah, Ma. Ada apa, Ma?" Selalu Shanas tidak berbasa-basi.

"Papamu kok susah banget ya dihubungi. Mama telpon dari tadi gak diangkat-angkat."

Shanas menatap tajam Danan.  Seketika itu juga Danan tahu kalau ada yang sedang salah.

"Papa ada di sini." Shanas langsung mengulurkan ponselnya ke Danan. "Mama telpon kok gak diangkat, Pa?"

"Hah?" Danan terkejut tapi tetap menerima ponsel dari putrinya. "Halo, Ma."

"Papa kok sekarang susah dihubungi? Aku telpon dari tadi gak diangkat," keluh Nadia.

"Aku tadi ada meeting, Sayang. Maaf, ya," jawab Danan dengan tawa kecil, seolah-olah itu bukanlah hal besar.

"Aku tanya sekretarismu, dia bilang kamu lagi makan siang sama Olive. Dan aku sudah nelpon berkali-kali di jam yang harusnya kalian lagi makan. Kok, gak diangkat?"

Danan bisa menilai dari suara istrinya kalau Nadia sedang sangat marah. Ada perasaan tidak nyaman dengan itu, tapi Danan tidak ingin berdebat karena yakin itu akan membuatnya semakin terpojok.

"Aku gak dengar, Sayang." Danan bicara dengan suara yang sangat lembut, berharap itu bisa menenangkan keresahan istrinya.

"Memangnya papa lagi apa ini?"

"Lagi makan sianglah. Sama Shanas ini. Kamu mau omong sama dia?" Danan harus segera mengalihkan situasinya. Keadaannya sudah tidak nyaman, meskipun ini lewat telepon.

"Aku harus kembali ke kantor. Tadi kan meeting-nya sama klien dan belum didiskusikan dengan bagian produksi dan pemasaran. Nanti aku telpon kamu setelah kerjaan selesai. Ya, Sayang?"

Di seberang telepon, raut wajah Nadia terlihat kecewa. Dia merasa ada yang sedang disembunyikan suaminya. Untuk pertama kalinya, Danan susah dihubungi dan juga Danan tidak menanyakan pekerjaannya.

Tapi Nadia berusaha memakluminya. Memang benar kalau setelah bertemu klien dan ada kemungkinan itu memberikan untung terbaik, Danan harus segera mendiskusikan dengan tim terkait.

"Oke. Aku mau makan siang dulu. Hati-hati kamu di sana," ucap Nadia.

"Kamu jangan terlambat makan. Aku baik-baik saja di sini. Telponnya aku kembalikan ke Shanas, ya." Danan menyerahkan ponselnya kembali ke pemiliknya.

"Halo, Ma," sapa Shanas tanpa melepaskan tatapan dinginnya ke sang ayah.

"Ya, udah. Mama mau makan siang dulu. Kamu juga makan, ya. Besok Mama pulang."

Shanas mengiyakan dan setelah basa-basi sebentar, sambungan telepon pun dimatikan. Dalam waktu yang snagat cepat, Danan mencium kening Shanas.

"Papa kembali ke kantor dulu, ya," pamit Danan cepat.

"Aku juga, ya. Mau syuting lagi," pamit Olive yang dibarengi dengan kedipan sebelah mata dan senyum yang riang.

Shanas tidak memberikan reaksi apa-apa. Gadis itu diam saja dengan sikap mengamati. Dia bisa melihat bagaiamana ayahnya terlalu terburu-buru, sedangkan Olive justru terlihat lebih santai. Untuk kakaknya, Shanas tidak bisa menilai apakah itu akting ataukah memang Olive merasa tidak ada yang harus dipermasalahkan.

Padahal, sangat jelas kalau tadi Danan memberikan keterangan yang kurang pas perihal makan siang. Ditambah lagi, Danan tidak menyebutkan adanya Olive, hanya Shanas. Seolah-olah ayahnya menyembunyikan kebersamaannya dengan Olive.

"Hei! Malah bengong," tegur Renata yang sedari tadi diam mengamati dari jarak yang tidak begitu jauh. Dia mendekati Shanas karena melihat kalau shabatnya itu mematung.

"Mereka aneh gak, sih?" tanya Shanas dengan kalimat setengah menggumam.

"Siapa? Om Danan dan Kak Olive?"tanya Renata balik sembari menatap ke jalanan, yang mana mobil Danan sudah sangat jauh dari pandangan.

"Papa tuh gak bilang ke Mama kalau lagi sama Kak Olive."

"Iya gitu?" Renata keheranan tapi kemudian berpikir positif. "Mungkin, kelupaan bilang. Karena liatnya ke kamu, Om Danan jadinya cuma nyebut kamu."

"Tapi, Papa bilang lagi makan siang dan hanya menyebut namaku. Seolah-olah dia abis makan siang sama aku. Padahal kan enggak."

"Ya, seperti tadi aku bilang, itu mungkin karena Om Danan hanya melihat kamu, jadi kesebutnya hanya kamu aja." Renata kemudian merangkul lengan Shanas, mengajaknya berbalik menuju ke restoran.

"Ayo, ah makan. Dah laper," ajak Renata.

"Kamu ngelihat gak kalau Papa sama Kak Olive itu agak beda?"

"Mmm..., gak yakin, sih. Kayaknya sama aja. Yang bikin beda, mungkin karena gak ngajak kamu makan siang bareng, karena kan biasanya kalau keluar sama orang tua, di mana ada Kak Olive, pasti juga ada kamu.

Tapi..., bukankah itu terlalu kekanak-kanakan kalau kamu harus menyoalkan itu?"

Shanas diam. Ucapan sahabatnya ada benarnya. Itu memang terkesan kekanak-kanakan. Hanya karena tidak diajak, Shanas merasa cemburu dan lalu berprasangka.

"Tetap saja aku merasa ada yang berbeda. Ini bukan kecemburuan, Ren."

"Lalu ini tentang apa?" tanya Renata.

"Ini tentang Papa yang sepertinya sedang menutupi sesuatu. Tapi, aku tidak yakin itu apa. Dan tentang Kak Olive...."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status