“Kamu serius mengundurkan diri, Ri? Udah dipikir bener-bener?” Maya, rekan kerja Riana bertanya lagi.
Riana mengangguk. Malas menjawab. Maya sudah bertanya empat kali, sejak tadi pagi Riana memberitahukan hal tersebut kepadanya. Single parent dengan satu anak itu bahkan telah melihat surat pengunduran diri Riana, dan tahu betul jika Riana sudah menghadap bagian personalia untuk menyerahkan surat tersebut.
“Apa suamimu yang mendesakmu untuk berhenti kerja?” Maya masih mencecar.
Riana menghela napas panjang, kemudian menatap Maya. “Oke, aku kasih tahu alasan sesungguhnya karena kamu teman aku sedari dulu, tapi janji ini rahasia ya.”
“Iya, iya,” jawab Maya. Air mukanya berbinar penuh pengharapan.
Riana malah tertawa. “Dasar tukang gosip, kalau dikabarin ada rahasia langsung responnya girang banget kayak menang undian,” tukas Riana.
“Hish, apaan sih. Udah cepet kasih tau.”
“Ya emang bener, Mas Jagat dan keluarganya yang minta aku resign—“
“Tuh kan, udah aku duga. Enggak ada masalah apa-apa tiba-tiba resign.” Ganti Maya yang menukas tajam. “Aku kasih tau kamu ya, Ri, jangan mau disetir sama suami dan keluarganya. Kita sebagai perempuan harus punya prinsip, apalagi kalau mereka nyuruh resign. Beuh … itu perangkap paling bahaya. Kamu itu hanya akan dijadiin babu di keluarga mereka, udah gitu nanti direndahin karena kamu enggak punya uang sendiri!”
Riana terkikik.
“Eh, aku serius loh, Ri. Cukup aku aja yang gini, kamu jangan. Lelaki jaman sekarang susah banget dipercaya, meski udah resmi jadi suami kita. Jadi kita harus tetap mandiri, punya pegangan sendiri,” tambahnya berapi-api.
“Ini kamu lagi kasih tau apa lagi curhat soal hidup kamu sih, May?” ledek Riana, masih dengan derai tawa.
Maya meringis. “Ya sekalian lah, Ri. Tapi bener, aku enggak ingin kamu mengalami nasib yang sama kayak aku.”
“Insyaalloh enggak, May. Aku resign karena ada rencana bisnis sendiri, Mas Jagat dan keluarganya mau kasih aku modal.”
“Waaa, keren banget. Ih beruntungnya kamu dapat jodoh orang bener, keluarganya juga bener.” Suara Maya yang semula penuh nada kebencian, berubah total menjadi suka cita dan ceria.
“Iri aku sama kamu, Ri. Iri yang positif ya, bukan iri dengki,” kata Maya lagi seraya tertawa. “Udah dapat suami ganteng, kaya … eh masih ditambah bonus keluarganya baik pula. Emang beda ya kalau orang berpendidikan sama enggak. Secara papa mertuamu dosen, mama mertuamu kepala sekolah, pasti beda cara pikirnya sama mantanku dan keluarganya yang enggak ngerti ilmu dan adab.”
Reflek Riana menyeringai kecut. Seandainya Maya tahu yang sebenarnya ….
“Eh, betewe mau usaha apa, Ri?”
“Mungkin aku mau buka toko roti,” jawab Riana mantap.
“Heh, kok masih mungkin, ini baru rencana atau gimana? Kalau baru rencana jangan resign dulu, Ri. Takut kamu dibohongin, kayak mantan ….” Maya sengaja tidak meneruskan ucapannya. Tiba-tiba dia tertawa sendiri. “Oh, lupa. Suamimu beda ya sama mantan suamiku, apalagi mertua kamu.”
“Mertua aku udah transfer uangnya kok, makanya aku berani resign.”
“Mantap!” Maya berseru.
“Doain aku ya, May. Jangan lupa sama aku,” ujar Riana tulus.
“Hmm … paling yang ada juga kamu yang lupa sama aku, Ri. Bentar lagi sukses jadi juragan roti.”
Mereka tertawa berbarengan.
“Duh, iri sama hidup kamu. Amalan apa sih yang kamu punya sampai bisa dapat suami baik sekaligus mertua idaman gitu. Bagi rahasianya, Ri.”
Riana mencelos mendengar ucapan Maya tersebut.
Hari berganti.
Tepat tiga bulan dari pengajuan surat pengunduran dirinya, Riana telah resmi menyandang ibu rumah tangga sejati. Proses untuk membuka toko rotinya masih dalam tahap perencanaan. Menurut Jagat, meskipun Riana hobi membuat roti dan kue, namun untuk tujuan komersil Riana perlu mengikuti semacam kursus atau pelatihan seluk beluk bisnis tersebut. Saran yang sangat masuk akal, sehingga Riana memutuskan untuk mengikuti masukan dari suaminya tersebut.
Riana membuka telepon genggamnya. Sembari beristirahat setelah dia mengepak barang-barang yang akan dibawa ke rumah baru, dia memanfaatkan waktu untuk membaca lagi materi yang dia dapat semalam saat mengikuti webinar ‘membangun bisnis kuliner’.
Tiba-tiba layar teleponnya berganti menjadi panggilan telepon dari Jagat.
“Dek, bayinya Karisma sudah lahir.”
Riana terbengong.
“Dek … Dek!”
“Eh, iya, Mas. Gimana?”
“Bayinya Karisma udah lair, perempuan,” ucap Jagat lagi.
“Oh.” Hanya itu yang mampu Riana ucapkan. Dia bingung, mendadak isi kepalanya bersliweran macam-macam pikiran. Rencana untuk menikmati hari pertamanya menganggur dengan santai, pupus sudah.
“Papa akan kirim dua orang ke rumah kita, mereka suami istri yang akan bantu kamu agar beres-beresnya selesai hari ini, sebab besok siang kita akan langsung pindah ke rumah baru, setelah ambil bayinya.”
“Mungkin setengah jam lagi mereka sampai,” kata Jagat lagi setelah menunggu Riana beberapa detik belum juga merespon. “Kamu enggak usah bingung makan siang mereka dan lain-lainya udah diurus sama Mama.”
Riana tidak menyahut.
“Dek ….”
“Iya.”
Riana masih terbengong. Bahkan sampai panggilan itu berakhir.
Besok dia akan jadi ibu, dari anak yang … ah, entahlah. Tidak ada persiapan apa-apa mengenai hari besar besok. Selama tiga bulan ini, Riana menjalani hidup seperti biasa saja. Jagat dan dirinya tidak pernah membicarakan soal bayi atau kelakuan Papa setelah pertemuan yang dulu.
Yang berbeda justru perhatian Jagat. Lelakinya itu menjadi lebih lembut dan cenderung berlebihan memanjakan dia. Pun dengan Papa dan Mama.
Mata Riana berkaca-kaca. Entah mengapa dia merasa menjadi boneka yang tengah dimanfaatkan.
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp