Riana dijemput jam sebelas lebih dua puluh menit. Dia menyangka Jagat akan membawanya ke rumah sakit terlebih dahulu, ternyata saat membuka pintu mobil bayinya sudah berada dalam pangkuan Mama.
“Ayo, Ri, masuklah,” kata Papa yang duduk di sebelah Jagat. “Ma, biar Riana yang gendong si bayi, kan Riana mamanya.”
“Oh iya,” sahut Mama. Segera dia ulurkan bayi itu kepada Riana. “Wah, Gat, ternyata Riana luwes juga bawa bayinya. Wah, wah emang udah pantas banget jadi Mama.”
Jagat tertawa senang, lalu menoleh sebentar ke arah belakang, namun saat dilihatnya wajah Riana yang kaku tanpa ekspresi, tawa Jagat segera lenyap.
“Ri, liatlah, dia cantik sekali kan? Namanya Anindya Rahisma, dipanggilnya Anin.”
“Udah langsung diberi nama?” seru Riana, tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
Mama tertawa sumbang. “Iya … Karisma yang kasih nama.”
Riana diam tidak merespon, sibuk memandangi mahluk mungil yang tengah terlelap tenang dalam pangkuannya. Kulit bersih, hidung mancung dan bibir yang merah segar. Tanpa sadar Riana tersenyum. Ditempelkan hidungnya pada pipi Anin. Bau harum bayi menyeruak ke seluruh indera miliknya. Senyum istri Jagat itu merekah semakin lebar, ketika dia mencolek hidung Anin, dan bayi itu menggeliat pelan.
Riana memandang Mama, lalu tersenyum. Sepertinya Riana langsung jatuh cinta pada Anin. Mama memeluk Riana, paham apa yang ada dalam benak menantunya.
Mobil terus melaju. Sekitar dua puluh menit kemudian, berbelok pada gerbang kokoh nan megah. Satpam perumahan mewah yang menjaga di situ tersenyum dan mengangguk, sembari membuka portal.
“Selamat siang Pak Jagat!” serunya.
Jagat hanya membalas dengan anggukan kepala.
Mobil kembali bergerak. Kini menuju ke kiri, melewati dua blok sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah dengan pagar besi berwarna cokelat kayu. Terlihat Ibu dan Bapak berdiri di teras dengan senyum sangat lebar. Di samping Ibu ada dua orang perempuan dan satu laki-laki.
Perempuan yang paling muda tergopoh mendekat ketika Papa membukakan pintu untuk Riana.
“Ri, ini Suster Dian, yang akan membantu mengasuh Anin,” kata Papa.
“Bu.” Dian memandang Riana sekilas, kemudian menundukkan kepala, khas seorang pekerja kepada majikannya. Tangan Dian mengulur hendak meraih Anin, namun Riana menepis.
“Biar saya saja, Sus,” kata Riana.
Mama dan Jagat berpandangan dengan mata suka cita.
“Sus Dian ini meski masih muda tetapi dia sudah berpengalaman, dan kerjanya bagus. Jadi kamu enggak perlu kuatir, pasti Anin diurus dengan baik sama Sus Dian,” ujar Mama saat mereka sudah sama-sama turun. “Sus, tas ASI yang di mobil diambil dulu, nanti setiap pagi jam tujuh, ada orang yang mengantar ASI ke sini.”
Sus Dian mengangguk dan menjalankan perintah Mama.
“Nah kalau ini Mak Wati dan Pak Rusli, mereka suami istri yang akan membantu kamu mengurus rumah ini,” Papa menimpali.
Riana mengangguk. “Kalau begitu, aku tidurkan Anin dulu ya.”
“Ibu ikut, Ri,” Ibu berseru sambil menjejeri langkah putrinya. Di telinga Riana, Ibu berbisik, “Rumahmu bagus banget, Ri. Ibu dan Bapak sudah sempat keliling tadi. Ada kolam renangnya juga, enggak nyangka sebagus ini. Ya Alloh, begjo banget kamu.”
Riana tersenyum. Ibu dan Bapak memang baru kali ini melihat rumah barunya. Riana sendiri tidak menyangka akan dibelikan rumah semewah ini. Bahkan barang-barang bawaan dari rumah yang dulu, akhirnya ditempatkan di kamar pembantu, sebab sudah ada penggantinya yang jauh lebih bagus.
Sejak saat itu Riana menjadi nyonya besar. Dia hanya fokus mengurus Jagat, itu pun hanya soal mengatur menu makan, sebab yang lain sudah diurus oleh Mak Wati dan Pak Rusli. Sebagian besar waktunya digunakan untuk menimang Anin. Bahkan niat untuk membuka toko roti sengaja dia tunda terlebih dahulu.
Setali tiga uang dengan Riana, Jagat yang semula kaku dan tidak pernah menyentuh Anin, semakin hari malah semakin terlihat intim. Tidak jarang suami istri itu berebut untuk menggendong Anin.
Tiga bulan berlalu. Anin tumbuh menjadi bayi gembul yang menggemaskan sekaligus cantik. Riana yang bangga dengan bayinya, hampir setiap hari mengajak Anin jalan-jalan keliling kompleks.
“Baby Anin, aduh gemes,” sapa tetangga sebelah yang hendak keluar. Perempuan muda itu bahkan turun dari mobilnya hanya untuk mendekati Riana dan Anin.
“Anin semakin lama kok plek ketiplek papanya ya, Kak,” ceplosnya sembari membuat mimik lucu agar bayi itu tertawa.
Deg. Riana mencelos.
“Anin mirip Papa? Papa Jagat dalam versi mini ya?” tetangga itu masih bicara kepada Anin dengan nada khas membuat bayi tertawa.
Riana bergegas masuk rumah setelah tetangganya berlalu. Dia meletakkan Anin di kasurnya, lalu dia pandangi dalam-dalam. Sampai hitungan ke sepuluh detik, Riana lemas. Baru sadar sekarang, jika Anin memang mirip Jagat.
Rambutnya ikal, sama dengan milik Jagat. Kulit putih, mata bulat ….
“Ya Alloh,” desis Riana. Tubuhnya sudah ambruk di sisi Anin. “Kenapa aku bisa sebodoh ini?”
“Dek, lagi ngapain begitu?” Jagat keluar dari kamar mandi sembari tertawa geli. Yang mata lelaki itu lihat, istrinya seperti sedang bertingkah menyerupai Anin. Sama-sama terlentang dan menatap langit-langit kamar.
Riana bangkit untuk duduk, memandang Jagat dengan dada naik turun. Emosinya tiba-tiba menggunung di ujung pikiran. “Mas, jujur sama aku ya—“
“Hei, ada apa?” Jagat kalut, suara Riana begitu tinggi dan penuh kebencian. Dia segera mendapatkan tubuh Riana, namun perempuan itu menepis dengan spontan.
“Aku tidak akan berbasa-basi, atau menangis-nangis seperti perempuan lembek!” Riana melengking. Entah mengapa dia teringat ucapan Vivi.
Anin yang kaget menangis dengan kencang. Jagat mengambil Anin. “Sabarlah, Dek. Kamu bikin Anin takut.”
Jagat menimang Anin sebentar, dan bayi penurut itu langsung diam. Wajahnya merah, melongo lucu menatap Riana. Ekspresinya benar-benar serupa dengan yang Jagat tunjukkan.
Sekuat tenaga Riana menahan tangis. “Anin itu anak kandungmu kan? Anak hasil selingkuhanmu? Ini adalah rekayasa kamu untuk membodohi aku. Iya kan, Mas?”
“Astafirulloh, Dek. Kenapa sampai ada kepikiran seperti itu?”
“Aku baru sadar pagi ini, Mas. Kalau ternyata Anin itu mirip sekali sama kamu.” Suara Riana sudah melemah. Dia sebenarnya tak sanggup mengatakan hal itu, tapi dia juga tidak ingin diam seperti perempuan tak berdaya.
“Demi Alloh, Dek, Anin bukan anak kandungku.”
Riana menatap Jagat. Matanya seperti seekor singa betina yang tertusuk tombak.
“Aku harus bersumpah apa lagi biar kamu percaya? Demi Alloh, Anin bukan anak kandungku. Kalau sampai aku berbohong, biar aku dan sekeluargaku tidak selamat, termasuk Anin.”
“Riana percayalah, Anin itu bukan anak kandung Jagat. Tapi adik Jagat lain ibu, kan wajar jika Jagat dan Anin mirip. Jagat, Tyo dan Anin kalau disandingkan sudah pasti akan mirip, karena memang mereka satu ayah,” kata Mama. “Adapun kulitnya yang sama-sama putih itu karena Karisma berkulit putih.”Wanita lima puluh satu tahun itu tergopoh-gopoh datang saat Jagat menelepon. Jagat mengabarkan bahwa dia sudah kewalahan saat Riana terus menerus mendesak sambil mengamuk. “Tidak ada yang Jagat sembunyikan dari kamu, Sayang. Jangan curiga kepada suamimu sendiri,” ucap Mama. “Mama pun bersumpah, demi Alloh Anin itu bukan anak kandung Jagat. Kalau kamu kurang percaya, dan Jagat harus disumpah di bawah kitab suci, ya ayo kita lakukan. Kamu pasti bersedia kan, Gat?”“Bersedia, Ma,” jawab Jagat. Pelan tapi tegas.Riana menatap dengan mata meradang. “Kalau begitu aku mau tes DNA untuk mencari kebenarannya.”Mama tersenyum. “Ri, DNA Anin tentu saja akan mirip dengan Jagat. Kan sudah Mama bilang, An
“Mbak Riana?”Riana menoleh. Mata bundarnya melihat sesosok perempuan cantik berkulit putih dengan badan berisi. Riasan naturalnya begitu sempurna dipadu dengan dress panjang semata kaki yang tampak casual. Tidak ada kesan centil sama sekali, seperti yang Riana pikirkan.Dalam bayangan Riana, Karisma adalah wanita muda yang centil dengan dandanan cetar ala-ala pelakor di drama yang sering dia tonton. Ternyata perempuan yang diakui sebagai selingkuhan Papa ini terlihat kalem dan dewasa. Apakah ini yang dinamakan air tenang menghanyutkan? “Saya Karisma, panggil saja Karis,” katanya lagi seraya mengulurkan tangan. “Boleh saya duduk?”“Oh, iya iya, silakan,” jawab Riana tergagap-gagap.Perempuan bernama Karis itu menggeser kursi dan duduk dengan anggun. Jari jemarinya bergerak berirama untuk merapikan rambutnya. Mata Riana sempat menyipit ketika cincin cantik di salah satu jari Karisma terkena paparan cahaya. Begitu berkilau cemerlang. Mungkin itu cincin berlian asli.“Sebelum memulai pe
“Loh, kok Mas ada di rumah?” Riana terkejut bukan main saat melihat Jagat tengah makan siang sendiri. Bagaimana bisa lelakinya secepat itu sudah berada di rumah? Jika Jagat mengantar Karisma ke suatu tempat, seharusnya Riana yang sampai terlebih dulu. Mengingat jalanan pada jam segini lumayan padat, apalagi mengendarai mobil. “Kamu udah makan, Dek? Eh, iya kamu abis ketemuan di resto ya pastilah udah makan,” seloroh Jagat dengan suara tanpa beban. Tidak menjawab pertanyaan istrinya. Riana memindai isi piring Jagat, mungkin tinggal satu atau dua suapan. Dengan porsi makan Jagat yang dia tahu betul, sudah pasti suaminya mulai makan sekitar sepuluh menit yang lalu. Rasanya mustahil …. “Apa ada sesuatu, Dek?” Jagat membuyarkan lamunan Riana, dia terlihat meletakkan sendok untuk menjeda makannya. Menatap Riana bulat-bulat. “Apa Karisma ngomong macam-macam sama kamu?” “Macam-macam gimana?” tukas Riana cepat. Mata perempuan itu segera memicing waspada saat melihat sang suami sedikit ter
“Jadi kamu ditanya juga sama Ibu?”“Iya, tapi aku jawab sesuai yang diajarkan Bu Widya aja. Cari aman lah, Mak.” Riana mendengar suara Mak Wati dan Sus Dian. Kaki perempuan dua puluh enam tahun itu spontan berhenti melangkah. Niatnya untuk pergi ke kamar Anin, dia urungkan. Riana ingin mendengar pembicaraan mereka lebih lanjut. Sebutan ‘Ibu’ sudah pasti ditujukan kepada dirinya. Yang membuat dia lebih tertarik adalah jawaban dari Sus Dian. Memangnya Mama mengajarkan apa kepada pengasuh Anin itu?“Suruh jawab mirip putihnya doang ya?” tebak Mak Wati.Sus Dian tertawa. “Iya. Mak juga disuruh gitu?”Riana hanya mendengar derai Mak Wati. Mungkin di balik tembok ini Mak Wati sedang mengangguk. Hati Riana mencelos, bukankah suaminya juga berucap yang sama? “Mirip dari mananya coba? Putihnya mungkin iya,” batin Riana melagukan ucapan Jagat tadi.“Kasihan Ibu, dia baru dengar dari satu orang aja udah kebakaran jenggot. Padahal kalau pas aku yang ajak Anin keluar, semua orang kompleks selal
“Gimana menurut kamu, Dek?” Jagat memandang istrinya dengan mata berbinar. Seolah dia baru saja menemukan bongkahan berlian. Riana mengangguk ringan. Bibirnya melebar, membuat senyum seluas mungkin. “Wah kapan, Mas? Aku jadi enggak sabar. Hitung-hitung bulan madu kedua ya!” ujarnya berseru. Terdengar terlalu antusias. Jagat tertawa. “Sabar, Dek, aku perlu mengajukan cuti dulu. Kamu kan tau proses cuti di kantorku lumayan ribet. Paling cepat tiga minggu ke depan, kecuali kalau kita pergi ke tempat dekat aja, misal Jogja atau Dieng? Kita bisa pergi jumat sore, dan pulang minggu siang.” “Tapi aku pengennya ke Lombok atau Labuan Bajo, boleh ya?” Mata Riana membesar, lagi-lagi menunjukkan ekspresi antusias yang begitu tinggi. Meskipun jauh di dalam hatinya dia ingin muntah mendengar suaranya sendiri. Semoga Jagat tidak dapat mendeteksi kebohongannya. “Boleh, boleh … tempatnya kamu yang tentuin, tapi ya itu sabar ya. Duh, aku kebelet pipis,” ujar Jagat seraya berdiri, lalu berlari menuj
“Dek?” Jagat membulatkan mata. Riana meringis tipis. Dia tahu, pasti suaminya kaget sekaligus senang. Reaksi yang sama baru saja ditunjukkan oleh Sus Dian. Sedari subuh Anin menangis, dan sepertinya profesionalitas dan pengalaman Sus Dian tidak banyak menolong. Riana mencuri dengar ketika Mak Wati menceplos ,”Anin pasti kangen sama mamanya, bayi mana ngerti kan kalau Bu Riana bukan mama kandungnya. Orang dari melek Anin ngertinya mama dia adalah Ibu Riana.” Hati perempuan ramping itu bergetar. Langsung mengucap istigfar sebanyak yang dia bisa. Apa pun yang terjadi, seharusnya dia tidak boleh begini kepada Anin. Bayi suci ini hanya korban ketidakwarasan orang-orang dewasa. Akhirnya Riana mendekat dan Anin langsung riang ketika berpindah tangan dari Sus Dian kepada dirinya. “Anin seneng ya digendong Mama? Berarti kita sama, Nin,” Jagat menyeringai sambil mendekat. “Papa juga seneng digendong Mama.” Riana mencubit perut Jagat dengan samar, dan lelaki itu tergelak. Tanpa malu, Jagat
“Pak Rusli,” desah Riana. Dia langsung setuju dengan Abang sangar bahwa dirinya telah dibuntuti. Memangnya mau apa asisten rumah tangganya di depan mini market dengan leher menjulur ke sana ke mari, kalau tidak sedang mencari tahu keberadaan dirinya?Riana tersenyum lega, setidaknya dia belum sampai ke rumah sakit. “Terima kasih ya, Bang,” kata Riana kepada si Abang yang ternyata tukang parkir di situ. “Sebaiknya Ibu hati-hati, keluarnya nanti aja setelah orang itu pergi,” kata pramuniaga. “Semoga Bang Herman bisa mengusirnya.”Mata mereka berdua menyaksikan Bang Sangar, eh namanya Bang Herman, mendekati Pak Rusli. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat Pak Rusli mengeluarkan sebungkus rokok. Tangan Bang Herman mengulur santai menerima, dan cus … rokok menyala di sela bibir lelaki bertato itu.“Menurut saya, Ibu telpon suami atau saudara Ibu saja, supaya mereka jemput di sini,” ucap pramuniaga lagi. “Oh, iya.” Riana berbinar, bagi telinganya ide itu sungguh cemerlang. Dia mengel
“Nah gitu, paham kan?” Maya mengulur napas lega, setelah panjang lebar menjelaskan langkah-langkah cara memeriksa aplikasi perpesanan. Sahabat Riana sejak kuliah itu pernah menyadap telepon genggam milik mantan suaminya untuk mendapatkan bukti bahwa ayah dari anaknya itu memang punya perempuan lain. “Kalau ternyata benar disadap, kamu kirim pesan ke nomor ini, tapi kalau aman ke nomorku yang biasa. Nanti kita baru cerita, aku penasaran apa yang terjadi sama kamu. Pokoknya kamu harus cerita detail dan lengkap ya, Ri.”Telepon ditutup.Tangan Riana bergetaran seperti melihat hantu paling menyeramkan sedunia. Bulu kuduknya memang tidak meremang, tetapi tengkuknya sudah basah keringat. Ada yang bergolak dalam perutnya, semacam rasa sakit yang merangsang area tenggorokannya menjadi tidak nyaman.Ah … dada yang tadi terasa terhimpit tiba-tiba menjadi lega. Ternyata Jagat tidak menyadap teleponnya. Atau jangan-jangan karena belum sempat? Perut Riana bergolak kembali. (Aman, May.)Segera te