“Kejutan, Ri!”
Riana terlonjak, benar-benar terkejut.
“Ibu? Bapak?” Mata perempuan ramping itu membola sempurna, menatap dua sosok yang sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
Baru sekitar dua jam lalu Riana membawa nama mereka dalam menghindari bujuk rayu mertuanya di telepon, dan kini …. Apakah Mama benar-benar menyuruh orang tuanya ke sini?
“Haish, kita enggak disuruh masuk, Bu,” kata Bapak seraya tertawa. “Yang punya rumah malah melotot tok.”
“Boro-boro, Pak, dari tadi salim aja enggak,” sahut Ibu. Mencetuskan tawa lebih kencang daripada Bapak.
“Eh, ma-maaf … masuk, Bu, Pak.” Riana membuka daun pintu lebih lebar, setelah itu gegas dia ambil tangan Bapak dan Ibu bergantian. Dicium satu per satu dengan takzim.
“Loh, ada Bapak dan Ibu. Baru sampai?” Jagat datang dari arah luar rumah, menenteng tas kresek. Dia baru saja membeli cemilan di warung dekat rumah.
Lelaki itu pun sama terkejutnya dengan sang istri. Mata Jagat dan Riana saling bertatap sembari memberi kode satu sama lain, seakan-akan bicara, “Ada apa ini? Jangan-jangan ….”
“Nak Jagat, Bapak tadi pagi panen pisang sama jagung, tapi maaf enggak sanggup bawa banyak. Besok ya kalau Bapakmu udah bisa beli mobil, Bapak bawakan lebih banyak,” kelakar Bapak.
Hanya Ibu yang tertawa menanggapi candaan Bapak, Riana dan Jagat hanya mampu melebarkan mulut tanpa mengeluarkan suara. Kepala sepasang suami istri itu sudah penuh dengan prasangka.
Jagat menyerahkan kresek kepada Riana, kemudian dia membantu Bapak menurunkan bawaan yang memang tampak memenuhi motor. Selain buah tangan yang disebutkan Bapak tadi, ternyata ada singkong beserta daunnya, pepaya, sukun dan cabe merah.
Orang tua Riana tinggal di desa dan menggarap kebun mereka yang tak seberapa luas. Mereka memang sering mengirim hasil kebun, tetapi selama ini tidak pernah datang tiba-tiba, terlebih waktu sore mendekati petang seperti sekarang. Kampung Riana berada di lereng gunung, jika ditempuh memakai kendaraan menghabiskan sekitar satu setengah jam dari sini. Jalanan memang sudah beraspal halus, namun penerangan masih minim.
“Kalian berdua ini dari tadi kenapa to? Kok bengang bengong terus, lagi ada masalah?” tanya Ibu. Saat ini mereka berempat sudah duduk di dalam. Riana sudah menghidangkan kopi hitam kesukaan orang tuanya.
Riana dan Jagat berpandangan, melempar senyum tipis. Belum sempat Riana menjawab, telepon Ibu berdering.
“Loh dari Mamanya Nak Jagat? Ada apa ya?” Ibu heboh sendiri. Namun demikian dia segera menjawab panggilan tersebut.
“Saya malah lagi di rumah Nak Jagat ini, Bu,” jawab Ibu berderai setelah mereka saling memberi salam dan berbasa-basi. “Oh, nggih … nggih, Bu.”
Ibu menutup telepon, wajahnya sudah sumringah luar biasa. Dia mengedar pandangan pada semua orang di situ, lalu berkata, “Papa Mama kalian akan ke sini.”
“Hah,” Jagat terlolong. Sekali lagi dia kaget.
“Hish, Ri, jangan bengong … ayo ikut Ibu ke dapur. Kita goreng singkong sama pisang, mertuamu mau datang loh!” Ibu berdiri, langsung menuju ke dapur.
Riana menatap Jagat. “Mas ….”
“Nak Jagat, ayo kita pindah di luar, lebih adem,” Bapak menyerobot ucapan. “Bisa leluasa merokok juga hehe. Ayo, Nak!”
“Eh, iya, Pak.”
Bagai dicucuk hidungnya, Jagat menurut saja. Sebelum berlalu Jagat menoleh kepada istrinya dan mengedikkan bahu.
“Ri, bantuin! Malah ngelamun, nanti keburu Mama kamu sampai.” Ibu melongokkan kepala.
Riana datang. Ibunya tengah mengupas pisang dengan cekatan, sesekali senyum tersungging dari bibirnya. Gerakan Ibu sangat ringan dan terkesan bahagia.
“Bu, jujur sama Riana ya, sebenarnya Ibu datang karena disuruh Mama atau kemauan sendiri?”
Ibu berhenti sejenak dari aktivitasnya. “Memang apa bedanya? Apa Ibu enggak boleh ketemu sama besan sendiri?”
“Jadi Ibu udah tau kelakuan rendah Papa?” Riana setengah menjerit.
“Hush, yang sopan kamu sama mertua kamu, Ri. Bagaimana pun dia sudah menjadi orang tuamu, kamu wajib menghormati Papa seperti kamu menghormati Bapak kamu sendiri.”
Riana melenguh panjang. Dia hendak pergi keluar, berniat memberitahu tentang ini kepada Jagat. Baru satu langkah, Ibu menarik tangannya segera.
“Tunggu, Ri, Ibu mau bicara penting sama kamu,” kata Ibu. Suaranya meninggi, pertanda wanita yang telah melahirkan Riana dua puluh enam tahun silam itu tidak ingin dibantah.
“Ri, ini saatnya kamu berbakti sama orang tuamu. Tolong tutup aib keluarga suamimu, pahalamu besar.”
Riana menelan ludah berkali-kali, matanya mulai memanas. “I-ibu ke-kenapa enggak tanya perasaan aku dulu?”
“Percaya sama Ibu, Ri, ini demi kebaikanmu juga. Selain kamu berbakti kepada mertuamu, kamu juga bisa merawat bayi sebagai pancingan agar kamu bisa segera hamil. Jujur Ibu takut kamu nanti kayak kakak iparmu yang angkuh itu, enggak punya anak sampai sekarang.”
Ibu menatap wajah Riana yang sudah basah. Tangannya bergerak menghapus air mata itu. “Ri, enggak ada seorang suami pun yang enggak pengen punya keturunan. Ibu takut kalau … ah, jangan sampai Ibu mengucap, karena ucapan Ibu adalah doa.”
“Tapi aku baru nikah dua tahun, Bu. Dan dokter menyatakan kalau kami berdua sama-sama subur. Pasti Riana bisa hamil sebentar lagi.”
Ibu menghela napas. “Kalau kamu mau disayang mertua selamanya, inilah kesempatanmu. Seandainya besok-besok terjadi apa-apa antara kamu dan Jagat, Ibu yakin kedua mertua kamu masih mau membela kamu.”
“Maksudnya terjadi apa-apa itu apa?” Riana mengernyit.
“Dalam menjalani hidup berumah tangga, pasti akan ada masalah. Apalagi latar belakang kamu sama Jagat kan berbeda. Tapi dengan adanya bayi itu di rumahmu, Ibu yakin, yakin banget mertua kamu akan sangat sayang dan melindungi kamu.”
Riana menggelengkan kepalanya tak percaya. “Kok jadi aku yang harus menanggung akibat perbuatan Papa?” desis perempuan itu.
“Bukan menanggung, tapi kamu adalah pahlawan bagi keluarga kita. Bayangkan kalau kamu enggak mau, sedang kakak iparmu yang di Jakarta juga enggak mau. Kamu udah tau kan apa yang akan terjadi? Jadi apa salahnya kalau kamu menolong, yang kamu tolong itu bukan orang lain loh. Dia itu mertuamu, orang tua Jagat, yang sudah menghantarkan suami kamu menjadi manager sekarang ini.”
“Dek.” Jagat sudah berada di ambang pintu dapur. “Ada Mama dan Papa.”
“Oh, udah datang?” Ibu yang menyahut dengan antusias tinggi. “Ri, tolong teruskan ini semua ya, Ibu mau ketemu besan Ibu dulu.”
Wanita yang sudah melahirkan Riana itu melesat pergi.
“Mas, Ibu sudah tahu tentang Papa,” desis Riana. Tangisnya pecah tertahan.
Jagat mendekat, memeluk tubuh kecil Riana. “Memang hanya kita yang bisa menolong Papa, Dek. Tidak ada cara lain lagi.”
“Jadi Mas mau bayi itu?” Riana mendongak. Bibirnya bergetaran.
Jagat menghela napas panjang. “Aku enggak tau, tapi kalau memang harus berkorban untuk Papa, a-aku siap.”
“Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.
“Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be
“Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu
“Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka
“Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan
Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp