Share

Papa Mendesak

Author: Iyustine
last update Last Updated: 2024-03-06 20:46:23

Dengan pelan Riana meluruskan tangan untuk menjauhkan telepon genggamnya dari telinganya sendiri.

“Ngapain Kak Vivi nelpon kamu, Dek?” 

Riana meringis linglung. Ujaran dari kakak iparnya barusan, ada benarnya juga walaupun disampaikan dengan cara yang menyakitkan hati. Namun dia tahu jika Jagat mendengar yang sebenarnya, pasti akan tersinggung. Perempuan itu memutar otak untuk memilah kata yang lebih enak di telinga suaminya.

“Dek, apa Kak Vivi ngomong yang enggak-enggak ke kamu?” 

Riana menggeleng, kemudian meringis lagi. “Kak Vivi bilang ... kalau kita mengadopsi bayi itu, dikuatirkan tahun depan Papa … Papa punya bayi lain lagi.”

Spontan Jagat menghela napas. Dia mengucap istigfar dengan nada panjang.

“Kalau Kak Vivi berkeras enggak mau, berarti kan kita yang harus mau ya, Mas?” ujar Riana. Matanya sudah berkabut. Teringat tadi Vivi telah mengatai dirinya sebagai perempuan lembek.

“Kalau kamu enggak mau, ya jangan dipaksa, Dek. Sini ….” Jagat merentangkan lengannya.

Riana gegas menghambur dalam pelukan Jagat. Air matanya mulai menetes. “Tapi kalau beneran viral gimana? Aku enggak bisa bayangin … Karir Mas, pasti berdampak kan? Ibu Bapak di kampung, adikku ….”

“Udahlah, enggak usah dipikirkan terlalu dalam. Kita pasti bisa menghadapi sama-sama, Dek. Dan semoga Papa bisa membujuk Karisma.”

Riana mengangguk samar. Meski mulutnya terkunci, tetapi kepalanya terasa begitu berisik. Kilasan-kilasan sosok Ibu, Bapak dan keluarga besarnya muncul bergantian. Oh, bagaimana kalau teman-teman dan rekan kerjanya tahu tentang kelakuan Papa mertua? Riana menekan wajahnya ke dada Jagat dengan gelisah.

“Ke tempat bakso langganan yuk!” Jagat berkata seraya mengecup puncak kepala Riana.

“Ini Sabtu, Mas. Kalau weekend gini suka penuh. Males ah, enggak bisa betul-betul menikmati baso saking banyaknya orang.”

“Seblak aja gimana?”

Riana mengangkat kepala segera dengan ekspresi kaget, lalu menatap wajah Jagat. “Sejak kapan Mas doyan seblak?”

Jagat tertawa. Selama ini dia memang tidak pernah mau kalau diajak makan seblak. Menurutnya seblak adalah salah satu makanan aneh. Namun demi menghibur istrinya, Jagat akan mencoba sekali lagi makan jajanan aneh nan pedas itu.

Telepon Jagat berbunyi.

“Mama, Dek,” desis Jagat sembari menggeser tombol hijau. Tidak lupa memencet satu simbol agar Riana juga bisa ikut mendengar.

“Gat, gimana Riana?” Suara Mama bercampur tangis. “Ini Papa baru pulang, Karisma tetap menuntut kamu atau Tyo yang mengadopsi bayinya. Dia tidak bisa dibujuk.”

“Maafkan Papa, ya Gat. Karisma menginginkan ini dengan sengaja agar membuat keluarga kita tersiksa.” Kini hadir suara Papa. Mungkin Mama juga mengaktifkan mode loudspeaker seperti Jagat.

“Papa betul-betul menyesal. Sekarang seperti makan buah simalakama. Kalau kita tidak menuruti keinginan Karisma, resikonya besar dan masalah bisa melebar kemana-mana. Tapi jika kamu mengadopsi bayi itu, pasti tidak akan mudah buat kamu dan Riana. Rumah tangga kalian pun dipertaruhkan, tentu ini sebuah siksaan batin buat kami.”

Terdengar isak Papa beriringan dengan tangisan Mama. Jagat menatap Riana lama, matanya menjadi merah. Bibirnya bergetar menahan tangis.

“Apakah kamu mau membujuk Riana untuk menerima bayi itu, Gat?” tanya Papa. Suaranya serak.

“Riana ada di sini, Pa,” sahut Jagat lirih seraya membelai pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Tanpa sadar air mata Jagat luruh satu per satu, meski bibirnya menerbitkan senyum.

“Riana,” desis Mama. “Mama mohon, apa pun syarat yang kamu ajukan, akan Mama usahakan. Minimal untuk meredam kemarahan Karisma terlebih dulu. Semoga setelah bayinya lahir, hati Karisma lebih dingin, kemudian kita bisa bicarakan sama-sama.”

“Mau ya, Ri?” Kini Papa ikut membujuk. “Papa akan sangat berterima kasih, sampai kapan pun Papa akan ingat jasamu ini.”

Riana menatap Jagat. Wajah lelakinya itu telah penuh air mata.

“Ta-tapi gimana cara aku bi-bicara sama Ibu? Ma-maksud aku enggak mungkin kita menyembunyikan bayi itu dari Ibu dan Bapak kan?”

“Oh, Riana. Yang penting kamu bersedia dulu, nanti Mama yang akan bicara sama ibumu ya.”

Riana terdiam. Lagi, dia menatap suaminya.

“Terserah kamu, Dek. Jangan terpaksa, jangan pikirkan aku … huhu.” Jagat malah menangis tergugu.

“Riana, tolonglah Papa. Cuma kamu yang bisa menolong keluarga kita.”

“A-aku perlu bicara sama Ibu dulu ya,” desis Riana dengan gamang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kelakuan Papa Mertua   Tawa Bahagia

    “Ya Tuhan, kamu serius ini, Ri?”Mata Maya berkaca-kaca. Gegas dia memeluk Riana.“Makasih, Mas Jagat,” ucap Maya disela isakan harunya.“Itu uang Riana, May. Bukan uangku,” ucap Jagat sembari meringis.“Makasih ya, Ri.” Maya mengurai pelukan, dan mengelap air matanya sendiri.“Tapi aku enggak bisa mengabulkan seperti doamu, yang lima puluh juta itu,” seloroh Riana.Maya tertawa sumbang. “Apaan sih.”“Jangan dipandang apa-apa ya, May. Pokoknya karena aku lagi punya dan ingin kasih. Anggap saja buat Tian,” kata Riana.Maya mengangguk. “Kuharap bukan yang terakhir.”Riana reflek menoyor kepala Maya.Kedua perempuan itu memang sudah sama-sama mengajukan pengunduran diri, hanya saja berbeda tanggal pelaksanaannya. Maya akan meninggalkan kantor itu dua bulan ke depan, sedang Riana masih bekerja sampai enam bulan lagi.

  • Kelakuan Papa Mertua   Masa Depan

    “Ini snack-nya yang memang bener-bener enak atau ada faktor lain ya?”Reinald melempar pandang pada Vivi yang asyik memandangi si kembar bermain di kolam bola-bola plastik. Sesekali perempuan cantik itu ikut menjerit kala salah satu dari si kembar terjungkal atau sengaja melompat tinggi di area bermain.“Hmm dicuekin,” desis Reinald dengan volume suara yang dia naikkan.Vivi menoleh. “Apa? Ngambekan banget.”Reinald tertawa. “Yah, niatan mau mengeluarkan gombalan, belum apa-apa dijutekin, layu sebelum berbunga dong.”Vivi tertawa. “Ulangin kalau gitu, nanti aku jawabnya apa?”Lelaki tampan itu mencebik jelek sebagai tanda dia tidak ingin melakukan permintaan Vivi. Namun sedetik kemudian dia meringis lucu.“Gimana kemarin di kampungnya Riana? Udah dapat gambaran untuk bisnis pertanian yang kemarin kamu bicarakan?” tanya Reinald setelah mereka reda dari tawa yang be

  • Kelakuan Papa Mertua   Kita Adalah Keluarga

    “Gimana tidurnya semalam, Kak?” tanya Riana ketika melihat Vivi mendekatinya di dapur.Mata Riana menatap takjub. Entah kenapa, mantan istri Tyo ini baru bangun tidur tetapi muka polosnya terlihat lebih cantik. Setelah mengenal Vivi hampir sekitar tiga tahunan, baru sekali ini Riana melihat wajah Vivi yang tanpa riasan. Jadi terlihat jauh lebih muda dari umur sebenarnya.“Aku minta air putih hangat, Ri,” ujar Vivi. Lalu duduk di salah satu kursi terdekat.Riana mengambil gelas dan melakukan perintah perempuan itu.“Kudengar Kakak telponan lama sekali sama ayang dokter ya?” ledek Riana sembari mengulur gelas.“Heh, kamu nguping?”Riana tergelak. “Enggak kedenger jelas kok. Tapi yang perlu Kakak ingat, rumahku ini dibangun dengan uang subsidi pemerintah. Temboknya setipis imanku.”Baru saja Riana selesai bicara, terdengar kentut Jagat dari kamar tidurnya.“Nah itu

  • Kelakuan Papa Mertua   Jadi Diri Sendiri

    “Mungkin kalau aku enggak ikut, kalian akan menginap di rumah Ibu ya?” Vivi buka suara.Mobil Jagat baru saja melewati perbatasan desa Riana dengan desa sebelah.“Jangan dipikirin, Kak. Kampung ibuku hanya satu setengah jam dari rumah, bisa kapan pun kami menginap di sana, tapi kesempatan melihat Kak Vivi dan si kembar mengunjungi rumah ibuku entah kapan lagi,” jawab Riana, sambil menoleh ke belakang, seketika senyumnya melebar.“Aduh, aku suka sekali pemandangan ini, kayaknya perlu diabadikan,” Riana berkata lagi.Perempuan itu gegas mengambil telepon genggamnya, lalu memotret Vivi dan si kembar tanpa permisi. Vivi diam saja, tidak protes. Dia hanya memalingkan wajah sembari tersipu saat Riana membidikkan kamera telepon genggam ke arah dirinya.“Cantik sekali, Kak. Aku kirim ke Kakak ya!” jerit Riana riang.Vivi hanya tersenyum senang sebagai ganti jawaban dari mulutnya.“Bagus ka

  • Kelakuan Papa Mertua   Otak Bisnis

    “Semoga anak-anak saya tidak merepotkan Anda ya, Pak Jagat,” ucap Reinald. Dia datang ke rumah Jagat untuk mengantarkan Vivi dan si kembar. Jam baru menunjuk setengah enam pagi.“Panggil nama saja, Dokter. Kita kan akan menjadi kakak adik,” jawab Jagat sambil melirik Vivi.Perempuan yang dilirik Jagat pun memalingkan wajah dan berpura-pura tidak mendengar. Lucu sekali wajah Vivi. Biasanya tegang dan judes, kini menjadi sering tersipu-sipu.Reinald tertawa. Sedang kedua anaknya senyum kebingungan. Menoleh pada papanya, Jagat dan Vivi.“Siap. Kalau gitu, jangan pula panggil aku dengan embel-embel dokter dong,” sahut Reinald cepat.“Rein, kenalkan ini Bapak dan Ibunya Riana,” tutur Vivi. “Lio dan Elle, salim juga sama ….”Vivi mengernyit. Bingung bagaimana harus menyebutkan orang tua Riana kepada anak-anak Reinald.“Opa? Oma?” celetuk Reinald.Arman dan

  • Kelakuan Papa Mertua   Ada Yang Ketahuan

    Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama, Riana segera mendapat panggilan dari Vivi.“Kamu dapat gambar itu dari mana, Ri?”“Cie Kak Vivi ….”“Apaan sih, Ri. Enggak jelas banget kamu. Cepat jawab pertanyaanku!”Riana dapat menangkap warna suara Vivi yang sedikit malu. Meskipun nadanya tinggi, Riana tahu, Vivi hanya pura-pura jutek. Aslinya perempuan cantik itu sedang tersanjung.“Tapi fotonya jelas kan, Kak?”Vivi terdiam.“Selamat ya, Kak. Semoga kalian berjodoh, udah serasi banget. Enggak nyangka, dapat jodohnya masih dari kota yang sama dengan mantan suami,” celetuk Riana nakal.“Ri, jawab ya, kamu dapat dari mana itu gambarnya?” Kini suara Vivi sudah melengking. Kembali kepada Vivi yang jutek.Riana tertawa. “Mau tau aja atau mau tau banget nih, Kak?”“Riana! Jangan bikin aku habis kesabaran ya!”Peremp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status