Share

Kembali Terluka

Plak!!

Sebuah tangan mendarat keras di pipi kanan Aira. Dia merasakan panas mulai menjalar di area pipi yang terkena tamparan. Aira meringis, tangannya sedikit gemetar memegang pipinya yang memerah.

"Dewi! Apa yang telah kau lakukan?" Arman bergegas mendekati sang putri dan melihat pipinya yang memerah.

"Iya Ibu, kenapa Ibu menampar Aira?" Aina pun ikut mendekat pada Aira.

Aira hanya diam membisu mendapat tamparan dari Dewi. Padahal para tamu baru saja pergi, tetapi Dewi sudah melayangkan tangannya pada Aira. Jujur Aira tidak menyangka jika sang Ibu akan menamparnya begitu para tamu pergi. Aira pikir Dewi akan berubah setelah dia dewasa, tapi nyatanya Dewi tetap saja suka melayangkan tangannya pada Aira.

Hati Aira kembali terluka, bahkan rasa bekas tamparan Dewi tidak ada apa-apanya dibanding dengan rasa sakit yang sekarang hatinya rasakan.

"Aku hanya memberi pelajaran pada anak tidak tahu sopan santun itu. Kamu jangan ikut campur, Mas! Dia pantas mendapatkannya karena telah mempermalukan kita di depan keluarga Pradikta. Mau ditaruh di mana muka kita jika mereka sampai tersinggung dengan tingkah anak tidak tahu diri itu?" seru Dewi dengan suara meninggi.

"Sudahlah, Wi. Jangan terlalu keras pada Aira, dia hanya ijin ke kamar mandi. Dia tidak mempermalukan kita," ucap Arman membela Aira.

"Terus saja kamu bela dia, Mas! Kamu memang terlalu memanjakan dia sehingga dia berani bersikap seperti itu." Dewi mulai menyalahkan sang suami kembali.

"Tapi Wi ...."

"Sudah cukup, Mas! Aku tidak mau mendengar lagi kamu membelanya. Akan aku pastikan dia akan bersikap lebih baik lagi. Pokoknya Aira harus menerima perjodohan ini, mau tidak mau dia harus menerimanya. Jika tidak, lebih baik dia keluar dari rumah ini!" tegas Dewi membuat Aira menyipitkan mata melihat sang Ibu yang sudah berkacak pinggang.

Sementara Arman langsung terdiam. Aira yakin sekali jika sang Ayah tidak akan membelanya lagi. Bukankah selalu saja seperti itu? Aira memang tidak mengharapkan apapun dari rumah ini. Dia sudah lelah, Aira merasa ingin menghilang saja dari dunia ini.

"Kenapa aku, Bu?" tanya Aira lirih.

Seketika Dewi, Arman dan juga Aina menoleh menatap Aira. Mungkin mereka heran, biasanya Aira hanya akan diam saja jika Dewi sudah marah padanya, tapi kini dia berani bertanya.

"Kenapa aku yang harus dijodohkan? Kenapa bukan Mbak Aina saja?" tanya Aira kembali dengan suara yang bergetar.

"Apa? Kamu berani mempertanyakannya! Bukankah sudah jelas tanpa aku mengatakannya, masa depan Aina sangat cerah, tidak mungkin dia menikah di saat seperti ini ...."

"Lalu bagaimana dengan masa depanku, Bu? Apa masa depanku juga tidak penting? Apa hanya masa depan Mbak Aina saja yang penting?" Aira sudah tidak sanggup lagi menahan kesabarannya, sudah cukup selama ini dia selalu diam mendapat perlakuan tidak adil.

Plak!!

Wajah Aira terpelanting ke samping, kembali sebuah tamparan melayang di pipinya, darah segar keluar dari sudut bibir tipisnya. Dia merasakan asin akibat keluarnya darah tersebut.

"Kurang ajar! Berani sekali kamu memotong ucapanku. Perlu kamu ketahui, masa depan Aina sebagai dokter lebih baik jika dibandingkan dengan masa depanmu yang hanya bekerja di perusahaan kecil itu. Pekerjaan Aina lebih baik dibandingkan dengan pekerjaanmu. Maka turuti saja perkataanku, terima saja perjodohan ini, itu akan lebih baik daripada kamu membuang-buang waktu menjadi karyawan biasa." Dewi menatap Aira dengan mata memerah penuh amarah.

"Bu, tolong jangan bicara seperti itu. Semua pekerjaan sama saja, Bu. Jangan berbicara seperti itu pada Aira, kasihan dia," ucap Aina memohon pada  Dewi.

"Iya, Wi. Jangan kamu keterlaluan seperti itu, jangan menyakiti Aira lagi. Kita bisa bicarakan semuanya baik-baik. Tolong jangan lagi memakai kekerasan seperti ini, Wi." Arman mencoba menenangkan sang istri, dia meraih tangan Dewi yang baru saja menampar Aira.

Dewi bergeming, tapi tatapannya masih saja memancarkan kemarahannya pada Aira. Tidak ada sesal setelah menampar Aira, hal yang terlalu biasa dia lakukan kepada sang putri.

"Jangan kalian coba-coba membelanya! Apa yang aku katakan memang faktanya, dia tidak bisa seperti Aina yang mempunyai masa depan yang cerah." Kembali Dewi membandingkan Aira dengan Aina. Miris sekali bukan?

"Hahaha ...." Aira tergelak dengan keras, "jadi hanya masa depan Mbak Aina, putri kesayangan Ibu saja yang penting? Sungguh aku tidak bisa menahan tawaku sekarang, Bu. Padahal aku juga putrimu, tapi aku selalu diperlakukan berbeda." Aira tertawa miris.

Aira kehilangan kewarasannyasekarang, rasa kecewa dan juga sakit yang dia rasakan kini membuatnya gila. Semua yang dia pendam kini telah membuatnya hilang akal.

Semua terdiam menatap Aira yang tertawa, nampak mereka tercengang melihat Aira yang tidak diam seperti biasanya dan bertingkah aneh.

Aira terdiam sejenak, "Baiklah jika kemauan Ibu seperti itu, aku akan menerima perjodohan seperti yang Ibu inginkan. Hidupku sudah hancur sejak dulu, jadi lebih baik hancur saja sekalian, bukan?" Suara Aira bergetar, air matanya sudah lolos satu-persatu. Dia sudah tidak bisa menahan kesedihannya.

Aira menatap Dewi dalam, mencoba mencari sedikit saja rasa kasih sayang untuknya. Dengan air mata yang semakin deras, pandangannya pun sedikit memburam, nampak tidak ada rasa kasih sayang yang terpancar di mata Dewi. Aira semakin yakin bahwa Dewi memanglah sangat membencinya, tapi yang tidak dia mengerti, apa alasan Dewi membencinya. Aira tidak pernah tahu itu, bahkan sampai sekarang pun dia tidak tahu apa alasannya.

"Ai ...," panggil Aina sembari melangkah ke arahnya.

Aina mencoba mendekat pada Aira, tapi Aira langsung menahannya dengan tangan "Jangan mendekat padaku!" seruku tajam padanya.

Aina mundur kembali, air matanya juga bercucuran, dia menahan isak tangisnya dengan kedua tangannya menutupi mulut. Dia menangis, menatap sang adik dengan tatapan yang paling Aira benci. Tatapan iba, tatapan kasihan. Aira tidak suka itu.

"Aku akan menerima perjodohan ini, tapi ini juga terakhir kali Ibu memaksaku untuk melakukan keinginan Ibu. Aku tidak akan lagi menuruti apa yang Ibu inginkan, sudah cukup, sudah cukup aku menderita selama ini!" ucap Aira dengan suara pilu.

Setelah mengatakan semuanya, dia segera melangkah pergi meninggalkan mereka semua yang terdiam membisu. Dada Aira terasa nyeri sejak tadi, bahkan sakitnya semakin lama semakin terasa. Dia tidak tahu, apa dia akan sanggup terus berada di antara mereka jika rasa nyerinya bertambah seperti ini.

Aira segera masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam, setelahnya tubuhnya merosot ke lantai, seketika tangisnya pun ikut pecah. Aira memukul-mukul dadanya yang semakin terasa nyeri.

Aira menumpahkan segala kekecewaan yang telah dia rasakan, harapan-harapannya selama ini telah hancur kembali. Bahkan sekarang dia telah kehilangan harapannya. Aira harus mengubur dalam-dalam harapan untuk mendapatkan kasih sayang dari Dewi walau hanya sedikit saja.

Aira sudah lelah, lelah dengan kekecewaan dan rasa sakit yang dia derita. Selalu saja dia kembali terluka oleh harapannya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status