Share

Berhenti Berharap

Suasana ruang makan terlihat begitu hangat, Aira menyunggingkan bibir, tersenyum miris. Netranya mengembun melihat pemandangan yang membuat hatinya ngilu. Dewi, Arman serta Aina sedang sarapan bersama dengan bersanda gurau. Nampak mereka sangat bahagia sekali.

Aira sedang berdiri di anak tangga paling atas menatap keakraban mereka bertiga dengan tatapan sendu, dia sangat iri dengan suasana hangat di sana. "Apakah aku tidak punya sedikit tempat di antara mereka?" batin Aira bertanya-tanya.

Aira ingin sekali bergabung dengan mereka, tertawa bersama mereka. Tapi itu semua mustahil dan tidak akan pernah terwujud. Dia hanya bisa terluka jika  mencoba mendekat, tidak ada tempat untuknya di sana.

Aira juga bagian dari keluarga itu, tapi kenapa seolah dia ini hanyalah orang asing saja. Sejak dulu pun dia tidak pernah bergabung untuk makan bersama mereka. Aira selalu makan seorang diri setelah mereka menyelesaikan makannya.

Aira sudah terbiasa tersisih, tetapi hatinya masih saja sakit jika melihat kebersamaan mereka seperti itu. Di sudut hatinya yang terdalam masih saja Aira berharap bisa menjadi bagian dari mereka. Tapi dia sadar, dia tidak akan pernah menjadi bagian dari mereka.

Tidak mungkin Aira bisa menjadi bagian dari mereka. Aira masih teringat jelas saat dulu dia kecil, Dewi sering memperlakukan dia berbeda dengan Aina. Dewi sangat menyayangi Aina lebih dari apapun, berbeda sekali dengan Aira.

Dewi akan selalu membelikan gaun yang indah untuk  Aina, sedangkan Aira akan selalu memakai baju bekas milik Aina yang sudah tak terpakai, bahkan makanan pun dia diberikan makanan sisa Aina. Miris bukan?

Air mata Aira menetes mengingat semua perlakuan sang Ibu padanya yang berbeda dengan perlakuannya pada Aina.

"Ai ... sini. Kenapa kamu diam saja di situ?" Suara Aina mengejutkan Aira. Menyadarkan Aira dari lamunannya. Dia buru-buru menghapus air matanya yang terlanjur menetes.

Aira pun melanjutkan langkah menuruni tangga, tangannya membawa tas ransel yang berisi baju-bajunya. Dia memutuskan akan kembali bekerja mulai besok. Dengan langkah malas, Aira menghampiri mereka.

"Kamu mau kemana Ai membawa tas begitu?"

"Aku harus kembali," jawab Aira singkat.

Dewi menatap Aira tajam mendengar jawaban sang putri. Tatapannya seolah menusuk hati Aira. Dewi pasti khawatir Aira kabur dari perjodohan yang telah diaturnya.

"Ibu tidak perlu khawatir, Ibu atur saja perjodohanku. Aku akan pulang kembali tepat di hari pernikahanku nanti. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu dan aku juga perlu mengurus cuti untuk pernikahanku, bukan?" ucap Aira seolah mengerti apa yang dikhawatirkan sang Ibu.

Sejujurnya Aira tidak ingin terlalu berlama-lama ada di rumah ini. Berada di sini membuatnya sesak, dia tidak bisa bernafas dengan benar. Rasa sesaknya  semakin lama semakin menekan dada Aira sehingga dia kesulitan bernafas. Aira tidak sanggup jika terus berada di sini terlalu lama.

"Tepati ucapanmu atau kamu akan menyesal telah berani melawanku!"

Aira tersenyum mendengar ancaman sang Ibu, "Tidak perlu Ibu mengatakannya, aku pasti akan menepati ucapanku. Bukankah aku tidak berhak atas hidupku sendiri, jadi Ibu jangan khawatir aku tidak menuruti ucapan Ibu."

Semua menjadi terdiam mendengar ucapan Aira. Hanya Arman dan juga Aina yang nampak sedih. Apa yang mereka sedihkan, bukankah yang Aira katakan benar adanya? Aira memang tidak berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, bukan?

Tiba-tiba Aina berdiri dari duduknya, dia melangkahkan kakinya ke arah sang adik,

"Kamu harus sarapan dulu, Ai. Baru setelah itu kamu bisa pergi." Tangan Aina terulur hendak meraih tangan Aira.

"Tidak perlu, aku tidak terbiasa sarapan," ucap Aira dengan raut wajah datar sembari menyentak tangan Aina.

Sementara Aina nampak terkejut mendapat penolakan dari sang adik, netranya langsung berkaca-kaca. Raut sedih tergambar jelas di wajahnya. Tapi Aira tidak ingin peduli, dia tidak ingin peduli sama sekali dengan kesedihan sang kakak. Lalu Aira memantapkan hati untuk segera pergi dari rumah yang hanya menyimpan kenangan buruk untuknya.

"Kalau begitu aku pamit." Aira berjalan meraih tangan sang Ibu untuk berpamitan dengannya. Dewi segera memalingkan wajahnya ketika Aira membungkuk dan mengecup punggung tangannya. Tapi Aira tidak terkejut dengan respon Dewi yang seperti itu, bahkan itu sudah terlanjur biasa buatnya.

Aira bangkit, menatap Dewi dengan datar, dia merasa kalau sekarang rasa takut yang dialaminya selama ini menguap menjadi rasa benci. Bukan benci pada sang Ibu, tetapi benci terhadap dirinya sendiri yang masih saja berharap mendapatkan sedikit saja kasih sayang dari Dewi.

Memanglah seharusnya dari dulu Aira berhenti mengharapkan hal yang tidak mungkin. Seharusnya dia sadar lebih awal lagi. Percuma memupuk harapan semu, hanya luka saja yang akan didapatkan.

Aira beralih meraih tangan Arman, yang hanya diam saat sang putri mengecup punggung tangannya. Satu tangannya yang bebas mengusap puncak kepala putri malangnya itu.

Perlahan Arman bangkit dari kursinya, netranya berkaca-kaca merasakan kesedihan. Kedua tangan Arman membingkai wajah sang putri.

Hangat. Aira memejamkan mata merasakan kehangatan telapak tangan sang Ayah yang menyentuh pipinya. Aira sungguh rindu sekali rasa hangat tangan Arman. Seketika dia merasa ingin menangis, menumpahkan segala kesedihannya pada sang Ayah.

Pertahanan Aira hampir saja runtuh, air matanya sudah akan tumpah. Dia menggigit bibirnya mencoba mempertahankan topeng yang telah dia pakai.

"Maafkan Ayah, Ai," bisik Arman sembari meraih sang putri ke dalam pelukannya.

Aira bergeming, pelukan Arman pun tidak dia balas. Aira hanya berdiri bak patung tanpa sepatah kata pun. Dia terlalu takut jika satu kata saja keluar dari mulutnya, maka pertahanannya akan runtuh. Aira tidak mau memperlihatkan betapa lemahnya dia pada mereka.

Dengan perlahan Aira melepas pelukan sang Ayah, dia merasa tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Dia pun bergegas melangkahkan kaki pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arah mereka.

Aira semakin mempercepat langkahnya di saat air mata sudah tidak bisa lagi dia tahan. Ternyata hatinya masih belum bisa sekuat yang dia inginkan. Ternyata Aira masih saja lemah.

Setelah sampai di dekat mobil, Aira bergegas masuk. Segera dia menyalakan mesin mobil dan bergegas pergi.

Aira memacu mobil dengan kecepatan tinggi agar dia segera menjauh dari rumah yang tidak pernah menganggapnya ada. Untuk sejenak dia ingin bebas, dia ingin berhenti berharap untuk mendapatkan tempat di rumah itu. Aira juga ingin berhenti mengharapkan kasih sayang sang Ibu.

Aira sudah merasa lelah sekali untuk terus berharap, jiwa dan raganya sudah teramat letih. Aira sudah tidak sanggup lagi mendapatkan luka terus menerus. Andai saja Dewi mau menerima dan menganggapnya ada, tentu Aira tidak akan pernah seterluka ini.

Aira pasti akan sangat bahagia sekali, tapi semua tidak akan pernah terjadi. Semua hanya bisa menjadi hayalan saja untuknya, hayalan yang tidak akan pernah bisa terwujud sampai kapan pun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status