Share

Berhenti Berharap

Author: Uci ekaputra
last update Last Updated: 2022-10-05 18:48:09

Suasana ruang makan terlihat begitu hangat, Aira menyunggingkan bibir, tersenyum miris. Netranya mengembun melihat pemandangan yang membuat hatinya ngilu. Dewi, Arman serta Aina sedang sarapan bersama dengan bersanda gurau. Nampak mereka sangat bahagia sekali.

Aira sedang berdiri di anak tangga paling atas menatap keakraban mereka bertiga dengan tatapan sendu, dia sangat iri dengan suasana hangat di sana. "Apakah aku tidak punya sedikit tempat di antara mereka?" batin Aira bertanya-tanya.

Aira ingin sekali bergabung dengan mereka, tertawa bersama mereka. Tapi itu semua mustahil dan tidak akan pernah terwujud. Dia hanya bisa terluka jika  mencoba mendekat, tidak ada tempat untuknya di sana.

Aira juga bagian dari keluarga itu, tapi kenapa seolah dia ini hanyalah orang asing saja. Sejak dulu pun dia tidak pernah bergabung untuk makan bersama mereka. Aira selalu makan seorang diri setelah mereka menyelesaikan makannya.

Aira sudah terbiasa tersisih, tetapi hatinya masih saja sakit jika melihat kebersamaan mereka seperti itu. Di sudut hatinya yang terdalam masih saja Aira berharap bisa menjadi bagian dari mereka. Tapi dia sadar, dia tidak akan pernah menjadi bagian dari mereka.

Tidak mungkin Aira bisa menjadi bagian dari mereka. Aira masih teringat jelas saat dulu dia kecil, Dewi sering memperlakukan dia berbeda dengan Aina. Dewi sangat menyayangi Aina lebih dari apapun, berbeda sekali dengan Aira.

Dewi akan selalu membelikan gaun yang indah untuk  Aina, sedangkan Aira akan selalu memakai baju bekas milik Aina yang sudah tak terpakai, bahkan makanan pun dia diberikan makanan sisa Aina. Miris bukan?

Air mata Aira menetes mengingat semua perlakuan sang Ibu padanya yang berbeda dengan perlakuannya pada Aina.

"Ai ... sini. Kenapa kamu diam saja di situ?" Suara Aina mengejutkan Aira. Menyadarkan Aira dari lamunannya. Dia buru-buru menghapus air matanya yang terlanjur menetes.

Aira pun melanjutkan langkah menuruni tangga, tangannya membawa tas ransel yang berisi baju-bajunya. Dia memutuskan akan kembali bekerja mulai besok. Dengan langkah malas, Aira menghampiri mereka.

"Kamu mau kemana Ai membawa tas begitu?"

"Aku harus kembali," jawab Aira singkat.

Dewi menatap Aira tajam mendengar jawaban sang putri. Tatapannya seolah menusuk hati Aira. Dewi pasti khawatir Aira kabur dari perjodohan yang telah diaturnya.

"Ibu tidak perlu khawatir, Ibu atur saja perjodohanku. Aku akan pulang kembali tepat di hari pernikahanku nanti. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu dan aku juga perlu mengurus cuti untuk pernikahanku, bukan?" ucap Aira seolah mengerti apa yang dikhawatirkan sang Ibu.

Sejujurnya Aira tidak ingin terlalu berlama-lama ada di rumah ini. Berada di sini membuatnya sesak, dia tidak bisa bernafas dengan benar. Rasa sesaknya  semakin lama semakin menekan dada Aira sehingga dia kesulitan bernafas. Aira tidak sanggup jika terus berada di sini terlalu lama.

"Tepati ucapanmu atau kamu akan menyesal telah berani melawanku!"

Aira tersenyum mendengar ancaman sang Ibu, "Tidak perlu Ibu mengatakannya, aku pasti akan menepati ucapanku. Bukankah aku tidak berhak atas hidupku sendiri, jadi Ibu jangan khawatir aku tidak menuruti ucapan Ibu."

Semua menjadi terdiam mendengar ucapan Aira. Hanya Arman dan juga Aina yang nampak sedih. Apa yang mereka sedihkan, bukankah yang Aira katakan benar adanya? Aira memang tidak berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, bukan?

Tiba-tiba Aina berdiri dari duduknya, dia melangkahkan kakinya ke arah sang adik,

"Kamu harus sarapan dulu, Ai. Baru setelah itu kamu bisa pergi." Tangan Aina terulur hendak meraih tangan Aira.

"Tidak perlu, aku tidak terbiasa sarapan," ucap Aira dengan raut wajah datar sembari menyentak tangan Aina.

Sementara Aina nampak terkejut mendapat penolakan dari sang adik, netranya langsung berkaca-kaca. Raut sedih tergambar jelas di wajahnya. Tapi Aira tidak ingin peduli, dia tidak ingin peduli sama sekali dengan kesedihan sang kakak. Lalu Aira memantapkan hati untuk segera pergi dari rumah yang hanya menyimpan kenangan buruk untuknya.

"Kalau begitu aku pamit." Aira berjalan meraih tangan sang Ibu untuk berpamitan dengannya. Dewi segera memalingkan wajahnya ketika Aira membungkuk dan mengecup punggung tangannya. Tapi Aira tidak terkejut dengan respon Dewi yang seperti itu, bahkan itu sudah terlanjur biasa buatnya.

Aira bangkit, menatap Dewi dengan datar, dia merasa kalau sekarang rasa takut yang dialaminya selama ini menguap menjadi rasa benci. Bukan benci pada sang Ibu, tetapi benci terhadap dirinya sendiri yang masih saja berharap mendapatkan sedikit saja kasih sayang dari Dewi.

Memanglah seharusnya dari dulu Aira berhenti mengharapkan hal yang tidak mungkin. Seharusnya dia sadar lebih awal lagi. Percuma memupuk harapan semu, hanya luka saja yang akan didapatkan.

Aira beralih meraih tangan Arman, yang hanya diam saat sang putri mengecup punggung tangannya. Satu tangannya yang bebas mengusap puncak kepala putri malangnya itu.

Perlahan Arman bangkit dari kursinya, netranya berkaca-kaca merasakan kesedihan. Kedua tangan Arman membingkai wajah sang putri.

Hangat. Aira memejamkan mata merasakan kehangatan telapak tangan sang Ayah yang menyentuh pipinya. Aira sungguh rindu sekali rasa hangat tangan Arman. Seketika dia merasa ingin menangis, menumpahkan segala kesedihannya pada sang Ayah.

Pertahanan Aira hampir saja runtuh, air matanya sudah akan tumpah. Dia menggigit bibirnya mencoba mempertahankan topeng yang telah dia pakai.

"Maafkan Ayah, Ai," bisik Arman sembari meraih sang putri ke dalam pelukannya.

Aira bergeming, pelukan Arman pun tidak dia balas. Aira hanya berdiri bak patung tanpa sepatah kata pun. Dia terlalu takut jika satu kata saja keluar dari mulutnya, maka pertahanannya akan runtuh. Aira tidak mau memperlihatkan betapa lemahnya dia pada mereka.

Dengan perlahan Aira melepas pelukan sang Ayah, dia merasa tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Dia pun bergegas melangkahkan kaki pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arah mereka.

Aira semakin mempercepat langkahnya di saat air mata sudah tidak bisa lagi dia tahan. Ternyata hatinya masih belum bisa sekuat yang dia inginkan. Ternyata Aira masih saja lemah.

Setelah sampai di dekat mobil, Aira bergegas masuk. Segera dia menyalakan mesin mobil dan bergegas pergi.

Aira memacu mobil dengan kecepatan tinggi agar dia segera menjauh dari rumah yang tidak pernah menganggapnya ada. Untuk sejenak dia ingin bebas, dia ingin berhenti berharap untuk mendapatkan tempat di rumah itu. Aira juga ingin berhenti mengharapkan kasih sayang sang Ibu.

Aira sudah merasa lelah sekali untuk terus berharap, jiwa dan raganya sudah teramat letih. Aira sudah tidak sanggup lagi mendapatkan luka terus menerus. Andai saja Dewi mau menerima dan menganggapnya ada, tentu Aira tidak akan pernah seterluka ini.

Aira pasti akan sangat bahagia sekali, tapi semua tidak akan pernah terjadi. Semua hanya bisa menjadi hayalan saja untuknya, hayalan yang tidak akan pernah bisa terwujud sampai kapan pun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Firasat

    Arman hanya memandangi piring yang berisi nasi dan lauk pauknya. Dari tadi pikirannya sedang melayang, mengingat putri bungsunya yang telah berada di rumah suaminya.Arman pun belum menyentuh makanannya sama sekali. Sejak bangun tidur tadi, hatinya terasa tidak enak. Dia selalu teringat dengan Aira. Entah pikirannya selalu terngiang akan wajah sang putri. Arman ingin sekali mengetahui keadaan Aira saat ini, tapi dia bingung sekali harus bagaimana.Aina yang melihat ayahnya sedang melamun pun meletakkan sendok makannya di atas piring. "Ayah tidak makan?" tanya Aina pada sang ayah.Arman pun tersentak, lalu segera melihat ke arah piring di depannya dengan tak berselera. Piring tersebut masih terlihat penuh, tanpa berkurang sedikitpun. Nafsu makannya benar-benar telah hilang."Ada apa, Yah? Kenapa Ayah tidak makan?" tanya Aina lagi.Dewi yang mendengar pertanyaan Aina pun melirik sang suami, sejak pertengkarannya beberapa waktu lalu dengan sang suami membuat hubungan keduanya menjadi din

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Mala Petaka

    Revan mengerjapkan matanya, dia mendesis merasakan pusing begitu matanya terbuka sempurna. Kepalanya pun terasa sangat berat. Efek dari minuman haram yang ditenggaknya sungguh buruk.Revan bukanlah seorang pemabuk, baru semalam dia menyentuh minuman haram itu untuk melampiaskan rasa frustasinya. Dengan perlahan Revan mulai bangun dari posisinya, lalu dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menyadari bahwa dia tidak mengenakan apapun.Pandangan matanya beralih menatap sisi ranjangnya yang kosong, terdapat noda bercak merah. Mata Revan langsung membulat, lalu dia mencoba menggali ingatannya lebih dalam.Samar-samar gambaran tentang perbuatan buruknya pada Aira melintas di ingatannya. Revan tersentak begitu mengingat apa yang telah dilakukannya pada Aira."Apa yang telah kamu lakukan, Van! Bodoh sekali kamu," maki Revan pada dirinya sendiri sembari memukul-mukul kepalanya.Tidak pernah terbayangkan di benak Revan untuk mengambil kesucian Aira wa

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Terenggut

    Revan menggebrak pintu rumah dengan keras, dia melakukannya berkali-kali. "Buka ... buka pintunya!" seru Revan sembari terus menggebrak pintu rumahnya.Revan berdiri sembari bersandar ke pintu, dia tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.Sementara Aira tergopoh-gopoh menuju pintu. Dia terkejut ketika mendengar pintu rumahnya digedor dengan keras, padahal waktu sudah sangat malam. Aira segera membuka pintu begitu memastikan jika yang menggedor pintu adalah Revan, bukan orang yang berniat jahat padanya."Ya Allah, Mas ...!" seru Aira ketika pintu sudah terbuka. Revan terjatuh, tubuhnya membentur lantai yang dingin. Aira memandang Revan dengan tatapan kasihan, suaminya itu pulang dalam keadaan yang sangat berantakan dan mabuk berat.Buru-buru Aira membantu Revan berdiri, dia memapah Revan yang berdiri dengan sempoyongan karena mabuk. Tadi Revan menuju bar setelah pertengkarannya dengan Helen. Dia pun menenggak minuman haram demi melampiaskan rasa frustasinya karena sang kekasih tidak m

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Meyakinkan

    "Tunggu ...!" teriak Aira.Revan menghentikan langkahnya ketika akan menaiki tangga. Dia pun segera menoleh ke arah Aira yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Revan mengernyitkan keningnya saat melihat wanita yang bergelar istrinya itu berjalan mendekat ke arahnya."Ada yang ingin aku bicarakan padamu," ucap Aira ketika sudah sampai di dekat Revan."Ada apa?" tanya Revan dingin, tampak tidak tertarik untuk berbicara dengan Aira. Sebenarnya Revan sangatlah lelah setelah pulang dari tempat kerjanya. Ada sedikit masalah di kantornya. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi dia tidak bisa mengabaikan Aira begitu saja. Walaupun Aira hanyalah istri di atas kertas, secara tidak langsung Revan mempunyai tanggung jawab pada gadis itu.Aira pun menghela napas berat, andai saja tadi Helen tidak datang, tentu dia tidak akan menahan Revan seperti itu. Aira pasti akan enggan untuk berbicara dengan lelaki dingin macam Revan."Apakah kamu tidak memberitahu Helen tentang pernikahan

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Bertemu Fandi

    "Jaga dirimu baik-baik, Ai. Jika kamu tidak sanggup lagi menjalani pernikahanmu, jangan diteruskan lagi, hiduplah dengan baik. Aku siap mendengarkan apapun keluhanmu, jangan pernah merasa sendiri," pesan Hani, ketika Aira mengantarkannya kembali ke penginapan. Sebenarnya Hani merasa sangat berat meninggalkan Aira dalam keadaan yang buruk, tapi mau bagaimanapun Hani ingin, dia tidak bisa tetap berada di samping Aira, dia harus kembali pulang.Aira hanya mengangguk, dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Aira sudah teramat lelah menghadapi masalahnya yang tiada habisnya."Ah ... aku jadi tidak rela meninggalkanmu di sini, Ai." Hani memeluk Aira sembari meneteskan air mata kembali. Dia teramat sedih mendengar cerita dari sahabatnya itu. Hani kira selama ini kehidupan Aira tidaklah setragis itu, dia kira kehidupan Aira menyenangkan. Hani tidak pernah menyangka jika di balik sosok Aira yang cuek itu tersimpan kesedihan yang mendalam akibat perlakuan tidak baik dari keluarganya sendiri.A

  • Keluarga Yang Tak Menganggapku Ada   Menjelaskan

    "Perkenalkan nama saya Aira dan sebelum saya menjelaskan semuanya, saya harap Mbak Helen mau menahan diri hingga saya selesai menjelaskan. Bagaimana, Mbak? Apa Mbak Helen bersedia?" Tanpa menunggu lama, Aira pun memulai membuka suaranya setelah mereka bertiga duduk di ruang tamu.Helen pun mengangguk, dia tidak punya pilihan lain selain menyetujui apa yang Aira katakan. Dia ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah terlalu lama menahan semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikirannya tentang siapa Aira dan tentang apa hubungannya dengan Revan, kekasihnya.Aira pun menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan, dia mempersiapkan diri untuk menjelaskan semuanya pada Helen. Dia tidak mau kalau sampai salah berkata hingga membuat Helen marah padanya ataupun Revan. Aira bisa dalam masalah besar jika sampai Helen salah paham dan marah padanya."Sebelumnya saya minta maaf, Mbak. Jika apa yang saya jelaskan ini tidak berkenan di hati Mbak Helen dan tolong jangan salah p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status