Revan mengerjapkan matanya, dia mendesis merasakan pusing begitu matanya terbuka sempurna. Kepalanya pun terasa sangat berat. Efek dari minuman haram yang ditenggaknya sungguh buruk.Revan bukanlah seorang pemabuk, baru semalam dia menyentuh minuman haram itu untuk melampiaskan rasa frustasinya. Dengan perlahan Revan mulai bangun dari posisinya, lalu dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika menyadari bahwa dia tidak mengenakan apapun.Pandangan matanya beralih menatap sisi ranjangnya yang kosong, terdapat noda bercak merah. Mata Revan langsung membulat, lalu dia mencoba menggali ingatannya lebih dalam.Samar-samar gambaran tentang perbuatan buruknya pada Aira melintas di ingatannya. Revan tersentak begitu mengingat apa yang telah dilakukannya pada Aira."Apa yang telah kamu lakukan, Van! Bodoh sekali kamu," maki Revan pada dirinya sendiri sembari memukul-mukul kepalanya.Tidak pernah terbayangkan di benak Revan untuk mengambil kesucian Aira wa
Arman hanya memandangi piring yang berisi nasi dan lauk pauknya. Dari tadi pikirannya sedang melayang, mengingat putri bungsunya yang telah berada di rumah suaminya.Arman pun belum menyentuh makanannya sama sekali. Sejak bangun tidur tadi, hatinya terasa tidak enak. Dia selalu teringat dengan Aira. Entah pikirannya selalu terngiang akan wajah sang putri. Arman ingin sekali mengetahui keadaan Aira saat ini, tapi dia bingung sekali harus bagaimana.Aina yang melihat ayahnya sedang melamun pun meletakkan sendok makannya di atas piring. "Ayah tidak makan?" tanya Aina pada sang ayah.Arman pun tersentak, lalu segera melihat ke arah piring di depannya dengan tak berselera. Piring tersebut masih terlihat penuh, tanpa berkurang sedikitpun. Nafsu makannya benar-benar telah hilang."Ada apa, Yah? Kenapa Ayah tidak makan?" tanya Aina lagi.Dewi yang mendengar pertanyaan Aina pun melirik sang suami, sejak pertengkarannya beberapa waktu lalu dengan sang suami membuat hubungan keduanya menjadi din
"Ampun ... Bu ... jangan pukul Ai lagi, Bu! Ai tidak akan nakal lagi, Bu," rintih seorang anak kecil bernama Aira dalam tangisnya, dia mencoba memohon pada sang Ibu agar menghentikan pukulannya. "Makanya kamu jangan pernah mengganggu kakakmu lagi. Rasakan sekarang akibat perbuatanmu!" hardik Dewi--Ibu dari Aira sembari tetap memukul Aira dengan gagang sapu. Tangis Aira semakin meledak merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tidak hanya sekali Aira dipukul oleh Dewi, bahkan sering kali dia menjadi pelampiasan kekesalannya. Dewi menyeret Aira dengan kasar menuju ke gudang setelah puas meluapkan semua emosinya. "Sekarang kamu renungkan kesalahanmu di sini, sebelum kamu menyadari kesalahanmu, Ibu tidak akan mengeluarkanmu." Dewi menghempaskan tubuh kecil Aira ke lantai begitu sampai di gudang. Aira tersungkur di lantai, dia meringis merasakan sakit akibat tubuhnya membentur lantai. Perlahan dia merangkak ke arah Dewi. "Jangan, Bu. Ai takut di sini, Bu. Aira mohon jangan meninggalkan
Bab 2"Tenanglah, aku pasti akan menyelesaikannya, sesuai dengan jadwal yang ditentukan," ucap Aira pada Hani melalui sambungan ponsel."Janji ya, Ai. Jangan mundur lagi, aku sudah bosan disemprot Bos melulu," keluh Hani."Iya-iya, sudahlah tidak usah terlalu khawatir, Han. Aku janji akan mengerjakannya tepat waktu jika moodku bagus.""Ih ... kamu selalu begitu Ai, aku sebel banget kalau kamu sudah seperti itu." Ucapan Hani membuat Aira sedikit mengulum senyum. "Sudah, jangan merengek terus. Nanti moodku jadi jelek, tidak bisa mengerjakan pekerjaanku tepat waktu, nanti kamu yang dimarahi Pak Fandi baru tau rasa," ancam Aira pada Hani."Jangan, Ai. Aku tidak sanggup mendengar Pak Bos marah-marah lagi," seru Hani takut.Aira tergelak mendengar ucapan Hani, memang sahabatnya itu sangat tidak suka dengan bosnya karena sering dimarahi. Padahal Aira yang berbuat salah tapi selalu Hani yang menjadi sasaran kemarahan bosnya tersebut.Aira dan Hani rekan kerja di sebuah perusahaan yang cukup
Aira menghembuskan nafas lelah, sudah dari tadi dia memeriksa angka-angka yang ada di layar laptopnya, tapi tak juga kunjung selesai. Pekerjaannya benar-benar menumpuk.Itu semua terjadi karena moodnya yang tiba-tiba buruk, setelah mendapat telfon dari sang Ibu yang memaksanya untuk pulang akhir pekan ini.Bukannya Aira tak mau untuk pulang, tetapi kenangan buruknya saat berada di rumah membuat traumanya kadang kembali lagi. Dia harus sering mengkonsumsi obat kembali jika sudah seperti itu.Aira menggerakkan tubuh mencoba merenggangkannya, badannya terasa pegal karena dari tadi duduk di kursi. Dia berharap dengan menggerakkan tubuh bisa sedikit mengusir pegal-pegal di badannya karena duduk terus-menerus memandang layar laptop.Aira berdiri dari kursi berniat membuat secangkir kopi untuk menghilangkan kantuknya. Kaki Aira melangkah menuju dapur, setelah tiba di dapur, dia bergegas membuat kopi.Aira memanaskan air untuk menyeduh kopi, dia lebih suka kopi pahit tanpa gula sama sekali. R
Mata Aira mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan dengan cahaya lampu. Tangannya menggapai jam di atas nangkas, dia ingin melihat jam berapa sekarang. Netra Aira membulat ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit.Buru-buru dia menyibak selimut yang dipakainya, Aira pun bergegas turun dari ranjang menuju kamar mandi. Dia segera mandi dan melaksanakan sholat Subuh setelahnya.Aira bangun kesiangan, padahal pekerjaannya kurang sedikit lagi selesai. Padahal dia sudah memasang alarm tepat jam tiga dini hari. Tapi Aira tidak mendengar bunyi alarm sama sekali.Setelah melakukan ritual pagi, Aira segera menyelesaikan pekerjaannya. Hani bisa mengamuk nanti jika belum juga selesai.Aira mengerjakan sisa pekerjaannya dengan cepat. Dia menghela nafas berat, ini semua gara-gara telfon dari sang Ibu. Jika saja Dewi tidak menelfon tentu semua pekerjaan Aira sudah selesai dari semalam.Setelah semua pekerjaannya selesai, Aira bergegas mengganti pakaian bersiap untuk beran
"Apalagi, Han?" tanya Aira pada Hani melalui sambungan telfon."Kamu tega Ai, cuti tidak memberitahuku terlebih dahulu," rengek Hani."Maaf, Han. Aku cuti juga karena mendadak. Sudahlah, aku sedang menyetir sekarang. Nanti aku hubungi lagi jika aku sudah sampai di rumah." Aira segera mematikan sambungan telfon dari Hani, kupingnya terasa pengang mendengar omelan Hani karena dia tidak memberitahukan cutinya terlebih dahulu pada Hani.Aira memang tidak memberitahukan karena kepulangannya yang mendadak, dan dia juga tidak mau Hani terlalu banyak tanya jika dia mendengarnya.Setelah meletakkan ponsel, Aira kembali fokus menatap jalanan yang cukup ramai di akhir pekan seperti ini. Jika bukan karena desakan sang Ibu tentu dia lebih memilih berdiam diri di kamar daripada harus berkendara di akhir pekan yang selalu ramai dan macet.Jalanan yang berdebu dan ramainya kendaraan yang berlalu lalang membuat Aira merasa malas, mobil yang dia kendarai pun melaju dengan pelan karena sudah banyak kend
Plak!!Sebuah tangan mendarat keras di pipi kanan Aira. Dia merasakan panas mulai menjalar di area pipi yang terkena tamparan. Aira meringis, tangannya sedikit gemetar memegang pipinya yang memerah."Dewi! Apa yang telah kau lakukan?" Arman bergegas mendekati sang putri dan melihat pipinya yang memerah."Iya Ibu, kenapa Ibu menampar Aira?" Aina pun ikut mendekat pada Aira.Aira hanya diam membisu mendapat tamparan dari Dewi. Padahal para tamu baru saja pergi, tetapi Dewi sudah melayangkan tangannya pada Aira. Jujur Aira tidak menyangka jika sang Ibu akan menamparnya begitu para tamu pergi. Aira pikir Dewi akan berubah setelah dia dewasa, tapi nyatanya Dewi tetap saja suka melayangkan tangannya pada Aira.Hati Aira kembali terluka, bahkan rasa bekas tamparan Dewi tidak ada apa-apanya dibanding dengan rasa sakit yang sekarang hatinya rasakan."Aku hanya memberi pelajaran pada anak tidak tahu sopan santun itu. Kamu jangan ikut campur, Mas! Dia pantas mendapatkannya karena telah mempermal