"Apalagi, Han?" tanya Aira pada Hani melalui sambungan telfon.
"Kamu tega Ai, cuti tidak memberitahuku terlebih dahulu," rengek Hani."Maaf, Han. Aku cuti juga karena mendadak. Sudahlah, aku sedang menyetir sekarang. Nanti aku hubungi lagi jika aku sudah sampai di rumah." Aira segera mematikan sambungan telfon dari Hani, kupingnya terasa pengang mendengar omelan Hani karena dia tidak memberitahukan cutinya terlebih dahulu pada Hani.Aira memang tidak memberitahukan karena kepulangannya yang mendadak, dan dia juga tidak mau Hani terlalu banyak tanya jika dia mendengarnya.Setelah meletakkan ponsel, Aira kembali fokus menatap jalanan yang cukup ramai di akhir pekan seperti ini. Jika bukan karena desakan sang Ibu tentu dia lebih memilih berdiam diri di kamar daripada harus berkendara di akhir pekan yang selalu ramai dan macet.Jalanan yang berdebu dan ramainya kendaraan yang berlalu lalang membuat Aira merasa malas, mobil yang dia kendarai pun melaju dengan pelan karena sudah banyak kendaraan yang berdesakan di waktu-waktu seperti ini. Aira menghela nafas berat, perjalanan yang dia tempuh masih sekitar dua jam lagi, dia merasa tubuhnya sudah lelah saja membayangkan kemacetan di depannya.Jarak yang Aira tempuh memang lumayan cukup jauh, rumahnya terletak di pinggiran Ibu Kota, sedangkan Aira sekarang tinggal di Kota yang berbeda. Semua karena pilihannya sendiri yang tidak mau tetap berada di rumah yang seperti neraka buatnya. Rumah yang tidak bisa disebut rumah yang sebenarnya untuknya. Jika untuk seseorang rumah adalah tempat yang ternyaman untuknya, tapi tidak bagi Aira. Rumah Aira adalah neraka untuknya, tempat dia selalu mendapatkan kepahitan sejak dia mulai membuka mata. Bisakah tempat seperti itu disebut dengan rumah? Tidak, itu bukan rumah, itu hanyalah tempat penyiksaan, tempat yang hanya bisa membuat luka, membuat cacat mental Aira hingga sekarang.Sejak lulus kuliah Aira memang sudah bertekad untuk keluar dari rumah tersebut. Dia menyerah untuk bertahan di sana, dia menyerah untuk mendambakan kasih sayang dari keluarganya. Aira sangat lelah jika harus terus memupuk harapan-harapan yang semu.Tak terasa waktu pun cepat berlalu, Aira pun sudah sampai di depan rumah. Walau sudah sampai, dia belum ingin turun. Aira masih mencoba untuk menenangkan hatinya, sebisa mungkin dia harus bisa mengendalikan diri.Netra Aira memandang suasana halaman rumah yang tidak berubah semenjak terakhir kali dia pulang saat lebaran tahun lalu. Aira memang jarang sekali pulang jika tidak ada hal yang penting, untuk apa pulang jika kehadirannya tidak pernah dianggap ada, hanya akan menambah luka di hati saja.Tok ... tok ... tok.Aira tersentak mendengar suara dari ketukan kaca mobilnya. Dia segera menoleh, dilihat sosok wajah yang selalu membuatnya iri. Wajah Aina, kakak Aira yang selalu mendapatkan kasih sayang lebih dari sang Ibu. Aina sedang tersenyum pada Aira, sembari melambaikan tangannya menyuruh Aira untuk keluar dari mobil.Aira menarik nafas dalam, sudah waktunya dia memasang topeng. Topeng yang selalu dia pakai saat pulang ke rumah. Aira meraih tas dan segera turun dari mobil."Apa kabar Ai?" sambut Aina begitu melihat sosok sang adik turun dari mobil. Tangannya terentang ingin memeluk Aira."Baik," jawab Aira singkat menepis tangan sang kakak yang hendak memeluknya. Aira berjalan melewatinya untuk masuk ke dalam rumah tanpa kata.Sudut mata Aira melihat wajah Aina muram karena perlakuannya, terlihat jelas raut kecewa yang terpancar di wajahnya. Sungguh Aira tidak membencinya sama sekali, dia hanya mencoba menjaga hatinya agar tidak lemah. Aira bersikap dingin hanya karena untuk menutupi kelemahannya, kecacatan mentalnya."Bagus, akhirnya kamu pulang juga. Segeralah bersiap, sebentar lagi kita ada tamu." Suara Dewi membuat Aira menghentikan langkahnya yang baru saja akan menaiki tangga."Aku baru sampai, Bu," ucap Aira menoleh menatap sang Ibu."Aku tidak buta, aku cukup tahu kamu baru sampai. Lalu kenapa?""Tolong ijinkan aku istirahat barang sejenak ....""Sudah cukup! Aku tidak mau mendengar alasan apapun, sekarang juga cepatlah bersiap. Jangan berani-berani melawan Ibumu!" Dewi memotong ucapan Aira dengan suara keras.Hati Aira berdenyut nyeri mendengar ucapan Dewi. Tidakkah Dewi tahu bahwa tubuh sang putri letih akibat perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan? Apakah Aira tidak boleh istirahat walau sejenak saja?Tanpa membalas ucapan sang Ibu, Aira pun melanjutkan langkah menuju kamarnya. Sebelum lepas kendali, Aira harus kembali menenangkan diri. Setelah tiba di kamar dia langsung mengunci pintu, tangan Aira sedikit gemetar saat menguncinya.Aira berdiri bersandar membelakangi pintu, dia menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Aira terus melakukannya sampai sedikit lebih tenang.Saat sudah tenang, Aira melangkah menuju ranjang, dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Netra Aira menatap langit-langit kamar yang gelap, segelap hatinya saat ini. Walau pulang ke rumah masa kecilnya, tapi Aira merasa hatinya bertambah hampa, lebih hampa dari biasanya.Aira segera bangkit dari ranjang mengingat perintah Dewi. Dia melangkahkan kaki dengan malas menuju kamar mandi. Aira juga ingin melihat siapa tamu yang akan datang hingga sang Ibu memaksanya untuk segera bersiap saat baru sampai di rumah.***Aira duduk dengan malas, saat para tamu baru saja datang dan telah duduk dengan kedua orangtuanya. Aira tidak mengenal tamu-tamu tersebut. Mereka terdiri dari lima orang, dua orang paruh baya, satu perempuan muda, dan dua laki-laki muda. Mereka terlihat seperti keluarga yang berada dilihat dari penampilannya."Terima kasih telah memenuhi undangan mendadak kami, maaf jika kemarin kami sempat membatalkan pertemuan ini. Aira baru sempat pulang minggu ini," ucap Arman membuat Aira menoleh heran. Dalam hati dia bertanya-tanya, apa hubungan dia dengan pertemuan ini? Aira tidak paham dengan maksud ucapan sang Ayah."Tidak mengapa, Pak Arman. Mungkin Nak Aira masih sibuk," sahut lelaki paruh baya yang belum Aira ketahui namanya."Baiklah, kalau begitu kita mulai saja pembicaraan intinya untuk membahas perjodohan antara Aira dan juga Nak Revan." Suara lembut Arman bagai petir untuk Aira.Bola matanya langsung membulat mendengar ucapan sang Ayah. Dia tidak menyangka kalau kepulangannya kali ini, dia harus mendengar hal yang menurutnya tidak masuk akal.Aira menggeleng tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Kenapa mereka memutuskan perjodohanku tanpa bertanya kepadaku terlebih dahulu? Apa begitu tidak pentingnya pendapatku untuk hidupku sendiri? Apa aku memang tidak berhak untuk menentukan masa depanku?" batin Aira bertanya-tanya.Berbagai pertanyaan memenuhi pikiran Aira sekarang, tangannya pun mulai gemetar. Hati Aira mulai sesak, dia harus segera pergi sebelum terlambat. Aira bangkit dari duduk, dan menundukkan kepala, "Maaf, saya ke kamar mandi sebentar," ucap Aira mulai melangkah pergi dari ruang tamu tanpa menunggu jawaban dari orang-orang di ruang tamunya.Aira melangkahkan kaki cepat menuju kamar mandi, setelah sampai kamar mandi segera Aira membasuh muka, mencoba menyegarkan kembali pikirannya.Aira benar-benar tidak menyangka jika kedua orangtuanya sudah mengatur perjodohannya sedemikian rupa. Jika saja mereka mengatakan sebelumnya tentu Aira tidak akan pulang hari ini, dia tidak akan mempertaruhkan sisa hidupnya dengan orang yang tidak dia kenal sedikit pun. Sudah cukup dia menderita karena tidak dianggap di keluarga ini, kenapa mereka malah menambah beban lagi di hidup Aira? Apa ini cara mereka membuat Aira semakin menderita lagi?Plak!!Sebuah tangan mendarat keras di pipi kanan Aira. Dia merasakan panas mulai menjalar di area pipi yang terkena tamparan. Aira meringis, tangannya sedikit gemetar memegang pipinya yang memerah."Dewi! Apa yang telah kau lakukan?" Arman bergegas mendekati sang putri dan melihat pipinya yang memerah."Iya Ibu, kenapa Ibu menampar Aira?" Aina pun ikut mendekat pada Aira.Aira hanya diam membisu mendapat tamparan dari Dewi. Padahal para tamu baru saja pergi, tetapi Dewi sudah melayangkan tangannya pada Aira. Jujur Aira tidak menyangka jika sang Ibu akan menamparnya begitu para tamu pergi. Aira pikir Dewi akan berubah setelah dia dewasa, tapi nyatanya Dewi tetap saja suka melayangkan tangannya pada Aira.Hati Aira kembali terluka, bahkan rasa bekas tamparan Dewi tidak ada apa-apanya dibanding dengan rasa sakit yang sekarang hatinya rasakan."Aku hanya memberi pelajaran pada anak tidak tahu sopan santun itu. Kamu jangan ikut campur, Mas! Dia pantas mendapatkannya karena telah mempermal
Suasana ruang makan terlihat begitu hangat, Aira menyunggingkan bibir, tersenyum miris. Netranya mengembun melihat pemandangan yang membuat hatinya ngilu. Dewi, Arman serta Aina sedang sarapan bersama dengan bersanda gurau. Nampak mereka sangat bahagia sekali.Aira sedang berdiri di anak tangga paling atas menatap keakraban mereka bertiga dengan tatapan sendu, dia sangat iri dengan suasana hangat di sana. "Apakah aku tidak punya sedikit tempat di antara mereka?" batin Aira bertanya-tanya.Aira ingin sekali bergabung dengan mereka, tertawa bersama mereka. Tapi itu semua mustahil dan tidak akan pernah terwujud. Dia hanya bisa terluka jika mencoba mendekat, tidak ada tempat untuknya di sana.Aira juga bagian dari keluarga itu, tapi kenapa seolah dia ini hanyalah orang asing saja. Sejak dulu pun dia tidak pernah bergabung untuk makan bersama mereka. Aira selalu makan seorang diri setelah mereka menyelesaikan makannya.Aira sudah terbiasa tersisih, tetapi hatinya masih saja sakit jika mel
Terik matahari sudah mulai membakar kulit Aira, tetapi dia masih saja betah duduk berlama-lama di pesisir pantai, menikmati suasana pantai yang sepi karena awal pekan.Setelah dua jam Aira berkendara tanpa arah, dia memutuskan untuk mengarahkan mobilnya ke arah pantai. Aira ingin mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali bekerja.Netra Aira menatap ombak yang bergulung-gulung dengan kuat, dia ingin sekali menenggelamkan tubuhnya di tengah-tengah ombak tersebut. Mungkin dengan begitu dia tidak perlu merasakan penderitaan lagi. Mungkin juga rasa sakitnya akan menghilang bersamaan dengan menghilangnya ombak-ombak tersebut.Hijab Aira berkibar-kibar diterpa angin yang kencang. Dia pun memejamkan mata menikmati suara deburan ombak yang menabrak karang.Rasanya nyaman, tidak ada suara sang Ibu yang memarahi ataupun membentaknya. Sedikit demi sedikit hatinya mulai merasa tenang. Kesendirian membuatnya merasa sangat nyaman.Sendiri juga membuat Aira tidak terluka semakin dalam lagi. Dia mer
"Ai, aku mencintaimu."Kata-kata yang tak pernah Aira bayangkan keluar dari mulut Fandi. Aira bahkan tidak pernah lagi mengharapkan kata-kata tersebut diucap seseorang padanya.Sejak seringkali dikecewakan oleh harapan semu membuat hati Aira beku. Dia tak lagi memimpikan kebahagiaan dicintai oleh orang lain. Hatinya seperti mati rasa sejak itu.Hening.Hanya keheningan yang Aira rasakan walaupun suasana restoran cukup ramai. Dia sedang sibuk merangkai kata untuk menolak Fandi dengan sopan. Dia tidak mau hubungannya dengan sang bos berakhir buruk sebelum dia resign dari perusahaan yang selama ini menaunginya."Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima perasaan Bapak. Karena sebentar lagi saya akan menikah. Orang tua saya sudah menjodohkan saya dengan lelaki pilihan mereka," ucap Aira dengan suara pelan. Takut membuat Fandi semakin kecewa padanya.Hati Fandi langsung mencelos mendengar penolakan dari wanita pujaannya itu. Tidak disangka kalau dia telah terlambat mengutarakan isi hatinya pada
"Ai, kamu tahu nggak Pak Fandi kenapa? Dari kemarin raut wajahnya terlihat suram," tanya Hani sembari menyesap minuman di tangannya.Hani dan Aira sedang berada di sebuah restoran, mereka baru saja pulang kerja dan mampir untuk mencari makan.Aira tersentak mendengar pertanyaan Hani, dia merasa bersalah telah membuat Fandi berubah seperti yang dikatakan oleh Hani. Tapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa tentang perasaan Fandi itu."Sejak pulang dari meeting denganmu itu, dia selalu uring-uringan. Ada saja yang salah di depannya. Aku jadi makin takut jika berhadapan dengannya, Ai," tambah Hani makin membuat Aira tidak enak hati.Tapi Aira juga tidak bisa mengubah semuanya, dia tidak bisa menerima perasaan Fandi di saat dia sudah berjanji akan menerima perjodohan yang diatur oleh keluarganya."Aku tidak tahu, Han. Mungkin Pak Fandi sedang ada masalah pribadi." Aira tidak bisa jujur pasa Hani tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak mau jika Hani mengetahui apapun tentangnya."Apa
"Kamu tidak lupa kan jika dua minggu lagi kamu akan menikah?" tanya Dewi melalui sambungan ponsel.Aira memutar bola matanya jengah dengan pertanyaan Dewi, mana mungkin dia bisa lupa jika sebentar lagi dia akan menikah. Sudah berkali-kali Dewi menelfonnya hanya untuk mengingatkannya tentang pernikahan. Padahal Aira hanya ingin merasakan ketenangan untuk sebentar saja, sebelum dia menikah."Apa kamu tuli, hingga tidak bisa menjawab pertanyaanku?" sentak Dewi.Hati Aira berdenyut nyeri mendengar suara sang Ibu meninggi. Hal yang biasa Aira terima tapi masih mampu menggetarkan tubuhnya."Aku mendengarnya, Bu. Ibu jangan khawatir, aku pasti akan segera pulang sebelum hari pernikahanku. Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak akan kabur dari perjodohan ini, jadi Ibu tenang saja," sahut Aira benar-benar sudah merasa jengah dengan semuanya."Jika kamu berani kabur, aku pasti akan mencarimu dan mematahkan kakimu itu!" ancam Dewi pada Aira, lalu dia pun memutuskan sambungan telfon.Aira menu
Pagi ini, Aira sudah selesai bersiap. Ia sudah selesai mengemas barang-barang yang akan dibawanya pulang dan hanya tinggal berangkat saja.Tidak terasa waktu cepat sekali berlalu, pernikahan Aira sudah ada di depan mata. Satu minggu lagi, dia akan benar-benar terbebas dari belenggu sang ibu. Tapi siapa yang tahu masa depan, mungkin saja Dewi masih tetap mengganggu kehidupan Aira meski dia sudah menikah. Entahlah.Rencananya Aira akan berangkat setelah selesai sarapan, bukankah dia harus mengumpulkan banyak tenaga untuk perjalanan yang akan dia tempuh sekaligus untuk menghadapi Dewi jika dia sudah sampai di rumah? Bisa saja kan di saat Aira baru tiba Dewi langsung berbuat buruk pada Aira?Aira masih berkutat di dapur, dia memasak nasi goreng sebagai sarapan paginya. Dia tidak mau ribet, cukup membuat masakan sederhana untuk menghemat waktu. Setelah selesai memasak, Aira memindahkan nasi goreng tersebut ke atas piring. Lalu dia membawanya ke meja makan, dan memulai sarapannya.Saat akan
Aira menghela napas panjang, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Dia sudah sampai di rumah, tapi belum beranjak keluar dari mobilnya. Aira masih menyiapkan mentalnya untuk memasuki rumah yang seperti neraka baginya. Dia harus menyiapkan mentalnya jika sewaktu-waktu mendapat amukan dari sang ibu lagi."Bismillah, Ya Allah semoga hamba-Mu ini bisa melewati seminggu ini dengan baik," gumam Aira. Lalu dia pun memutuskan untuk keluar dari mobilnya.Aira menatap ke dalam rumah yang terbuka pintunya dari kejauhan, di sana sudah tampak ramai. Banyak sanak saudara yang sudah datang untuk membantu persiapan pernikahan Aira.Aira pun melangkahkan kaki ke arah pintu, tangan Aira membawa tas ransel yang berisi barang-barangnya. Setelah sampai di depan pintu dia langsung melangkah masuk, dan berhenti sejenak ketika melihat kesibukan orang-orang. Hampir tidak ada yang menyadari kedatangan Aira, semua orang sedang fokus dengan pekerjaannya masing-masing. Hingga tak berapa lama, sebuah tangan menyam