Share

Tidak di hargai

Saat adik-adikku sukses

Part 4

"Pintunya di kunci Kang, kayaknya gak ada siapa-siapa di dalam," ucap Nurma pada Hendi.

"Terus gimana? kita pulang lagi?"

"Pulang lagi aja, buat apa di sini juga, kita juga kan gak tahu kapan mereka pulang."

Hanya Ratri orang tua yang di miliki Nurma dan Hendi saat ini, karena Hendi sudah menjadi yatim piatu sejak masih bujang, untuk berkunjung ke rumah saudara-saudara Hendi pun jaraknya sangat jauh karena berada di luar kabupaten.

"Loh, kamu kok ada di sini Nur? gak ikut sama Ibu dan adik-adikmu?" tanya Mbak Ria, tetangga samping rumah Ibunya.

Nurma langsung bangkit dari tempat duduknya, dia lmengulurkan tangannya sambil mengucapkan minal aidzin.

Mbak Ria memang biasa memanggul Nurma dengan panggilan Nur.

"Iya Mbak, Mbak tahu Ibu dan adik-adikku pergi ke mana?"

"Oalah, masa kamu gak tahu sih? emang gak di ajak?"

"Engga Mbak, aku nggak tahu."

"Ibu sama adik-adikmu udah berangkat dari subuh, mereka mau ke rumah calon mertuanya Mala yang ada di luar kota, emang kamu gak di ajak? masa sih? Mbak juga di ajak, tapi Mbak malas, cape kalo perjalanan jauh-jauh."

Pantas saja saat di Masjid tadi, dia tidak bertemu dengan Ibu dan kedua adiknya Mala dan Dewi, begitupun Hendi, dia juga tidak bertemu dengan Lukman.

"Oh, iya, Nurma baru ingat Mbak, Nurma di ajak kok tapi kirain Nurma berangkatnya gak bakalan subuh," Nurma berbohong, dia menutupi kelakuan kurang baik keluarganya itu.

Setelah Mbak Ria pergi, Nurma langsung mengajak Hendi dan Tedi pulang.

Beberapa saat Nurma tertegun, memandangi rumah permanen yang di dominasi cat berwarna abu-abu dan hitam itu.

Rumah yang di bangun oleh kerja keras Nurma bila jasanya itu di akui, dulu, sebelum Nurma pergi menjadi TKW, rumah ini hanya gubug reot yang terbuat dari bambu, bahkan dapurnya pun masih beralaskan tanah.

Selama Nurma di sana, Nurma tidak pernah telat mengirim uang, semua gajinya dia kirim karena dia sangat percaya pada keluarganya, apalagi jika ada yang menjual sawah atau tanah dengan harga murah, Ibu atau adik-adiknya sering meminta uang lebih pada Nurma bahkan meminta Nurma untuk berhutang pada majikannya.

Beruntungnya Nurma mendapat majikan yang sangat baik, saat Nurma butuh apapun majikannya tidak segan membantunya.

Saat Nurma masih di luar negeri, Ibunya selalu bercerita gaji Nurma tidak hanya di gunakan untuk biaya pendidikan adik-adiknya tapi juga sudah di pakai untuk membeli sawah dan tanah yang cukup luas, juga merenovasi rumah secara total.

Akan tetapi saat Nurma pulang, dia tidak bisa menikmati hasil kerja kerasnya itu, tidak ada satupun aset yang atas nama dirinya, padahal semua itu di beli menggunakan hasil keringatnya.

Nurma tidak mau ambil pusing, dia tidak pernah mengungkit jasanya, 6 bulan setelah pulang ke tanah air Nurma memutuskan untuk menikah dengan Hendi yang di kenalkan oleh salah satu temannya.

Acara pernikahan pun di langsungkan secara sederhana, hanya akad saja yang di laksanakan di kantor urusan agama, padahal jika Nurma menuntut hasil kerja kerasnya dia bisa menggelar pesta di hari pernikahannya.

Setelah menikah Nurma dan Hendi memilih untuk mandiri, mereka membangun sebuah rumah kecil sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu. Rumah itupun beridiri di atas tanah negara yang bisa sewaktu-waktu di gusur karena mereka tidak memiliki hak atas tanah itu.

"Kamu sedih ya Neng? karena keluargamu gak ada bahasa sama sekali sama kamu?" tanya Hendi seolah-olah tahu perasaan Istrinya.

"Iya Kang, sebagai anak tertua aku merasa tidak di hargai, padahal kalau di ajak pun Nurma gak bakal ikut."

"Gak apa-apa, kamu sabar ya Neng, Akang janji akan berusaha lebih keras lagi supaya kamu bisa lebih di hargai oleh mereka."

"Iya Kang, padahal salah apa ya aku ini, jika aku perhitungan sudah aku tagih lah semua uang gajiku yang sudah di pakai untuk biaya mereka sekolah dan kuliah, Nurma menyesal sudah menyekolahkan mereka tinggi-tinggi tapi akhrinya mereka menginjak harga diri Nurma hanya karena Nurma tidak punya jabatan seperti mereka."

"Sabar ya Neng, biarkan saja di dunia mereka seperti ini, jika Neng ikhlas Neng akan mendapat hasilnya di akhirat nanti."

***

Tepat satu minggu setelah lebaran, Mala menggelar acara lamaran, dan rencananya pernikahan akan di gelar dalam waktu dekat.

Sebagai anak dan kakak yang baik, Nurma ikut bahagia atas acara lamaran adiknya itu. Dia buang jauh-jauh rasa sakit hati yang ia terima beberpa hari lalu.

"Nurma, awas ya si Tedi kalau sampai maju ke depan, anak ingusan itu bikin malu, inget keluarga calon suami Nurma bukan orang sembarangan!" ucap Ratri saat Nurma membantu menyiapkan konsumsi di dapur.

Mendengar anaknya di hina, hati Nurma yang awalnya lapang, kembali terlukai dan dia memilih untuk langsung pergi meninggalkan rumah Ibunya.

Dia tidak peduli lagi Ibunya itu akan marah atau mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan, karena percuma, rasa sabar dan patuh Nurma selama ini tidak di hargai.

Ratri hampir setiap hari membanggakan calon menantu dan besannya pada semua orang yang ia temui, ia mengatakan jika calon suami Mala berasal dari keluarga kaya raya dan bukan orang sembarangan. Pernikahan pun akan di gelar secara mewah.

"Pokoknya pernikahan Mala akan menjadi pernikahan paling mewah di kampung ini, dekor nya aja 35 juta," ucap Ratri bangga.

***

"Neng, doain Akang ya, semoga Akang bisa pulang bawa uang," ucap Hendi saat akan berangkat kerja ke kota.

Kemarin Hendi mendapat tawaran kerja menjadi tukang di kota dari salah satu temannya.

Bagai mendapat angin segar, Hendi langsung menyetujui ajakan dari temannya itu.

Beruntungnya temannya itu sangat baik, dia mau meminjamkan uang pada Hendi untuk ongkos dan bekal Nurma di rumah sebelum ia mendapat bayaran.

Dua minggu sudah Hendi bekerja, uang yang di berikan Hendi untuk bekal sudah habis padahal Nurma sudah irit sebisa mungkin. Hendi memberi kabar jika dia baru gajian dua hari lagi, dengan terpaksa Nurma harus berhutang terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhannya bersama Tedi.

"Bi Lina maaf bisa ngambil dulu gak? Kang Hendi baru bisa ngirim besok lusa." Nurma terpaksa menebalkan muka di depan pemilik warung.

"Kamu ini kayak ke siapa aja, ya boleh atuh. Sok butuh apa?"

Bi Lina memang baik, pemilik warung itu tidak pelit dalam memberi hutang apalagi jika dia tahu orang yang dia beri hutang sangat amanah.

"Beras 2 kilo, telor sepermpat sama sabun colek 2."

Bi Lina langsung menimbang beras dan telor, kemudian mengambil dua kantong sabun colek dan memasukannya ke dalam kresek hitam.

"Nurma, maaf ni ya, emang kamu benar gak punya uang?"

"Gak punya Bi, kalau punya, Nurma gak mungkin berhutang."

"Emm gitu ya, Ibu kamu baru jual tanah loh yang di pinggir Indo april itu, emang kamu gak di kasih bagian? seinget Bibi sih itu tanah di beli waktu kamu masih di Taiwan, pasti itu uang kamu kan?"

"Yang benar Bi?" tanya Nurma kaget, dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

"Masa Bibi bohong sih, kan paman Bibi yang jadi makelarnya, alhamdulilah Bibinya Bi Lina juga kecipratan hasilnya."

"Oh gitu ya Bi, Nurma gak tahu, yaudah Nurma pulang ya Bi, takutnya Tedi bangun."

Pulang dari warung Nurma menyimpan belanjaannya di dapur, lalu melihat Tedi sebentar yang masih tertidur lelap, dia langsung keluar berjalan ke rumah Ibunya untuk menanyakan kebenaran tentang informasi yang di dapat dari Bi Lina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status