Share

Tanah yang dijual

Saat adik-adikku sukses

Part 5

Nurma mempercepat langkahnya agar segera sampai di rumah Ibunya, dia tidak sabar ingin mengetahui kebenaran tentang tanah yang di jual.

Nurma masih ingat saat Ibunya meminta di kirim uang untuk membeli tanah itu, saat itu Nurma baru saja mengirim semua gajinya, namun beberapa hari kemudian Ibunya kembali menghubungi Nurma.

"Kamu gak bisa ngusahain Nurma? ini tanahnya bagus loh, posisinya sangat strategis, yang punyanya lagi kepepet makanya di jual murah, sekarang mana dapat tanah pinggir jalan harga segitu di sampingnya lagi di bangun buat bikin Indo April, itu loh toko yang kalau belanja pake alat yang bunyinya nit nit," ucap Ratri.

"Gimana ya Bu? kan Ibu tahu semua gaji Nurma sudah di kirim, emang gak ada tabungan sama sekali?"

"Ya gak ada lah, gajimu itu cuma pas-pasan, biaya kuliah Mala sama Dewi mahal, belum lagi Lukman sekarang udah SMK, dia juga lagi ngerengek minta di beliin motor gede, ayo kamu coba ngomong sama majikan kamu, cuma 25 juta masa gak di kasih sih?"

"Iya Bu, Nurma usahain ya!"

Mungkin bagi orang lain hal yang sangat mustahil meminjam uang pada majikan terutama bagi mereka yang bernasib mendapat majikan yang pelit dan perhitungan, tapi dalam hal ini Nurma beruntung, majikannya bahkan sudah menganggapnya sebagai anak.

Setelah Nurma memberanikan diri berbicara pada majikannya, Nurma pun menerima uang sesuai permintaan Ibunya sebesar 25 juta, selama beberapa bulan ke depan gaji Nurma di potong untuk membayar hutangnya.

Sampai di rumah Ibunya, dia melihat sebuah mobil pick up terparkir, ada beberapa orang juga berdiri di halaman, sepertinya mereka sedang mengukur sesuatu terlihat dari alat yang di pegang oleh salah satu dari mereka.

Nurma tidak peduli dengan kehadiran mereka, dia langsung masuk ke dalam mencari Ibunya.

Ceklek

Nurma langsung masuk ke dalam kamar Ratri, di dalam kamar ada Ratri dan Mala sedang menghitung lembaran uang berwarna merah muda yang cukup banyak, kebetulan hari ini adalah akhir pekan, Mala sedang tidak bekerja karena libur.

Melihat lembaran-lembaran uang itu, Nurma langsung yakin dengan apa yang di katakan Bi Lina tadi, meskipun dia belum mendapat jawabannya langsung dari sang Ibu.

Saat melihat kehadiran Nurma, wajah mereka langsung memerah, dan menunjukkan ekspresi tidak suka.

"Kamu ini, gak sopan banget. Masuk kamar Ibu gak ketuk pintu dulu!" Tegur Ratri.

"Maafin Nurma Bu."

"Bu, Nurma dengar Ibu baru jual tanah yang di pinggir Indo April, apa benar Bu?"

"Iya benar, ini uangnya," ucap Ratri enteng, tanpa merasa bersalah.

"Kenapa Nurma gak di kasih tahu Bu? itukan hasil kerja keras Nurma selama di Taiwan," tanya Nurma dengan nada kecewa.

"Oh, jadi kamu mau perhitungan?"

"Bukan perhitungan, tapi tolonglah hargai Nurma Bu, bagaimana pun kan itu di beli menggunakan uang Nurma."

"Tanpa di kasih tahu pun kamu sudah tahu sekarang, terus kamu maunya apa?"

"Emang uangnya buat apa Bu? Ibu perlu apa sampai menjual tanah itu?"

"Loh, kamu gak tahu emang? Mala kan mau menikah, butuh biaya banyak buat pesta, jadi mau tidak mau harus ngeluarin uang, tuh di depan kamu gak lihat ada orang yang udah ngukur buat pasang tenda dan dekorasi nanti"

"Oh, jadi tanah itu di jual buat pesta Mala? bukannya keluarga suami Mala itu orang kaya? kenapa tidak minta saja sama mereka?"

"Lagian, kamu juga selama ini kan kerja Mala? gaji kamu besar kan? masa mau menikah sampai harus jual tanah Teteh?"

"Teh, ini tanah milik Ibu, atas nama Ibu, terserah dong kalau Ibu jual buat pesta aku."

"Tapi, kalau bukan hasil kerja keras Teteh, tanah itu tidak mungkin bisa di miliki kan?"

"Oh, jadi Teteh mau perhitungan?"

"Kalau Teteh perhitungan, Teteh bakal ngungkit semua uang-uang Teteh yang udah di pakai buat biaya kamu sekolah dan kuliah."

"Pokoknya Teteh gak ikhlas tanah hasil kerja keras Teteh di pakai buat biaya pesta kamu." Nurma langsung mengambil tumpukan uang yang berada di atas kasur.

Ratri dan Mala berusaha mencegah apa yang di lakukan Nurma. Hingga akhirnya Nurma tidak kuat melawan, karena tenaga Mala dan Ratri jauh lebih kuat.

Beberapa lembaran uang kembali terjatuh ke atas kasur, saat adik dan Ibunya itu merapihkan uang yang jatuh dari tangan Nurma, ia langsung melarikan diri secepat mungkin.

Nurma seperti pencuri, padahal uang yang ia ambil adalah murni hasil kerja kerasnya.

Sampai di rumah, Nurma langsung menyembunyikan uang itu di tempat yang sangat tersembunyi, bahkan dia sendiri belum sempat menghitungnya.

Nurma yakin Ibu dan adiknya ada kemungkinan akan datang dan mengobrak-abrik seisi rumahnya.

Nurma di hantui rasa gelisah, dia ketakutan entah apa yang membuatnya merasakan hal itu.

Sekuat mungkin dia buang jauh-jauh rasa itu agar hatinya lebih tenang.

Nurma sampai lupa belum memasak, buru-buru dia mencuci beras hasil hutang di warung Bi Lina tadi, agar saat Tedi bangun nasi sudah matang.

Trek

Nurma menyalakan api kompor, kemudian menuangkan beras di atas wajan tak lupa dia menambahkan air, setelah air menyusut api kompor langsung di matikan dan membiarkan beras itu sampai dingin.

Setelah itu Nurma menyiapkan panci dan sebuah saringan yang terbuat dari kain tipis, Nurma kemudian menyalin beras dari wajan ke dalam panci lalu dia meletakkan dua butir telur di atasnya, agar saat nasi matang telur pun siap di nikmati.

Meskipun kehidupannya masih sulit, namun dia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan gizi Tedi, meskipun hanya dengan sebutir telur.

Hari sudah sore, sebentar lagi adzan asar berkumandang, Nurma membangunkan Tedi untuk siap-siap pergi mengaji.

"Tedi, bangun Nak, bentar lagi ashar."

"Jam berapa Bu?"

"Udah jam 3, bentar lagi adzan, ayo cepat mandi!"

"Iya Bu."

Setelah Tedi bangun, Nurma membawa anaknya itu ke kamar mandi.

Meskipun usianya masih 5 tahun, tapi Tedi sudah tidak rewel dalam hal apapun, bahkan untuk meminta jajan dia jarang, Tedi sangat paham keadaan orang tuanya.

Sebelum berangkat mengaji, Nurma menyuapi Tedi terlebih dahulu, agar perut anaknya itu tidak kosong saat menimba ilmu.

"Mama suapin ya, biar tangan Tedi gak amis kan mau ngaji."

"Padahal Tedi udah bisa makan sendiri Bu."

"Gak apa-apa."

Sepiring nasi hangat dengan lauk telur kukus yang di masak bersama nasi tadi langsung tandas.

"Tedi berangkat dulu ya Bu, assalamualaikum,"

"Waalaikumusalam, ingat jangan nakal ya!" pesan Nurma pada anak semata wayangnya itu.

Adzan magrib sudah berkumandang, gegas Nurma bersiap mengambil wudhu, lalu menjalankan shalat wajib 3 rakaat.

Setelah shalat dia sempatkan membaca Alquran meski hanya satu lembar.

"Bu, Tedi pulang," ucap Tedi sambil meraih punggung tangan Ibunya.

Tedi memang biasa pulang saat shalat magrib berjamaah sudah selesai, setelah belajar ngaji beres dia tidak langsung kembali ke rumah dia memilih untuk menunggu waktu magrib di Masjid.

Malam hari, Nurma biasa mengajarkan Tedi menulis dan berhitung, dengan harapan saat sekolah nanti tangan Tedi tidak kaku saat memegang pensil.

"Ambil buku sama pensilnya!" ucap Nurma sambil melepas mukena.

Baru saja Tedi membuka buku lusuh miliknya, terdengar ada orang yang mengetuk pintu rumah dengan keras.

Tok tok tok

Tok tok tok

"Nurma, buka Nurma!" Nurma saat kenal dengan suara yang memanggil namanya itu.

Dialah Ratri, Ibunya. Apa yang Nurma duga ternyata benar terjadi, Ibu dan adiknya pasti akan datang ke rumahnya.

Saat membuka pintu, Nurma sedikit kaget karena Ibunya itu datang membawa Pak RT dan Pak RW juga beberapa tokoh masyarakat.

"Ayo, geledah saja rumahnya, pasti uangnya ada di dalam!" ucap Ratri.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rafael Bencong
Bupati sekalian biar tambah rame ahahahaaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status