Urusan dengan pekerjaan telah ia selesaikan dan Shienna kini mengemudikan mobil menuju ke sebuah tempat yang sejak beberapa hari lalu ingin ia kunjungi. Ia mempercepat laju kendaraan dan bergegas turun ketika mobilnya telah berada di halaman parkir di basement sebuah bangunan yang tak kalah megah dengan kantor milik Bryan. Shienna berdiri di depan meja front desk untuk meminta waktu bertemu dengan seseorang, tetapi pegawai tersebut memintanya untuk menunggu. “Apakah kau tidak tahu siapa aku? Bosmu sangat mengenalku yang artinya kau akan mendapat masalah kalau menghalangi tujuanku bertemu dengannya,” tutur Shienna yang mulai tak sabar. “Maafkan kami Nona Miller, tetapi Tuan Hashimoto sedang ada meeting yang mungkin akan selesai satu jam lagi. Jika berkenan, silakan menunggu di lobi. Kami akan mempersilakan Anda masuk jika Tuan Hashimoto sudah selesai.” “Aku tidak butuh izin kalian!” Shienna menegaskan dan mulai memutar tubuh lalu masuk ke dalam lift yang terbuka, berkumpul bersama p
Tak mungkin Shienna tidak mengenali pria yang kini berdiri tak jauh darinya. Bahkan andai sekadar suara langkah kakinya pun, Shienna sangat mengenalnya, begitu juga aroma tubuhnya, suaranya, embusan napasnya.Semuanya tentang Bryan sudah seperti bagian dirinya yang tak mungkin tidak ia kenali. Tak akan mungkin akan ia lupakan begitu mudah. Shienna tertegun kala melihat siapa yang sudah berdiri mematung dan tak mengalihkan tatapan darinya. Keduanya seolah kehilangan kata yang telah tersusun rapi yang mereka rencanakan untuk katakan jika mereka bertemu kembali. Nyatanya, tak ada satu pun yang memulai pembicaraan meski hanya sekadar umpatan. Shienna menatap Bryan dengan sepasang bola mata yang telah basah, sementara Bryan nyaris tak bisa menahan diri untuk tidak menghambur dan meraih Shienna ke dalam dekapannya. Namun, ia mengepalkan tangan untuk menahan dorongan itu. Ia tak ingin menakuti sang istri yang baru saja bertemu setlah sekian lama pergi. Lagi pula, Shienna telah bersama pri
“Nona Miller, apakah kau bisa datang ke kantor?” tanya sebuah suara di saluran seberang yang membuat Shienna menepikan mobil. Ia menyimak perkataan wanita itu dan kemudian bergegas melajukan kendaraannya menuju ke kantor yang sebelumnya telah wanita itu sebutkan. “Mengapa wanita itu memintaku untuk datang ke kantor? Bukankah ia mengatakan estimasi terjualnya rumah itu sekitar dua minggu? Ini baru satu minggu berlalu, apakah ia ingin membatalkan perjanjian?” Shienna bergumam sembari terus memusatkan perhatian pada kemudi dan jalanan lengang di hadapannya. Tak berapa lama, ia tiba di kantor agen properti yang membantunya menjualkan rumahnya. Ia bergegas turun dari mobil dan menemui wanita itu. Rupanya, kabar baik yang ingin ia sampaikan pada Shienna. “Ada seseorang yang telah membeli rumahmu, dan langsung melakukan pembayaran full. Namun, baru hari ini aku sempat mencairkan dananya. Apakah kau ingin membawanya dalam bentuk cek atau ingin aku mentransfer ke rekening bank-mu?” Shienna
“Berapa lama?” tanya Bryan kemudian setelah berusaha menekan perasaan galau yang menyergapnya dan membuatnya tak bisa bernapas untuk beberapa saat. “Katakan berapa lama sisa hidupku.” “Aku bukan Tuhan. Aku tidak berhak memvonis usia hidupmu. Jika memang masih bisa kita pertahankan, maka aku akan lakukan segalanya agar kau bisa bertahan lebih lama dengan hidup yang berkualitas. Namun jika—“ “KATAKAN BERAPA LAMA SISA HIDUPKU!” Bryan lepas kendali dan ketika sadar, Ryan hanya memandanginya dengan tatapan penuh sesal. “Ini tidak seperti penyakit lain. Jika kukatakan kau akan bertahan satu tahun, maka bisa jadi kurang dari itu, atau lebih. Semua bergantung padamu dan seberapa massive antibodimu. Aku hanya bisa melakukan tugasku sebagai seorang dokter Bryan. Tapi kumohon, lakukan segala yang terbaik dalam hidupmu. Jika kau sangat ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Shienna, maka perjuangkan dia. Habiskan sisa hidupmu dengan bahagia. Berjanjilah padaku kalau kau akan menjalani hidup
Shienna tiba di rumah sakit dan memeriksa kondisi Jennifer yang perlahan membaik. Dokter mengatakan kalau sayatan di pergelangan tangannya tidak terlalu dalam sehingga tidak berefek fatal. Namun, ia meminta Shienna untuk tetap mengawasi karena kemungkinan kejadian serupa akan terulang jika semua orang lengah. Jennifer masih belum membuka mata, menurut psikiatri yang juga bertugas untuk memantau kondisinya, Jennifer mengalami gejala stres akut akibat apa yang terjadi padanya.Tim kesehatan jiwa akan terus memantau kondisinya hingga membaik sampai bisa memutuskan apakah akan tetap melahirkan bayinya atau memilih aborsi sebagai jalan tengah. Shienna memandangi sahabatnya dengan rasa iba, menggenggam tangan Jennifer yang dingin dan menghela napas berat. “Aku tahu kau adalah wanita yang kuat, J. Tapi tak apa jika kau mengeluhkan kerasnya hidup padaku. Tak mengapa jika kau mengatakan segalanya padaku, jangan pernah pikirkan kondisiku yang tidak seberapa ini. Kau selalu ada untukku, maka i
Jennifer dan Shienna didera keterdiaman untuk beberapa saat sebelum keduanya kembali bicara. Shienna menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dan Jonathan sehingga mereka berdua berselisih paham. Jennifer akhirnya memiliki keberanian untuk berbicara tentang pengalaman pahitnya. “Aku cemas kalau Jo melakukan tindakan bodoh. Aku sudah mencegahnya, tetapi ia bersikeras untuk mendatangi Jun. Kau tahu sendiri betapa gilanya pria itu.” “Jangan cemaskan Jo. Sebaiknya kau tetap menjaga kesehatanmu agar kau segera pulih. Masalah Jo, biar aku nanti yang akan bicara dengannya,” jawab Shienna yang kemudian meraih ponselnya yang berdering sejak tadi. Ia memberi isyarat pada Jennifer untuk menunggu sebentar sementara ia menerima panggilan. Shienna mengaktifkan pengeras suara ketika mendengar bahwa peneleponnya adalah dari kantor polisi. Keduanya menyimak apa saja yang disampaikan oleh petugas polisi yang membuat Jennifer semakin cemas. Ia tak bisa menahan air matanya dan sekujur tubuhnya sek
Shienna tiba di L’Restaurante dan menemukan Bryan sudah duduk di sana, memesan kursi Vip untuk mereka berdua di lantai atas dengan pemandangan kota melalui balkon. Shienna menyunggingkan senyum canggung karena rasanya telah berlalu sekian lama dirinya dan Bryan tidak berinteraksi. Komunikasi mereka terakhir kali bahkan masih terasa canggung, hanya menghabiskan malam indah dan setelah itu entah setan apa yang merasuki Shienna sehingga melakukan tindakan nekat hingga ia kehilangan bayi mereka. “Kau menunggu lama?” tanya Shienna yang kemudian duduk di hadapan Bryan. Bryan menggeleng. “Aku bahkan pernah menunggu lebih lama dari ini dan masih bertahan hingga kini. Kau mau makan apa?” Bryan menyodorkan buku menu pada Shienna. “Mereka memiliki menu terbaru yang harus kau coba. Steak bayi domba sangat lezat. Aku yakin kau akan menyukainya.” “Baiklah kalau begitu aku akan pesan itu.” Bryan mengangguk, kemudian memesan makanan mereka dan sembari menunggu, keduanya hanyut dalam percakapan ya
Shienna melangkah gontai dan masuk ke dalam ruangan di mana Jennifer dirawat. Wajahnya muram dan beberapa kali Jennifer mendengarnya menghela napas berat, serta memijit tumit kakinya yang terasa berdenyut nyeri. “Apa yang terjadi? Jo pagi-pagi sekali datang dan mengatakan kalau ia akan menjemputmu. Kenapa kau malah datang kemari? Apakah kau tidak bekerja?” cecar Jennifer yang bingung melihat sahabatnya yang wajahnya tampak menggelap dan sedikit pucat. “Apakah ada masalah antara kau dan anak bandel itu?” “Tidak sama sekali. Atau mungkin ... entahlah. Sepertinya aku yang telah melakukan kesalahan sejak awal dengan tidak mengatakan segalanya pada Jo.” “Tunggu, tunggu! Apa yang sedang kau bicarakan? Apakah kalian sudah berpacaran?” “Justru itu. Ia menyatakan cinta, lalu aku yang bodoh dan munafik ini mengatakan kalau aku tidak akan mempertimbangkan Bryan dan hal itu menjadikan harapan bagi Jo dan kemudian segalanya justru terjadi sebaliknya.” Shienna meremas rambutnya. “Ah ... aku sung