Lututku lemas. Aku jatuh terduduk. Kututup telinga dengan kedua tangan, berharap suara Mbah Marni tak lagi terdengar. "Laksmi!" Sentuhan di pundak membuatku menoleh. Seketika aku terjengkang ke belakang melihat Mas Darma sudah berdiri tepat di belakangku dengan mata memerah. Aku makin gemetar ketakutan. "Kamu kenapa? Siapa barusan apa ada tamu?" tanyanya. Aku menggeleng. "Kamu kenapa begini?" Mas Darma berjongkok di hadapanku. Aneh. Kenapa sikapnya menjadi manis seperti ini. Seperti tidak terjadi apapun sebelumnya. Apa Mas Darma melupakan ucapanku semalam? "Aku kaget, Mas. Barusan dengar siaran dari mushalla anaknya Bu Nur tetangga kita meninggal. Dia teman sekelas Mira," ujarku terbata-bata. Tentu saja itu hanya beralasan. Ekspresi wajah Mas Darma seketika berubah mendengar ucapanku. Dia terdiam sesaat, detik berikutnya dia menatapku intens. "Kamu! Sini kamu!" Mas Darma tiba-tiba mencekal pergelangan tangan dan menarikku kuat-kuat. Bahkan tubuh kurusku terseret teta
Sontak aku menoleh sesaat. Mendengar pembalut aku kembali mengingat Mas Darma. Apa jangan-jangan dia dalang di balik semua ini? Mengingat dia sering menjilati darah haid. Apa jangan-jangan ... ini ada hubungannya dengan Mas Darma?"Bisa jadi! Bisa saja karena darahnya dimakan kuntilanak jadinya berpengaruh ke orangnya. Ya kan? Nur sih gak percaya kalau dibilangin. Gak bisa didik anak dengan baik," timpal seseorang semakin memperkeruh suasana. "Hust sudah sudah! Gak baik membicarakan jenazah apalagi di rumah duka. Kasihan keluarga. Baiknya kita doakan, tak perlu berprasangka macam-macam yang jadinya malah menimbulkan fitnah. Hidup dan mati seseorang itu sudah diatur oleh sang pencipta." Budhe Yanti yang sejak tadi diam dengan wajah menahan kesal, kini pun ikut angkat bicara.Seketika semua orang pun terdiam. Bu Rumi tampak tak suka dengan ucapan Budhe Yanti. Terlihat dari bola matanya yang melirik Budhe Yanti sinis. Pekerjaan sudah selesai. Jenazah pun sudah siap hendak disalatkan.
"P-pembalut. Kamu tahu?" tanya Pakdhe seolah ragu. Seketika aku terperangah dan mendongak menatap Pakdhe. "Jadi Pakdhe juga tahu?" Pakdhe tiba-tiba menghela napas panjang. Dia meraup wajahnya dengan kedua tangan. Khas seseorang ketika sedang dalam keadaan kalut. "Pakdhe, aku mohon jangan ceritakan ini pada siapa pun untuk sementara waktu," pintaku pada Pakdhe bersungguh-sungguh. Aku tak menyangka rupanya Pakdhe hampir tahu semuanya. Namun, sepertinya Pakdhe enggan memperjelas karena sungkan. "Kamu tenang saja, Nduk. Kamu tahu Pakdhe kan? Percayakan ini pada Pakdhe," sahut Pakdhe meyakinkan. "Sebenernya juga ada yang ingin aku tanyakan Pakdhe," ujarku. "Tanyakan sekarang " Aku mengeluarkan secarik kertas dari saku baju. Kertas yang hampir kulupakan ketika berangkat ke sini. Niatku hendak kutanyakan pada Budhe Yanti, akan tetapi kondisinya tidak memungkinkan karena banyak orang. Beruntungnya ada Pakdhe. Aku yakin Pakdhe paham, mengingat dia asli penduduk kampung ini.
"Jangan dibutakan dengan kebahagiaan sesaat, Nduk. Ada anak-anak yang harus kamu pikirkan. Pakdhe tidak menyudutkan suamimu, tapi Pakdhe mohon kamu jangan gelap mata. Kita cari tahu ini sama-sama. Dan persiapkan diri kamu apapun kenyataannya nanti," ujar Pakdhe sembari menepuk pundakku lembut. Aku semakin tergugu pilu. Baru kali ini aku menangis di depan Pakdhe. Karena aku sudah terlalu bingung hendak ke mana akan mengadu, jika bukan pada Pakdhe yang sudah seperti saudara dekat kami."Memangnya tentang perkataan Mbah Marni bisa dipastikan selalu benar, Pakdhe? Dia hanya manusia, Pakdhe. Apalagi tidak jelas asal-usulnya. Bisa saja dia hanya mengarang," tanyaku memastikan perihal Mbah Marni dalam pandangan Pakdhe Bakri.Pakdhe tak menjawab. Dia hanya tersenyum penuh arti. Mungkin ini berat baginya. Dia takut jika mengiyakan maka sama saja mendahului takdir Tuhan dengan memercayai prediksi nasib manusia lain. Melihat respon datar dari Pakdhe Bakri, ada secercah harap dalam hati. Semoga
"A-aku hanya tahu pembalut-pembalut itu, Mas. Aku minta maaf. Aku tidak berniat menggeledah tas kamu. Danu yang menemukannya. Dia membuka tasmu berharap ada mainan yang kamu belikan untuknya. Seperti teman-temannya jika ayahnya pulang dari bepergian. Begitu katanya," jawabku sembari menahan suara agar tidak tergagap. Terpaksa aku mengatakan yang sejujurnya. Alasan itu lebih masuk akal dan lumrah dilakukan anak-anak. Mas Darma pasti percaya. Tenang, Laksmi! Kamu harus tenang. Di tengah kegusaran, aku berpikir. Jika sampai terjadi sesuatu padaku tentunya Mas Darma lah yang akan menjadi sorotan pertama warga. Ada sedikit keyakinan dalam diriku bahwa dia tidak akan berani berbuat buruk padaku. Dia tahu bagaimana beringasnya warga kampung sini dalam menghakimi kesalahan orang. "Lalu?" "Hanya itu. Selebihnya aku hanya spontan mengatakannya karena dalam keadaan kalut memikirkan kondisi Mira. Saat itu aku juga mengkhawatirkan kamu yang pulang tengah malam dalam keadaan berdarah, Mas.
"Tapi apa sesuatu yang najis bisa dibuat obat, Buk?" Mira menatapku penuh tanya. "Obat? Gak bisa dong, Nak. Darah haid kan kotor. Yang namanya kotor gak bisa buat obat," sahutku sembari tertawa pelan. Aku merasa lucu dengan pertanyaan Mira. Bisa-bisanya dia memiliki pikiran demikian. "Tapi kenapa Bapak memintanya untuk dijadikan obat, Buk. Memangnya Bapak sakit apa?" tanya Mira polos. Bola matanya berbinar menatapku. Deg! Sontak aku mendelik kaget mendengar perkataan Mira. "M-minta?" gumamku shock. Detak jantung seolah berhenti sesaat. "Iya, Buk. Bapak sering minta pembalut bekasku buat obat katanya. Memangnya Bapak sakit apa, Buk? Apa sakit Bapak parah?" Mira terus berkata dengan polosnya. Sementara aku, dunia seolah runtuh seketika. Lidahku kaku. Aku tak bisa berkata. Hendak menelan ludah pun terasa begitu sulit. Rasanya detak jantung hendak berhenti saat itu juga. Aku menatap Mira dengan linangan air mata yang tiba-tiba saja menggenang. Aku memandangnya penuh sesal da
"Ohh jadi darah haid benar bisa jadi obat ya, Buk?" tanya Mira yang membuatku meneguk ludah getir. Apa maksudnya? "Kan sudah Ibuk bilang kalau gak bisa." "Tapi kata Ibuk Bapak udah sembuh. Berarti Bapak sembuh karena darah haid."Deg!"Kan gak Mira kasih. Katanya Mira gak kasih ke Bapak. Jangan buat Ibuk bingung, Nak!" tanyaku mulai khawatir. "Iya awalnya gak aku kasih, Buk. Tapi karena Bapak bilang kalau gak dikasih bakal mati, jadi lama-lama aku kasih." Astaghfirullah! ***"Ibukk!" Saat tengah salat Isya, Danu memanggilku berbisik. Dia tidak masuk. Wajahnya muncul di balik kelambu kamar. Cukup lama aku salat kali ini. Mendoakan keselamatan Mira dengan bersungguh-sungguh. Sebab, aku yakin hanya Tuhan-lah sang maha penentu takdir. Apa yang sudah terjadi memang tak bisa diubah. Tapi masa depan bisa diharapkan bukan?"Iya? Kenapa, Nak?" sahutku. "Buk, sini deh! Ada berisik di bawah. Aku takut. Cepat Ibuk lihat!" bisik Danu tegang. Aku melepas mukena dengan tergesa. Danu menga
Ingin rasanya kuteriakkan di depan wajahnya. "Kamu tidak ke rumah Pakdhe, Mas! Tapi kamu di bawah rumah menikmati makanan menjijikkanmu itu! Dan kamu melakukan hal tak senonoh di sana!" Namun, sekuat tenaga kutahan agar tidak mengatakan itu. Aku teringat pesan Pakdhe untuk bermain rapi. Untuk kali ini, aku berjanji akan benar-benar menuruti perkataan Pakdhe. "Oh iya, Le. Ini gajimu. Pakdhe gak lama-lama di sini. Sudah malam. Budhe-mu sendirian di rumah," ujar Pakdhe sembari menyerahkan sejumlah uang pada Mas Darma. "Diminum dulu kopinya, Pakdhe," tawarku. Pakdhe mengangguk dan menyesap kopinya.Sepulang Pakdhe, aku langsung masuk ke kamar. Kukatakan pada Mas Darma bahwa malam ini aku tidur dengan anak-anak saja. Meski dia tampak keberatan, tetapi pada akhirnya mengiyakan. Aku berasalan bahwa anak-anak merasa takut karena sekarang tujuh hari kematian Sinta yang konon jenazah akan berpamitan pada orang-orang yang dikenalnya. Sejak mendengar pengakuan Mira, aku menjadi lebih banyak