Makam Mas Darma benar-benar kacau. Seolah ada yang sengaja menggali dan mengeluarkan jasad Mas Darma. Tak jauh dari makam Mas Darma, aku memang melihat sebuah cangkul. Kuduga itu akat yang digunakan pelaku untuk mengeruk makam Mas Darma. "Buk, ini tulang apa, Buk? Katanya kita ke makam Bapak. Kok banyak tulang besar-besar, Buk?"Aku mengusap dada, menahan sesak dan juga air mata yang hendak meluap. Siapa? Siapa yang tega melakukan ini, Tuhan! Aku yakin ini perbuatan orang-orang yang masih menaruh dendam terhadap Mas Darma. "Buk, Danu takut, Buk," lirih Danu. Kulirik mereka berdua yang kemudian saling berpegangan tangan. Pandangannya menatap sekeliling dengan raut wajah tegang. Allah ... Allah .... Terus kubisikkan nama Allah dalam hati. Aku harus kuat. Perlahan, aku bangkit. Menghampiri Danu dan Mira, mencoba menjelaskan sesederhana mungkin berharap bisa mereka pahami. "Nak, perlu kalian tahu. Tidak semua orang suka sama kita. Seperti kali ini, ada yang gak suka sama Bapak sehin
PEMB4LUT SUAMIKU "Astaghfirullah!" Sontak aku terperangah kaget dan reflek melempar bungkusan plastik itu ke tanah. Aku terkejut bukan kepalang mendapati plastik berisi pembalut bekas pakai yang disimpan Mas Darma di saku celananya. Untuk apa dia menyimpan pembalut bekas pakai seperti ini? Pembalut siapa ini? "Mas ... Mas ...." Aku berteriak tak sabar memanggil Mas Darma yang berada di teras rumah dengan anak-anak. "Ada apa sih, Bu? Gak baik tau malam-malam teriak!" sungut Mas Darma, lelaki yang bahkan diberitakan warga sudah tewas sebab bertahun-tahun lamanya tidak pulang. Dan aku hanya bisa sabar dan menenangkan anak-anak ketika mendapati olokan demikian dari orang-orang. Bahkan tak jarang Danu pulang bermain dalam keadaan menangis karena diolok teman-temannya bahwa Danu anak tak diinginkan yang ditinggal ayahnya. "Mas, i-itu apa? Kenapa ada di saku celanamu?" tanyaku shock sembari menunjuk sesuatu yang tergeletak di tanah. "Laksmi! Aku tidak suka ya kamu sembarangan membuk
PEMB4LUT SUAMIKU (2)"Buk, Mira takut deket-deket sama Bapak. Bapak sering liatin Mira terus," bisik putri sulungku dengan bibir gemetar. Tak bisa dipungkiri aku bisa melihat sorot ketakutan dari matanya. "Iya, Buk. Danu juga takut. Jangan tinggalin Danu berduaan sama Bapak ya, Buk," sambung Danu berbisik. "Shutt! Kalian gak boleh bicara gini. Harusnya kalian senang dong, bentar lagi lebaran bisa sama Bapak. Danu juga gak lagi diolok teman-teman karena gak punya Bapak," jelasku pelan-pelan sambil berbisik, sembari menatap awas sekeliling. Aku khawatir Mas Darma mendengar pembicaraan kami dan tak bisa dibayangkan bagaimana sedihnya dia mendengar perkataan seperti itu dari anak-anaknya. "Ibuk sih gak pernah liat kalau kita berdua lagi sama Bapak. Bapak lihatin Mira terus!" kekeuh Mira tak putus asa. Anak itu memang keras kepala. "Iya. Bapak gak pernah ajak kita becanda, Buk. Bapak bengong terus."Aku menghela napas. "Sebentar!" kataku lalu bangkit meninggalkan mereka dan pergi ke
PEMB4LUT SUAMIKU (3)"Laksmi! D-dari mana kamu dapat cincin ini, hah?!" bantak Mas Darma begitu kerasnya. Saking terkejutnya, hatiku seolah tersentak membuat kantuk seketika menguap begitu saja.Suamiku itu seketika berdiri menatap nyalang padaku. Matanya memerah, antara amarah atau karena kantuk aku tak tahu. Yang jelas, kini tubuhku gemetar melihat begitu menyeramkannya Mas Darma.Terlebih di remangnya cahaya. Rambut gondrong dan jambangnya membuatku menelan saliva getir. Aku bangkit duduk dan meletakkan telunjuk di depan bibir. "Mas, tolong jangan keras-keras nanti anak-anak kebangun," ujarku pelan. "Persetan soal anak-anak! Aku tidak peduli! Katakan dari mana kamu dapat cincin itu, hah?! Sudah kubilang jangan pernah menyentuh apapun barang pribadiku. Lancang kamu!" bentak Mas Darma menunjuk wajahku dengan tangannya. Ia bahkan tak mengindahkan pintaku. Tak mau memperkeruh suasana, aku berlutut dan meminta maaf. Iya, aku rela berlutut di hadapannya. Hal itu kulakukan agar Mas Dar
PEMB4LUT SUAMIKU (4)"Ibuk ... Ibuk ...." Aku dan Mira sontak terperanjat mendengar teriakan Danu serta derap langkah kaki yang begitu keras. Danu menghampiri kami dengan wajah panik, ketakutan dan sepertinya juga shock. Dia begitu tegang."Danu, kenapa, Nak? Ada apa?" tanyaku ikut panik melihat raut wajah Danu. "B-buk ... i-itu di sana ...." Danu menunjuk arah kamar. "Kenapa? Ada apa di sana?" tanyaku penasaran."I-ibuk lihat aja sendiri. D-danu takut. Banyak darah." Sekujur tubuh Danu gemetar. Wajahnya pucat. Melihatnya seperti itu semakin membuatku khawatir."Astaghfirullah ... darah?" tanyaku terkejut."Mira di sini, ya. Jaga adik!" pintaku.Tanpa menunggu lama, aku pergi ke kamar. Langkahku terpaku di ambang pintu yang hanya dibatasi kelambu. Lututku lemas. Tanganku gemetar melihat pemandangan di depan. Ubin kayu dipenuhi pembalut bekas yang menumpuk, tepat di sebelah ransel Mas Darma yang terbuka. Sepertinya Danu membuka ransel Mas Darma dan menemukan itu. "P-pembalut?" Ak
PEMB4LUT SUAMIKU (5)Seketika jantungku hampir lolos dari tempatnya ketika mendapati sebelah mata juga tengah menatapku dengan melotot tepat di depan lubang.Entah mata siapa itu. Aku tak yakin milik Mas Darma sebab mata yang kulihat barusan terdapat riasannya. Seperti mata seorang wanita. Cantik. Aku mundur perlahan. Lalu dengan tergesa kembali ke ruang tengah. Kualihkan rasa takutku dengan memotong kacang panjang dan bayam yang kupetik sebelumnya. Meski tak bisa dipungkiri jantungku tidak aman. Khawatir Mas Darma menyadari kalau aku mengintipnya. Setelah beberapa saat, Mas Darma masuk ke kamar. Ekspresinya biasa saja. Sepertinya dia tidak tahu jika aku mengintip dan mengetahui perbuatannya di kamar mandi barusan. Itu artinya benar, bahwa mata yang kulihat di lubang pintu bukanlah mata Mas Darma. Namun, mata siapa itu tadi? Tidak mungkin ada orang lain di sana. Lagipun kamar mandiku sempit, tidak akan cukup ditempati dua orang dewasa. Dan aku yakin bahwa aku tidak salah lihat. J
PEMB4LUT SUAMIKU (6) "Mas, ini kopinya." Aku menyodorkan segelas kopi yang Mira buat. Anak-anak bermain di belakang rumah. Danu merasa sedih karena olokan temannya barusan. Beruntungnya Mira mengerti dan mengajaknya bermain berdua mencari siput di sawah belakang rumah. Aku menatap Mas Darma mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kakinya menapak. Bahkan bisa kupegang. Jadi tidak mungkin sosok di depanku ini hantu seperti yang orang bilang. "Kenapa lihat begitu?" tanya Mas Darma yang membuatku terkejut. Rupanya aku ketahuan telah memperhatikannya. "Eh, enggak, Mas. Itu, Mas rapi banget pagi ini. Mau ke mana, Mas?" tanyaku canggung. "Aku mau cari kerja di sekitar sini, Laksmi," sahutnya sembari menyeruput kopi. "Ehm, Mas. Gimana kalau sebelum itu Mas berkunjung dulu ke rumah tetangga dan Pak RT. Soalnya mereka pada gak percaya kalau Mas Darma udah balik," usulku. Sengaja aku melakukan itu untuk mengujinya. Jika dia benar Mas Darma, tentunya tanpa bertanya dia tahu siapa saja
PEMB4LUT SUAMIKU (7)Badannya bungkuk, wajahnya penuh keriput. Jalannya tertatih-tatih. Namun, matanya awas memandang rumahku dengan raut wajah serius. Siapa nenek tua itu? Aku tak pernah melihat sosoknya sebelumnya.Astaga! Mira dan Danu? Buru-buru aku mempercepat langkah menuju rumah. Aku teringat Mira dan Danu yang masih bermain mencari siput di sawah belakang. Gelagat nenek tua itu terlihat mencurigakan. Aku khawatir dia berniat buruk pada keluargaku. Melihat kedatanganku yang tergesa, nenek tua itu melotot tajam kemudian membuang muka masam dan segera berlalu memasuki kebun jagung. Mungkin dia mengira aku hendak menghampirinya. Seketika tengkukku meremang. Namun, tidak mungkin ada hantu di siang bolong begini. Aku yakin nenek itu manusia. Akan tetapi apa tujuannya mengawasi rumahku seperti itu. Anehnya, dia juga memasuki kebun jagung yang begitu luas. Tingginya melebihi tinggi tubuhku. Tentunya tubuh nenek tua yang sudah bungkuk itu tenggelam di antara puluhan pohon jagung.