“Raka, sekarang panggil dia Mas Langit, dan dia sedang sakit, sehingga tak bisa mengingat kita. Raka harus membantunya dengan tidak membuat Mas Langit ketakutan ya,” kata Ki Danu.
“Kenapa harus berganti nama?” tanya Raka.
“Karena ada sesuatu yang tidak boleh kita ketahui. Raka tidak boleh banyak bertanya. Paham?” Beruntung Raka adalah anak yang cerdas sehingga cepat memahami situasinya.
Tiba-tiba ada sekumpulan prajurit yang berjalan melewati jalan besar di depan rumah Ki Danu. Patik yang terlihat khawatir membuat Ki Danu tanggap.
“Ki, tetaplah di sini. Aku akan melihat kenapa prajurit ke daerah ini. Raka, tolong di rumah bersama mereka ya?” pinta Ki Danu diangguki oleh Raka.
Ki Danu berjalan keluar dan mengikuti rombongan prajurit itu bersama warga yang lain. Begitu sampai di banjar padukuhan prajurit itu kemudian ber
Ki Danu cekatan menyiapkan makan sore untuk mereka. Awan demam. Biasanya setelah Dayu menyentuhnya, reaksi tubuhnya akan mereda. Kali ini beda. Dia bahkan tak bisa membuka matanya.Ingatan demi ingatan datang, melesak dan menyesaki kepalanya. Dayu hanya bisa menyeka keringat Awan dan terus mengenggam tangannya.Patik membawakan air hangat untuk mengompres kepala Awan.“Keadaannya lebih gawat dari kemarin-kemarin,” kata Patik.Raka yang melihat itu mencoba untuk menyentuh Awan. Seketika itu juga Awan membuka matanya dan terlonjak dari tidurnya. Napasnya tersengal-sengal.Raka kaget dan berjalan mundur. Tangannya yang menyentuh Awan bereaksi sebagai katalisator yang membuat tubuh Awan bereaksi lebih cepat. Proses yang biasanya menyakitkan kini seperti langsung melesak dan mantap dipikirannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Dayu khawatir.
Awan merasakan desir lain yang membuatnya merasa ada yang memperhatikannya.“Ada apa?” tanya Patik yang melihat Awan gelisah.“Aku merasa ada yang memperhatikan kita,” kata Awan sambil mengedarkan pandangan.Kemudian matanya bertemu dengan kilatan cahaya merah yang familier. Saat Awan beranjak untuk menuju sosok itu, kilatan itu hilang.“Kenapa?” tanya Patik saat melihat Awan beranjak dari duduknya.“Aku melihat sosok bermata merah yang pernah aku tanyakan pada Paman,” kata Awan.“Di mana?” kata Patik ikut mengedarkan pandangannya.“Di sebelah sana. Sekarang sudah tak terlihat lagi,” kata Awan.“Jadi sebenarnya bagaimana ceritanya?” tanya Patik.“Aku bukan berasal dari dunia ini, itu kenapa aku memakai pakaian yang berbeda seperti yang Paman lihat waktu itu. Ada kejadian aneh di Bukit Tiga, di kota tempatku tinggal. Saat aku ke sana
Awan melihat Patik kembali mengajari di Raka hari ini. Raka anak yang cerdas di usianya yang masih sangat muda itu dia bisa menerima arahan Patik dengan baik.“Ki Sudra, ada yang mencarimu,” kata Ki Danu.Awan heran, bukankah tidak ada yang tahu mereka di sini. Patik segera ke depan dan mendapati Sapto menunggunya di ruang depan.“Bagaimana kamu menemukanku?” tanya Patik heran.“Aku menelusuri jejakmu,” kata Sapto seraya menyerahkan gulungan lontar pada Patik.“Setelah membacanya, segera lakukan hal yang kamu perlukan. Aku harus segera kembali.” Sapto kemudian pamit.ꦏꦲꦤꦤ꧀ꦠꦤ꧀ꦱꦪꦒꦮꦠ꧀꧈ꦭꦏꦸꦩꦸꦏꦸꦢꦸꦭꦸꦮꦶꦃꦮꦱ꧀ꦥꦢ¹Tulisan di lontar itu membuat Patik harus berpikir cepat. Dia tidak bisa menunggu sepekan di sini.“Awan, besok kita harus segera pergi. Ada pe
Pagi itu Patik, Awan dan Dayu bersiap. Raka tidak mau mengantar mereka ke halaman, dia masih kecewa karena mereka meninggalkannya secepat itu.“Maafkan Raka. Dia memang seperti itu kalau menyangkut perpisahan,” kata Ki Danu.“Tidak apa-apa Ki. Dia masih kecil,” kata Patik.“Berhati-hatilah. Doaku menyertai kalian,” kata Ki Danu.Mereka akhirnya berjalan melewati jalan utama padukuhan. Banyak orang berlalu lalang. Begitu sesampainya di simpang empat pertama, mereka berbelok ke kanan. Rumah semakin jarang, area persawahan yang terhampar mengiringi langkah mereka memasuki hutan.“Kita tidak akan banyak berhenti. Bekal ubi rebus dan air minum ini akan membantu kita selama tidak menemukan makanan atau sumber air di hutan,” kata Patik.“Di hutan banyak ayam yang bisa kita tang
Malam telah datang, Awan, Patik dan Dayu masih berada di tengah jalan. Perjalanan mulai menanjak. Entah di mana mereka akan menemukan padukuhan terdekat. Jalan makin terjal dan berbatu.“Kita berhenti di sini. Aku akan mengumpulkan ranting kering untuk membuat api,” kata Patik seraya masuk agak ke dalam hutan.Awan mempersiapkan tempat untuk mereka bermalam.“Duduklah, aku sudah membersihkannya,” kata Awan kepada Dayu yang terlihat lelah.“Seharusnya aku tak mengajakmu. Membuatmu dalam bahaya dan berada di alam terbuka,” lanjut Awan menyesal.“Kamu bicara apa, aku kan sudah memutuskan untuk menemanimu,” kata Dayu kesal.“Tapi kamu jadi kelelahan dan lihatlah kulitmu mulai menghitam terlalu banyak terkena sinar matahari. Sinar ultraviolet itu buruk bagi kulitmu,” gerutu A
Sultan Adiraja sudah melewati hutan lebat itu, bukit yang dia tuju berada di depannya sekarang. Bukit yang sudah sangat lama ditinggalkannya setelah membuat Awan terlempar ke dunia lain. Dia bertanya-tanya apakah Gurunya sekarang bertambah tua atau tidak.Guru yang mengajarinya cara untuk membuka lorong waktu, yang mengenalkannya pada kekuasaan. Yang akhirnya membuat mereka bertentangan dan Awan menjadi korban.“Tujuan kita sudah dekat. Aku tak akan beristirahat lagi. Kita harus bisa mencapai bukit itu paling lambat nanti malam” kata Sultan Adiraja membuat kedua pengawalnya pasrah.Tenaga mereka sudah seperti terkuras. Tai mereka tak berani membantah titah Sultan mereka kalau masih ingin hidup.“Kalian akan bisa beristirahat di bukit itu nanti. Di sana aku akan bersama Guruku. Kalian bebas melakukan apa saja asal tidak meninggalkan bukit,” k
Menjelang sore Sultan Adiraja mengajak Ratno dan Santo untuk meninggalkan bukit itu.“Kamu yakin akan pergi? Tak menunggu gelap sekalian? Bukankah kamu tak takut apa pun?” ledek Resi Sangkala membuat Sultan Adiraja menggeram.“Bila nanti Awan datang ke sini. Kirim dia ke tempatku,” pinta Sultan Adiraja.“Terserah mauku. Buat apa aku membuang kesempatan menjadikannya muridku?” Resi Sangkala berkacak pinggang menantang.Tanpa bicara Sultan Adiraja meninggalkan halaman rumah itu. Santo dan Ratno hanya bisa mengangguk dan mengundurkan diri dari hadapan Resi Sangkala yang memberi isyarat agar mengikuti mau Sultan mereka tersebut.Saat Sultan Adiraja berbelok memasuki hutan yang mulai gelap, dari arah sebaliknya Awan datang bersama Patik dan Dayu. Mereka tak melihat Sultan Adiraja pun sebaliknya.Saat Awan mendekati rumah Resi Sa
Awan masih menggulung dirinya di dalam selimut, hawa dingin perbukitan membuatnya enggan untuk bangun. Sementara itu Patik sudah bersama Resi Sangkala di halaman rumah. Dayu sibuk mengagumi benda bulat seperti baling-baling itu.“Resi bukan berasal dari dunia ini?” tanya Patik penasaran.“Benar Ki, aku berasal dari dunia dengan jaman yang sudah maju. Itulah kenapa semua yang kamu lihat di sini berbeda dengan yang ada di dunia ini,” kata Resi Sangkala membuat Patik mengangguk.“Di sana sudah ditemukan listrik yang bisa menghidupkan lampu tanpa minyak. Atap itu, menangkap cahaya matahari untuk dijadikan energi yang bisa menghasilkan listrik itu.” Resi Sangkala menunjuk ke arah atap yang berbentuk kerucut dan mengkilap itu.“Listrik?” tanya Patik heran.“Iya semacam api yang menghasilkan panas, maka cahaya matahari yang diserap atap itu menghasilkan energi yang bernama listrik.”