Awan sedang menyelidiki peristiwa alam yang terjadi di Bukit Tiga. Sebuah bukit di pinggir kota. Beberapa hari di sana terdeteksi pergerakaan aneh. Alam seolah sedang berbicara. Puncaknya adalah saat hujan deras turun disertai samabaran petir dan gelegar guntur yang saling bersautan di Bukit Tiga. Awan ke sana sendirian. Dia mengabaikan semua peringatan dari petugas yang berjaga di sekitar bukit. Awan terus melangkah dan menyaksikan betapa alam sedang marah. Pepohonan terbakar. Hujan tak mampu memadamkan. Petir seakan menari. Guntur seakan bernyanyi. Awan tak mengerti dengan situasi yang dihadapinya. Tak mengetahui bahwa itu akan menjadi titik balik kehidupannya. Terlempar ke sebuah dunia yang asing. Yang membuatnya menjadi target perburuan. Lalu apakah Awan akan menyadari siapa dia sebenarnya? Dan kenapa dia bisa melupakan hal terpenting dalam situasi ini?
View MoreAwan sedang berjalan keluar dari kantor saat hujan turun dengan deras dan petir menyambar.
āSial, aku tak membawa payung,ā runtuk Awan kesal.
Dengan berlari Awan mendapati mobilnya di parkiran. Tergesa dibukanya pintu mobil. Melesakkan dirinya ke balik kemudi dan mengibaskan air yang membasahi rambutnya.
Petir menyambar, guntur bergelegar. Awan bergidik ngeri. Sepertinya alam sedang menumpahkan emosinya. Dengan sekali hentak diputarnya kunci membuat mesin mobil berbunyi. Jarak pandang yang menjadi terbatas membuat Awan berhati-hati mengeluarkan mobil dari area parkir.
āDengan kondisi seperti ini, akan lama mencapai Bukit Tiga,ā kata Awan pada dirinya sendiri.
Pergerakan aneh di Bukit Tiga dari beberapa hari yang lalu sudah membuat kantornya kewalahan untuk meneliti. Banyak pertanyaan muncul ke call center mereka.
Awan bekerja di laboratorium fisika, yang memfokuskan diri ke bagian Fisika Kuantum.
Diputarnya radio untuk mendapatkan berita tentang cuaca dan lalu lintas.
āSebuah kejadian aneh terjadi di kawasan Bukit Tiga, petir tak berhenti menyambar. Pepohonan tampak terbakar dari kejauhan. Para petugas tidak berani mendekati lokasi,ā pembaca berita dari radio melaporkan kejadian janggal.
āBukit Tiga, apa yang sebenarnya kamu simpan,ā kata Awan.
Awan sudah keluar dari kota, bukit Tiga sudah tampak. Banyak mobil menepi tak meneruskan perjalanannya.
āPetugas yang berada di sekitar Bukit Tiga berupaya mengevakuasi warga sekitar ke tempat aman,ā lanjut pembaca berita.
āHmmm ⦠ini sepertinya menarik. Apakah terjadi reaksi kuantum yang menyebabkan entitas yang ada di sana bergejolak?ā tanya Awan pada dirinya sendiri.
Begitu mendekati Bukit Tiga banyak orang memberi tanda untuk tidak melanjutkan perjalanan. Awan mengabaikan mereka.
āAku harus tahu apa yang terjadi di sana. Ranah fisika kuantum membuatku terobsesi dengan hal yang berhubungan dengan entitas asing,ā batin Awan.
Awan meninggalkan mobilnya di ruang terbuka. Hujan masih deras, bahkan petir tak berhenti menyambar. Karena sudah kepalang basah, Awan berhujan-hujanan menaiki tangga Bukiy Tiga. Dari kejauhan tanda morse dari senter petugas menyatakan bahaya jangan mendekat. Tapi bagi Awan, itu bukan halangan untuk terus melangkah.
āWahai alam, apa yang sudah kau lakukan? Kau bakar pepohonan hanya untuk menunjukkan amarah atau apa?ā kata Awan saat melihat pepohonan di sekitarnya terbakar.
Begitu berada di atas bagian datar dari Bukit Tiga. Awan melihat petir yang bersautan. Gelegar guntur terdengar memekakkan telinga. Saat sedang menikmati dansa dari kekuatan dahsat yang dilihatnya, sekelabat bayangan hitam mendekatinya tanpa suara.
Memperhatikan Awan dengan tatapannya yang nyalang. Bukan, bukan nyalang penuh amarah, tetapi nyalang dengan tekad yang bulat.
āWaktumu untuk kembali,ā bisik bayangan hitam itu membuat Awan menoleh ke belakang.
Nyala mata merah terang kontras dengan pekatnya bayangan itu mendorong Awan ke tengah tanah lapang.
Awan terguling, petir masih menyambar bersahutan. Tapi aneh, Awan tak merasakan kesakitan apapun.
āSiapa kamu?ā teriak Awan berusaha mengalahkan gelegar guntur yang meningkahi sunyi.
āTak ada yang perlu kamu ketahui tentangku. Waktumu telah datang. Rentang masamu harus kembali pulang. Jelajahmu sudah cukup. Buktikan bahwa kamu layak diperhitungkan,ā ucap sosok itu seraya mendekati Awan.
Awan beringsut mundur perlahan. Akan tetapi semacam tembok tak terlihat membuatnya tertahan.
āApa maumu?!ā teriak Awan berusaha meredam ketakutannya.
āBukan apa mauku. Tapi apa maumu,ā ucapan sosok itu membuat Awan berpikir keras.
āApa-apaan ini. Dia sepertinya mengenalku. Tapi aku sama sekali tak bisa melihat wujudnya secara utuh,ā batin Awan.
Ada apa sebenarnya di bukit ini. Gejolak yang terjadi belakangan dan malam ini seperti puncaknya. Alam seakan menumpahkan semua perasaannya pada bumi. Menyakiti untuk meminta kembali. Meningkahi untuk melembutkan hati.
āSungguh jangan bermain-main sekarang. Saya sama sekali tak tahu apa yang terjadi di sini. Siapa Anda? Saya ke sini untuk meneliti apa yang terjadi. Mungkin Anda salah orang,ā kata Awan berusaha menjernihkan pikiran.
āKamu yang telah lama bermain-main. Sekarang waktunya untuk kembali ke tujuanmu,ā sergah sosok itu semakin nyalang.
Awan semakin kebingungan. Apa maksudnya. Siapa dia? Pikiran Awan sudah membentur logikanya sendiri.
Ada sesal kenapa dia nekat ke Bukit Tiga melihat kejadian ini. Seharusnya dia bisa menahan rasa penasarannya untuk tetap bersikap waras.
āApakah kamu dari perusahaan yang telah kami batalkan kerja sama karena cacat dalam logika proposal kalian?ā tanya Awan berhati-hati mencoba memgingat siapa saja klien yang sudah mereka putus kerja sama.
āAku bukan siapa-siapa. Hanya satu perkara yang mengingatkanmu untuk kembali luruskan pikiran,ā kata sosok itu semakin dekat.
Awan sudah terdesak, tembok tak terlihat itu menahan langkahnya. Kepalanya semakin pening.
āKenapa menyulitkan diri, kembalilah,ā sosok itu makin mendekat, kini tinggal beberapa inci dari Awan.
Awan merasakan hembusan nafas dari sosok itu. Tapi tak merasakan massa tubuh menghimpitnya. Mahkluk apa sebenarnya dia?
Petir yang sempat mereda kembali memulai amarahnya. Guntur kembali bergelagar, memenuhi gendang telinga
Awan yang sekarang merasakan pekak.Posisinya sudah benar terdesak, ruang geraknya sudah tak ada lagi. Sosok itu mengintimidasi, Awan silau dengan mata merah menyala yang sekarang berada tepat di depannya.
āTidak ada jalan untukmu lagi. Kembalilah. Seleseikan tugasmu. Buktikan kemampuanmu. Buat mereka tahu kamu yang layak diperhitungkan,ā bisik sosok itu dengan nada penuh penekanan.
Kembali ke mana? Tugas apa? Kemampuan apa? Mereka siapa? Kepala Awan berdenyut mencerna informasi yang beruntun tetapi membingungkan ini.
Awan yang masih mencoba untuk berlogika. Mungkin ini adalah halusinasi yang tercipta karena matanya lelah menerima bayangan petir yang berkilatan, sehingga otaknya memunculkan imajinasi yang tak terdeteksi.
Sosok itu seolah menyatu dengan tubuhnya. Menembus susunan daging dan tulang yang memadat menjadikannya sebagai manusia. Tapi sosok itu seperti cairan atau semacam mahkluk yang tak berwujud. Hanya bayangan yang bisa ditembus begitu saja.
āTu-tunggu,ā kata Awan berusaha memberontak, akan tetapi tubuhnya terasa membeku. Tak bisa digerakkan.
Otaknya berusaha mencari celah untuk keluar dari kejadian tak logis ini. Dia memejamkan matanya. Berusaha berafirmasi kalau ini semua hanyalah ilusi. Awan berusaha mengosongkan otaknya. Berharap saat dia membuka mata, keadaan akan kembali seperti semula. Hanya ada dia dan petir yang menyambar bukit Tiga.
āKembalilah. Penuhilah takdirmu. Tunjukkan siapa dirimu,ā suara sosok itu memenuhi rongga kepalanya.
Awan membuka matanya dan sosok itu masih membayanginya. Semakin merangsek dan seolah semakin menyatu dengan tubuhnya.
āAku mengembalikanmu kemana seharusnya kamu berada. Agar dunia berjalan bagaimana semestinya,ā Awan mencoba melawan, tapi semuanya sia-sia.
Dia semakin kewalahan dan kelelahan. Badannya tak mampu lagi melalukan perlawanan. Akhirnya dia menyerah dan sosok itu sudah menjadi satu dalam tubuhnya. Awan merasakan pergerakan.
āAaargh ā¦!ā teriak Awan saat sebuah kekuatan menariknya ke dalam pusaran tarian petir yang tak henti berpendar.
Patik, Awan dan Radika berjalan ke arah Kesultanan. Dayu mereka tinggalkan di rumahnya karena nanti pada saatnya akan pergi lagi bersama Awan.Begitu memasuki kota raja, prajurit yang mengenal Radika memberikan penghormatan. Radika hanya mengangguk. Dia belum begitu siap dengan perubahan kedudukan yang akan terjadi pada dirinya sebentar lagi. Bisakah dia?“Pangeran,” sapa prajurit di pintu gerbang Kesultanan.“Aku ingin bertemu dengan Ki Sadewa, katakan padanya untuk menemuiku di pendapa,” kata Radika membuat salah satu dari prajurit itu segera undur diri untuk menyampaikan pesan itu.Radika mengajak Awan dan Patik ke pendapa.“Silakan duduk Kangmas dan Paman Patik, kita menunggu Ki Sadewa,” kata Radika seraya duduk bersama mereka di bawah.Seorang emban datang untuk menanyakan apa yang harus dia suguhkan.“Wah, wah, akhirnya kamu menginjakkan kakimu lagi ke sini,” kata Ki
Resi Sangkala dan Santo sudah berjalan jauh keluar dari hutan dan mulai memasuki daerah yang padat penduduk. Mereka harus berhenti sejenak karena tak ingin menimbulkan kecurigaan. Seharusnya pasukan yang di panggil Ratno bisa mendapati mereka di area ini kalau tidak ada hambatan.Benar dugaan mereka. Dari arah berlawanan sepasukan prajurit datang. Ratno terlihat berada di depan mereka.“Maaf Resi, kami harus menyiapkan Kesultanan dan juga mewartakan kemangkatan Sultan Adiraja sepanjang jalan,” kata Ratno begitu mereka bertemu.“Tak apa. Kami juga baru saja sampai di sini,” kata Resi Sangkala.Setelah merasa cukup beristirahat mereka bergegas untuk kembali ke Kesultanan segera.Beberapa orang mengambil alih tandu yang berisi jenazah Sultan Adiraja. Mereka berjalan beriringan. Sepanjang jalan pedukuhan sudah banyak rakyat yang memberi penghormatan terakhir kepada Sultan mereka. Walaupun banyak kejadian yang tidak
“Awan, kamu urus Dayu, aku akan mengurus Radika. Pastikan peluru itu keluar. Aku hanya mempunyai pinset dan pisau kecil ini, buat luka baru jika tak memungkinkan,” perintah Resi Sangkala sangat jelas.“Apakah kamu punya obat bius Guru?” tanya Awan berharap ada obat bius untuk menghalau rasa sakit yang mungkin timbul.“Sayangnya tak ada. Suruh saja mereka menggigit kain yang kita gulung untuk menahan gemeretak gigi karena kesakitan,” usul Resi Sangkala.Ratno dan Patik tanggap segera mengambil kain di lemari yang di sudut dan mengangsurkan ke Radika dan Dayu yang terlihat menahan sakit dan semakin lemah.“Dayu, dengarkan aku. Dengarkan baik-baik, aku tidak akan membiarkanmu mati. Akan kulakukan semampuku untuk menolongmu. Bekerja samalah denganku,” kata Awan seraya mengangsurkan kain itu ke mulut Dayu.Dengan anggukan lemah Dayu membuka mulutnya dan menggigit kain itu. Awan membalik posis
Patik yang melihat wajah kesal Sultan Adiraja hanya bisa menahan napasnya. Bila ingin membuat semua ini adil, maka harus ada perang tanding. Bukan keroyokan.“Kita akan berperang atau kamu lebih memilih perang tanding?” tawar Patik pada akhirnya.Sultan Adiraja menimbang keputusannya. Bila berperang mungkin dia akan kalah karena Ratno dan Santo belum pada tataran yang bisa disandingkan dengan musuhnya itu. Dia tidak tahu kekuatan Resi Sangkala, Patik juga pasti mempunyai kekuatan yang besar, dilihat dari sikapnya yang tenang. Awan juga terlihat tenang, dia akan menjadi lawan yang seimbang untuk Radika. Walaupun dia tak tahu gadis di samping Awan itu, akan tetapi bila dia ada di sana, kemungkinan besar gadis itu juga mempunyai kekuatan.“Biarkan anak muda yang memperlihatkan bagaimana beradu kekuatan. Aku akan mengajukan Radika untuk berperang tanding dengan Awan,” kata Sultan Adiraja pada akhirnya.Awan yang mendengar
Sapto terengah-engah saat berlari dari pekatnya hutan di malam hari. Keadaan yang mengharuskannya segera menyampaikan pesan itu membuat dia harus berkejaran dengan waktu. Tujuan berada di depan. Orang yang dia cari ternyata sudah jauh pergi dari keramaian.Bulan yang separo mengiringi langkahnya, dengan kecepatan yang di atas rata-rata Sapto seolah tak punya beban tubuh. Tenaganya hampir habis, tapi pesan ini harus tersampaikan sebelum hari berganti.Bukit kecil itu tetap dengan susah payah harus didakinya. Rumah ganjil dan segala sesuatu yang lain di sana sejenak membuat Sapto merasa di dunia lain. Benar kata orang, bahwa bukit ini adalah tempat aneh.Tergesa diketuknya pintu yang sangat ganjil baginya. Tulisan dari arang yang berisi kode-kode aneh dan pegangan pintu yang berisi angka yang sangat asing bagi Sapto.Seseorang membuka pintu. Lelaki tua yang belum terlalu tua.“Ada apa?” tanya lelaki itu.“Saya m
Dayu dengan konsentrasi penuh membuat aliran energinya menyelimuti Awan sehingga dia tak merasakan lagi serangan Patik dan Resi Sangkala. Semakin lama kekuatan Dayu semakin mantap dan berkembang.“Aku menyerah!” teriak Awan kelelahan.Kekuatannya sudah berada diambang batas. Dia merebahkan badannya dan mengangkat tangannya tanda tak kuat lagi melawanPatik dan Resi Sangkala yang juga terengah-engah akhirnya menyelesaikan latihan itu. Mereka berdua kemudian mengatur napas dan berlalu dari ruang bawah itu.“Aku akan masak untuk kalian,” kata Resi Sangkala.“Aku akan memastikan nasinya cukup untuk mengisi tenaganya lagi,” timpal Patik menggoda Awan yang hanya bisa memejamkan mata karena sudah tak sanggup berkata-kata.Dayu kemudian menghampirinya. Duduk di sampingnya dan menatap Awan lekat. Laki-laki ini bahkan tidak mengeluh untuk menerima serangan itu hanya agar dia bisa berkembang. Tanp
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments