"Apa kau ... serius?" tanya Leticia setengah tidak percaya pada apa yang baru dikatakan oleh Tytan.
Tytan mengangguk sekali tanpa keraguan yang justru membuat Leticia semakin ragu. Saat sebuah keajaiban itu datang lagi, Leticia bertanya-tanya dan meragukannya."Tytan, kau ..." ucapnya tanpa meneruskan perkataannya.Leticia berkali-kali menelan apa yang ingin ditanyakannya. Ia mempertimbangkan karena merasa pertanyaan tersebut agak kurang ajar untuk seseorang yang sudah menolongnya. Namun, ia tidak bisa menyingkirkan perasaan waspada ini begitu saja sebab semua terasa terlalu mudah."Ada apa, Leticia?" tanya kembali Tytan yang masih memperhatikan gadis itu yang tampak ingin mengatakan sesuatu."Tidak apa, aku, aku hanya terkejut dan tidak percaya. Kau tahu, kalau penawaran ini tidak ada untungnya bagimu," jawabnya dengan gugup karena berusaha menyembunyikan keingintahuannya."Sekarang mungkin ya, tetapi tidak dengan nanti. Anggap saja jika aku sedang berinvestasi padamu." Leticia menatap dalam netra Tytan, berusaha mencari sebuah celah kebohongan darinya. Namun, sejauh apapun, netra tersebut penuh dengen keyakinan.Tidak, Leticia seharusnya tidak meragukan Tytan dan merasa rendah diri. Ia mungkin sekarang tidak berguna dan tidak menguntungkan, tetapi pasti akan selalu ada masanya dia yang membutuhkan bantuan. Apapun itu, Leticia harus membalas budi pada Tytan yang sudah membantu sejauh ini. Dilihat bagaimanapun, ini adalah opsi yang lebih baik dari masa lalunya. Bahkan jika ini yang terburuk, ia setidaknya telah membuat perubahan dari masa lalu dan tidak akan menyesal."Tytan, terima kasih, aku akan selalu berterima kasih," kata Leticia dengan tulus sambil menggenggam tangan besar itu yang sudah menolongnya.Tytan memandang tautan tangan mereka yang terjalin. Leticia segera menyadari arah pandangannya dan merasa jika ia sudah membuat kesalahan. Jadi, ia melepaskan tangan Tytan dengan canggung sambil berucap maaf. Pipinya secara alami memerah menahan malu."Karena kita sudah di gereja, kita bisa menikah sekarang," ujarnya yang membuat Leticia mau tak mau kembali menatap pria itu."I-iya, aku akan merapikan diriku dulu," sahut Leticia salah tingkah.Sejak tadi tidak ada perubahan ekspresi apapun dalam wajah Tytan. Itu harus disyukuri Leticia karena dia tidak memberikan reaksi yang semakin membuat wajahnya jatuh.Tytan berbalik hendak meninggalkan Leticia yang akan bersiap, tetapi gadis itu segera berdiri. Ia menahan lengan kemeja yang dikenakan pria itu.Untuk sekejap Leticia melupakan sesuatu yang teramat penting. Gabriella. Ibu titinya itu masih ada di sini. Tidak ada kepastian dia tidak akan berusaha menculiknya dan menikahkannya lagi, meski orang-orang Tytan sekalipun ada. Selama hidup belasan tahun bersamanya, Leticia mengetahui dengan baik bagaimana ambisi Gabriella."Aku tidak akan mengingkari janjiku, orang-orangku ada diluar dan tetap berjaga." Belum sempat Leticia mengutarakan kekhawatirannya, Tytan sudah mengetahui apa yang ditakutkan gadis itu.Bukan Leticia tidak percaya pada Tytan, tetapi pada Gabriella, masalah utamanya. Ia menggeleng pelan karena terlalu takut. Tytan melepaskan tangan Leticia dari lengan kemejanya kemudian merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuah gelang perak polos lalu memasangnya di tangan gadis itu."Tekan ini jika ada sesuatu. Gelang ini terhubung pada kalungku," ucapnya memberitahu sambil mendemonstrasikan apa yang ia katakan.Leticia memperhatikan dengan seksama saat Tytan menekan tombol kecil yang terdapat di bagian dalam gelangnya. Lalu secara alami kalung yang dikenakan Tytan di dalam kemejanya mengeluarkan cahaya merah berkedip, disertai bunyi nyaring satu kali. Sungguh menakjubkan alat yang canggih tersebut.Itu membuat Leticia sedikit tenang. Ia menatap kembali pada Tytan dengan senyumnya dan berkata, "Terima kasih."Pria itu tidak menjawab dan berlalu pergi melanjutkan langkahnya meninggalkan Leticia dengan sedikit terburu. Sejak tadi telinganya terasa berdengung dan gatal. Apalagi detak jantungnya yang tidak nyaman setiap saat melihat gadis menyedihkan tersebut.Ketika keluar dan baru saja menutup pintu, seseorang telah menunggunya. Tanpa perlu menoleh pun, ia sudah tahu siapa gerangan. Wanita itu dipegangi oleh salah satu bodyguardnya karena bergegas mendekat pada Tytan begitu ia keluar."Kau tidak bisa menikah dengannya, kau akan menyesalinya! Kau tidak tahu berurusan dengan siapa!" semprot Gabriella, menaikkan nada suaranya satu oktaf."Lepaskan aku, jangan menyentuhku!" Gabriella meronta saat satu orang yang memeganginya, menguatkan cengkramannya."Kaulah yang tidak tahu berurusan dengan siapa, Nyonya Ramona." Tytan melanjutkan langkahnya sambil mengisyaratkan bodyguardnya agar mengikutsertakan wanita itu.Setelah berada di lorong yang cukup sepi, Tytan memerintahkan bodyguard yang memegangi Gabriella agar melepaskannya. Ia menaruh kedua tangannya di dalam saku celana bahannya. Menunggu apalagi yang akan dikatakan wanita tersebut. Tytan berusaha menahan diri agar tangannya tidak mengeluarkan senjata api yang ia sembunyikan. Rasionalitasnya terus mengatakan agar tidak bertindak impulsif."Leticia akan menikahi pria bernama Tytan Castellano! Dia adalah pria kaya raya penguasa negara ini, kau tahu?!" Gabriella kembali memarahi Tytan sambil menunjuknya dengan keangkuhan berbekal nama Castellano. Ia tersenyum remeh padanya sambil melipat tangannya di depan dada. "Asal kau tahu, dia bukan pria sembarangan. Dia adalah pria yang cukup berbahaya. Jika kau tidak ingin berurusan dengannya, sebaiknya lepaskan Leticia. Aku tahu anak itu berbohong, 'kan?""Nyonya Ramona ..."Merasa sudah cukup mendengarkan, Tytan melangkah medekat padanya. Ia menghembuskan napas dengan kasar, bersama emosi yang tidak biasanya sulit dikendalikan. Wanita ini entah bagaimana sangat-sangat menjengkelkan di matanya. Hingga hasrat untuk menembak kepalanya muncul ke permukaan.'Kaki, tangan, atau wajah?' gumam Tytan dalam batin sambil memperhatikan bagian-bagian tubuh Gabriella. Dalam bayangannya, itu mengingatkan dirinya pada luka seseorang. Memikirkan bagaimana ia harus membalasnya."Aku penasaran bagaimana reaksi Massimo saat mengetahui rekannya dengan mudah membocorkan sebuah rahasia miliknya." Ketika mendengar nama tersebut, ekspresi Gabriella berubah terkejut."Jangan menyentuh calon istriku dan jangan mengatakan apapun soalku lagi di depannya. Atau Massimo akan memerintahkanku untuk menembakmu dan seluruh keluargamu," ancam Tytan tajam sebelum akhirnya ia meninggalkan Gabriella.Gabriella menatap kosong punggung Tytan yang sudah berlalu pergi. Ia merasa seakan menjadi orang terbodoh. Semua keangkuhan yang dimiliki jatuh ke dasar dan berganti dengan rasa malu. Kemudian banyak pertanyaan yang timbul di dalam kepalanya, tetapi tiada jawaban. Ia bergegas kembali ke ruangan Leticia yang kali ini tidak ada penjaganya.Ketika masuk, ia melihat gadis itu telah memakai gaun pengantin yang lengkap seperti sedia kala. Ekspresi terkejut dan ketakutannya yang selama ini selalu dinikmati olehnya, kali ini terasa sangat menjengkelkan. Ingin rasanya Gabriella memukul wajah itu dan mencercanya dengan pertanyaan, tetapi ia tidak memiliki pilihan selain menahan diri."I-ibu, maksudku, Nyonya," ucap Leticia dengan suara bergetar takut."Leticia." Gabriella melangkah mendekatinya yang membuat Leticia semakin bergerak gelisah.Meski tidak bisa melakukan apapun, ia lupa jika anak biri-biri itu sudah ketakutan hanya dengan eksistensinya saja. Gabriella tersenyum sangat lembut, menunjukkan respon yang tak biasa kali ini."Panggil aku ibu, tidak apa-apa. Kamu akan menikah sebentar lagi," ucapnya tak kalah lembut."I-ibu, kenapa Ibu ada di sini?" tanya Leticia sambil menyentuh gelang pemberian Tytan, bersiap-siap jika ibu tirinya ini melakukan sesuatu.Gabriella tiba-tiba tertawa alami, seakan mendengar sesuatu yang lucu. Tangannya terangkat membuat Leticia reflek memejamkan matanya dan menghindar ketakutan. Tangan wanita itu hinggap di rambut Leticia, kemudian mengelusnya lembut. "Tentu saja aku datang untuk mendoakan pernikahanmu. Maafkan aku yang selama ini belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu, ya?"Perkataannya sungguh manis dan seakan benar-benar sarat akan doa, tetapi tidak semudah itu dipercayai Leticia. Ibu tiri yang kejam dan tak pernah segan, bahkan untuk melemparnya ke dasar jurang, dalam beberapa menit berubah menjadi ibu penyayang. Meski ketakutan, Leticia bukan gadis polos yang bodoh lagi sekarang. Apa yang membuat Gabriella senang mengolok-oloknya?"Leticia.""Tytan ..."---To be continued'Sepertinya aku kurang memperingatkannya,' gumam Tytan dalam batin dengan kesal. Pria itu tidak menyembunyikan tatapan tajamnya pada Gabriella. Meski auranya mengintimidasi, ketika melihat keberadaan Tytan, rasanya Leticia telah selamat dari sesuatu yang lebih berbahaya. Ia baru saja hendak berdiri dan menghampiri, tetapi dia lebih dulu bergegas mendekatinya. Berbeda dengan Leticia yang lega, ekspresi Gabriella kembali menegang ketakutan. Dia segera menyingkir tanpa berpikir dua kali, dan tanpa mengatakan apapun pergi keluar begitu saja. Setelah sebelumnya menatap tajam ke arah Leticia. Sudah Leticia duga jika wanita itu sama sekali tidak tulus. "Apa kau masih tidak mengerti cara kerja gelangnya?" tanya Tytan setelah ia mengalihkan semua atensi pada gadis itu. Leticia menatap gelang tersebut sebentar sebelum kembali mendongak pada Tytan. Ia memberikan senyuman sebelum menjawab, "Aku paham, tetapi tidak ada yang membahayakan. Dia tidak melakukan apapun karena kau datang." Tytan ti
"Saya nyatakan kalian sebagai pasangan suami istri yang baru, selamat!" Begitu pernyataan dari sang pendeta diumumkan, Leticia segera membuka matanya dan menjauhkan wajah mereka yang sangat dekat. Suara tepuk tangan yang cukup riuh dari bangku tamu terdengar. Entah sejak kapan mereka—para bodyguard Tytan—mengisi bangku-bangku kosong itu. Pipi Leticia yang telah memanas karena malu, semakin mengeluarkan rona merah alami. Tytan tidak mengindahkan apa yang ia katakan tadi, entah dia tidak mendengarnya. Leticia kini sama sekali tidak bisa mengangkat wajahnya, bahkan bingung harus menatap kemana. "Silahkan tanda tangani buku nikahnya untuk dilaporkan pada pemerintah agar pernikahan kalian sah secara hukum." Suara pendeta membuat atensi Leticia beralih. Dengan tangan gemetar ia membubuhkan tanda tangannya, lalu kemudian Tytan. Setelah semua proses pernikahan selesai, pendeta itupun pergi. Barulah Leticia dan Tytan menoleh dan berbalik ke belakang. Saat itulah Leticia begitu terkejut, men
"Pria gila itu entah sedang membunuh siapa sekarang disaat anjing pemburunya menikah!" gerutu Gabriella, setelah satu kali percobaan telpon orang yang ditujunya tidak mengangkat. Memilih menyerah karena dugaan di dalam pikirannya, wanita itu menghembuskan napas panjang. Membenarkan kembali penampilannya sekilas sebelum melangkah keluar. Saat kaki jenjangnya baru menginjak lantai luar gereja, getaran ponsel di tangannya menghentikan langkah. Ia melihat sekilas nama di layar ponsel pintar miliknya sebelum menggesernya. "Akhirnya kau mengangkatku, Massimo," sapa Gabriella penuh penekanan akan sindiran. Semua umpatan dan kemarahan yang akan dilontarkan wanita itu tertahan karena telinganya menangkap sebuah suara bising di sebrang telpon. Seperti suara jeritan tertahan dan tembakan senjata api. Napas pria di seberang telpon juga terdengar terengah-engah. "Ka-kau sibuk?" tanya Gabriella pelan, menurunkan nada suaranya hingga sangat lembut. "Aku baru selesai dengan pekerjaanku, seperti
“Leticia …” “Leticia!” Ingin sekali Leticia membuka kedua matanya dan melihat siapa gerangan yang memanggil, tetapi tidak bisa. Rasanya terlalu berat dan sulit, seperti tubuhnya yang sudah sangat kaku. Suara asing yang memanggil itu bisa dipastikan milik seorang pria. Dari nada suaranya, ia terdengar sangat mencemaskan dirinya. Tidak ada sosok pria yang dikenalnya dengan baik selain ayahnya. Namun sayang, suara tersebut bukanlah milik sang ayah. "Leticia." "Leticia, kau baik-baik saja?" Sebuah tepukan pelan terasa di pipinya. Leticia sekali lagi berusaha untuk membuka mata perlahan meski rasa kantuk masih terasa. Tubuhnya kali ini tidak kaku ataupun kesakitan seperti sebelumnya. Pandangan buram miliknya perlahan semakin jelas memperlihatkan siluet wajah seorang pria tampan. "Leticia, kau baik-baik saja? Kau sudah bangun?" tanya suara tersebut terdengar kembali. Rasa pening menghantam kepala Leticia. Ia mengingat sebuah kilas balik masa lalu dimana dirinya sekarat tadi. Kini ia
‘Aku baru menyadari jika rumah ini ternyata dikelilingi pohon yang rimbun,” komentar Leticia ketika ia keluar dari kamarnya, menelusuri lorong sambil mencari kamar Tytan. Setelah mandi dan mengganti pakaian, Leticia memutuskan untuk menemui Tytan. Tidak dipungkiri jika ia memang lelah, tetapi setelah tubuhnya terkena air, rasa lelah itu tidak terlalu terasa. Sambil melihat-lihat rumah pria itu yang ternyata lebih indah jika diperhatikan lagi. Meski kesan gelap dan suram sangat kuat karena pemilihan warna cat dan furniturenya. Ditambah lokasi dari rumah ini sendiri menambah auranya. Alasan Leticia cukup berani untuk mencari kamar Tytan adalah karena ukuran rumah ini tidak terlalu besar. Hanya dua lantai, dimana lantai satu tidak ada kamar lagi. Bisa terlihat dari lantai dua jika hanya ada ruang tamu yang luas, dapur dan meja makan, juga satu kamar mandi. Ia bisa menebak jika Tytan ada di salah satu dari dua ruangan tersisa di lantai dua ini. Sebelum sampai di ruangan pertama, Leticia
"Eugh ..." Lenguhan keluar dari mulut Leticia, merasakan sinar matahari yang rasanya begitu menyengat. Tanpa mengubah posisi, tangan Leticia berusaha menghalau sinar tersebut. Namun, tak ayal tetap terasa silaunya yang mau tak mau membuat gadis itu terbangun. Kali ini ia berguling ke samping, menghindari tempat dimana sinar matahari menyorot. Ini adalah pagi pertama di rumah Tytan. Tidak ada suara hiruk pikuk khas kota metropolitan. Yang ada adalah suara kicauan burung dan tetesan-tetesan air embun. Terdengar sangat menyenangkan, tinggal di rumah yang dikelilingi pohon rimbun seperti hutan. Sangat asri. "Jam berapa ini?" gumam Leticia sembari membuka matanya sedikit, melirik ke arah jam digital di atas nakas. Seperti kebiasaannya yang sudah terbentuk, tepat pukul 7.30 pagi gadis itu sudah bangun. Tidak peduli selarut atau secepat apapun ia tertidur, pada pukul itulah dirinya terbangun. Karena tidak bisa lagi kembali tertidur, Leticia mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Mengump
“Leticia,” panggil Tytan yang membuat gadis itu menoleh ke arahnya. Leticia menelan lebih dulu makanannya sebelum menyahut, “Ya?” “Aku harus segera pergi lebih dulu. Setelah kenyang, kau boleh beristirahat kembali atau berjalan-jalan di sekitar rumah ini.” Ia berdiri dari duduknya setelah mengatakan hal tersebut. Mendapatkan anggukan dari Leticia, barulah Tytan pergi dari meja makan. Netra obsidian yang menyorot tajam itu memandang ke arah tiga orang yang sibuk mengobrol dekat meja makan. Ia bisa melihat mereka bertiga dari sejak ketika bercakap-cakap dengan Leticia tadi. Melihat mereka membuat Tytan kesal dan merasa perlu menegur ketiga bodyguard-nya ini yang tampak menganggur. “Akhirnya akan ada romansa di kehidupan Tuan Muda.” Tytan menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Diego. Ia berusaha memastikan jika pendengarannya tadi tidak bermasalah. Ia tidak percaya jika pembicaraan seperti ini akan menjadi topik di antara para pria yang sangat bengis ini ketika memegang senja
“Nyonya, apa saya boleh bertanya?” Perkataan Diego menghentikan langkah Leticia, lantas gadis itu menoleh dan bertanya balik, “Apa itu?” “Apa kaki Anda benar-benar terluka?” Kernyitan timbul di dahi Leticia karena kebingungan. Siapapun bisa melihat kaki miliknya yang masih membengkak, meski telah lebih baik sekarang. Karena itulah ia bingung apakah itu murni sebuah pertanyaan atau hanya sindiran. “Ya, memang kenapa? Kakiku mungkin terluka, tetapi bukan berarti aku lumpuh," jawabnya. “Saya rasa begitu, tetapi langkah kaki Anda lebih cepat dari seseorang yang normal.” Dalam beberapa detik yang kosong Leticia terdiam, kemudian tawanya terdengar. Ia tanpa sadar mengutarakan apa yang dipikirkan olehnya. “Apa itu sebuah sindiran atau pujian?” “Hanya pertanyaan yang membuat saya bingung.” Diego turut tertawa mendengarnya. "Kenapa? Apa kau kesulitan menyamai langkahku?" tanya Leticia sembari kembali melanjutkan langkahnya dengan lebih pelan. Ia sendiri tidak sadar jika telah berjalan le